Limapuluh delapan

11.8K 1.3K 58
                                    

Bhaga melihat arloji di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Tumben ibunya belum pulang. Biasanya jam segini beliau sudah ribut mengomandoi Mbok To untuk bikin makan siang. Kalau Sabtu biasanya ibunya hanya dinas sampai jam sepuluh pagi.

Ibunya dinas di sebuah RSIA dekat rumah. Dulu sewaktu ketemu Ratri di rumah sakit Srondol itu, beliau sedang menjenguk salah satu putri koleganya yang sakit lambung.

Mbok To sendiri mondar- mandir di dapur bingung mau masak apa. Bhaga menghampiri perempuan yang dua tahun lebih tua dari ibunya itu. "Ibuk belum belanja sayur buat di masak Mbok To?"

"Sudah ada di kulkas. Tapi tadi bu bidan bilang mau beli lauk saja. Malas makan soalnya. Soalnya Pak Daru kan mancing tadi, Mas."

Semenjak pensiun setahun yang lalu, ayah Bhaga memang sering pergi memancing. Kadang sampai luar kota. Pernah sampai waduk Gajah Mungkur di Wonogiri dan Wadaslintang di Kebumen. Ibunya sih membiarkan saja. Supaya ada kegiatan.

Saat hendak ke belakang menengok ikan peliharaan ayahnya, ponselnya berbunyi. Dari ibunya.

"Nang bisa nyusul ibuk toh?"

"Ibuk di mana? Jam segini tumben belum pulang?"

"Tadi mampir ke tempat teman dulu. Sekarang jemput ibu di Setiabudi ya?"

"Lho kok Setiabudi to, Buk? Memang baru jenguk teman?"

"Iya. Sekarang sudah selesai. "

"Oke,"

****

"Adanya kelas ekonomi. Itupun jam satu siang gimana?"

"Aduh maskapai lain nggak ada ya?"

"Ada kelas bisnis jam dua seperempat,"

"Lama banget,"

"Naik pesawat kan sebentar. Nggak kayak naik perahu. Butuh waktu berhari- hari!"

"Jangan ngaco deh. Tuh diliatin bule lagi tuh. Mas itu kenapa jadi gahar begini sih?"

"Kenapa? Jangan bilang kamu berubah haluan lho ya? Nanti masmu bisa gantung diri di pohon semangka,"

Mereka berdua tertawa. Akhirnya setelah memesan tiket kelas ekonomi karena menurut Bentala nggak ada bedanya juga kelas ekonomi atau bisnis toh yang penting sampai, mereka beli minum sebentar di lounge bandara. "Jadi mas mau serius mau ikut aku ke Semarang?"

Lelaki gondrong berkumis yang sejak tadi jadi penambat pandang yang eksotik bagi kaum hawa itu menyeruput kopi hitam yang dipesannya, sementara Ratri memesan teh. Selama di Kalimantan lambungnya jarang kambuh karena dia sering dicekoki ramuan bawang dayak oleh teman- temannya yang kebetulan mengerti ramuan tradisional.

"Hmmm... Mau iseng sebentar boleh dong," dia menaik- turunkan alisnya. Senyumnya cerah, gigi- giginya putih dan rapi mirip bintang iklan Pepsodent. "Kamu punya sepupu nggak sih yang cakep. Yah paling nggak lebih cakep timbang kamu lah. Biar dia nggak merasa di atas angin karena mendapatkan kamu..."

Ratri mencibir. Beberapa menit kemudian pengumuman boarding terdengar. Bentala sigap membawakan barang- barang Ratri. Kadang Ratri menganggap Bentala ini lebih seperti sosok lelaki versi fun. Kakak sulungnya terlalu strict. "Mau gandeng nggak?" katanya, menawarkan dengan wajah tengil- tengil menggemaskan.

***

Berdiri bak patung Sargon Akkadia, tinggi, besar, hitam, dan diam, hanya matanya yang bergerak, Ario Swastiko Koesmantoro melipat kedua tangan di depan dada. Kakak ipar Ratri itu hampir- hampir mengintimidasi banyak orang dengan penampilannya. Padahal cuma pakai kaus abu- abu dan celana kargo, tapi ekspresinya yang hanya bisa disetarakan dengan menhir Karnak membuat banyak anak kecil menangis ketakutan sambil menunjuk- nunjuk ke arahnya. Dana yang mondar- mandir dengan gelisah ikut melihat pada suami sepupunya. "Mas Ar itu bisa nggak sih, tarik mulutnya ke atas dikit. Itu yang namanya senyum. Biar anak- anak nggak pada sawan lihatin Mas." Pria berusia 33 tahun itu kemudian berdiri tegak dengan sikap sempurna. Menarik sudut- sudut bibirnya yang tebal, tapi jadinya malah aneh banget. "Nggak usah senyum deh, Mas." Ujar Dana penuh penyesalan. Ponselnya kemudian berdering nyaring. Saat mengeluarkan dari saku jin yang dipakainya hari itu, Dana menemukan nama Bhaga di layarnya.

"Halo, Mas? Ada apa?"

"Kamu masih di kampus?"

"Nggaklah. Disuruh Mbak Mila jemput Mbak Ratri."

"Hah?"

"Disuruh Mbak Mila  jemput mbak Ratri di bandara."

"...."

Hening.

"Halo, Mas? Mas!"

"Oh, ya sudah."

***

Bhaga memandangi layar ponsel yang sudah menggelap. Jadi Ratri pulang ke Semarang? Jantungnya mendadak berdegup kencang. Tubuhnya membeku di tempat.

Ya Tuhan...

Seperti apakah rupa gadis itu sekarang? Setelah tiga tahun berlalu dan hari demi hari dilaluinya dengan doa supaya dia bisa dipertemukan dengan gadis yang setia menghuni hatinya hingga kini. Tahu- tahu saja Bhaga sudah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Saat itu dia sedang berada di rumah Ngaliyan. Rumah yang dibangun dekat dengan lokasi kandangnya. Rumah yang ditinggalinya bersama beberapa orang mandor yang mengurus kandangnya. Tangannya sudah menyambar kunci di atas meja ruang tengah, kemudian pergi ke kandang untuk memberi tahu Arif bahwa dia hendak keluar sebentar. Arif mengacungkan jempolnya.

Mengemudikan Mitsubishi Pajero Sport hitamnya, lelaki itu mengebut ke arah bandara Ahmad Yani dengan perasaan yang tak terlukiskan. Bahagia, excited, harap- harap cemas. Bertanya- tanya mengapa gadis itu tiba- tiba pulang ke Semarang lagi? Apakah dia akan mengenalkan lelaki pujaannya ke orang rumah di Ungaran? Pemikiran itu membuat tangannya memukul stir dengan gemas. Kalaupun ya, Ratri nggak salah. Dan yang jelas itu bukan urusannya. Karena dia sendiri yang membuang kepercayaan gadis itu ke tong sampah. Namun begitu, hatinya tetap saja diliputi rasa tidak rela. Kalau perlu dia akan mencari tahu siapa pria itu dan menculiknya, memasukkannya ke dalam karung dan membuangnya ke Tanjung Mas biar saja disengat sama ikan pari sampai dedhel dhuwel.

Mobil sudah memasuki area bandara di Tambakharjo yang tampak agak lengang dan panas siang ini. Selesai mendapatkan tempat parkir, lelaki itu langsung turun dan meminta Dana share location supaya mudah mencarinya. Setelah beres, lelaki itu berjalan ke arah yang ditunjukkan Dana lewat ponsel tadi.

Saat itu matanya menangkap pemandangan memilukan yang nggak pernah terbayangkan olehnya. Ratri memakai terusan selutut warna hijau gelap sedang berdiri di depan seorang lelaki tinggi besar berambut cepak yang Bhaga kenali sebagai kakak iparnya, dia bisa mengenali Dana dari kemeja flanel biru navy, celana jin biru dan sepatu keds putih. Itu tampilan sepupunya sehari- hari saat ini. Yang membuatnya ingin menghantam pilar tinggi yang kebetulan ada pas di hadapannya adalah lelaki hitam, tinggi, gondrong dan berkumis mirip gembel, yang berdiri di samping Ratri.

Gigi- geligi Bhaga saling bergemeretakkan. Tangannya mengepal erat, sehingga buku jarinya memutih. Siapa saja, Tuhan. Siapa saja boleh mendekati Ratri asal jangan bajingan mirip gembel itu. Dia betul- betul tidak terima dan tetap berpegang teguh pada rencananya untuk mengarungkan bagor raksasa ke tubuh lelaki itu dan bakalan dia lempar ke Tanjung Mas. Kalau perlu, dia bakalan sewa dukun  supaya ikan pari berkumpul untuk menyengat  tubuh lelaki yang mengenakan kemeja flanel cokelat dan celana jin itu. Lelaki yang berani- beraninya memasang gestur protektif pada gadis yang dicintainya. Dan akan segera jadi miliknya.

***
Mampir ke Langit Malam yuk. Ada Bentala dan Adisty di sana...

Sama mampir juga ke Bertemu Rasa ketemu sama Pak Farid sama Hanis...

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang