Enampuluh Satu

13.5K 1.3K 67
                                    

Pada akhirnya Bhaga tetap harus mematuhi kesepakatan dengan ibunya.

Acara makan malam itu gagal total membuat Ratri mau kembali padanya. Malahan gadis itu mendekam ketakutan, nggak mau ke meja makan untuk makan malam. Padahal Mbak Mutik sudah menyiapkan aneka masakan andalannya berupa gudeg komplit plus koyor, opor ayam, pindang telur, sambal goreng krecek--- masakan andalan Mbak Mutik yang pernah kerja di katering di Yogyakarta sebelum ketemu Mas Arif. Tapi Ratri bersikeras untuk tetap berada di ruang tamu, mengancam akan menelepon grab car atau share location pada Mas Rivan atau Mas Ario. Mas Ario memang nggak banyak ngomong tapi sekalinya nempeleng orang, bisa dipastikan orang itu nggak akan bangun tiga hari tiga malam.

Alhasil rencana Bhaga nggak berjalan dengan baik. Dia malah balik ke titik awal. Dan sekarang dia sudah pasrah. Siapa saja yang dojodohkan ibunya dengan dirinya, dia bakalan manut. Asal perempuan itu nggak bunyi "mbeeekkk!" setiap dirayu, atau gusinya biru, dia akan terima saja. Dia yakin ibunya nggak akan menyerahkannya pada perempuan sembarangan yang dipungut di Sunan Kuning atau Kalisari, atau Taman KB. Paling nggak mungkin salah satu anak koleganya, atau anak teman lamanya.

Dia sendiri juga nggak mau memaksa Ratri untuk mau dengannya. Sebab yang terjadi tiga tahun yang lalu pastilah sangat menyakiti hati perempuan yang semakin bertambah umur semakin cantik dan anggun itu. Bhaga menghargai keputusan Ratri, karena jika saja dirinya yang berbuat demikian, diapun nggak akan memaafkan perempuan yang mencuranginya. Seperti dia mencurangi Ratri.

***

Tania terus mondar- mandir di dalam butiknya di kawasan Bubakan, mengistruksikan para karyawannya untuk mengambil barang- barang dalam catatan Bhaga. Sementara lelaki itu duduk di sofa menikmati segelas es teh dan penyesalan setinggi gunung Kilimanjaro di Afrika. Dan seluas gurun Mojave yang gersang, panas dan mati,  ditambah gurun Sahara, gurun Gobi dan mungkin merambah ke gurun yang ada di Mars. Mungkin seharusnya dia menyewa orkes sakit hati--- pengamen yang biasanya nyanyi di Simpang Lima saat malam--- untuk menyanyikan lagu Gerhana Dalam Cinta, atau Tewas Tertimbun Masa Lalu. Seperti nasib cinta yang tengah dirasakannya. Mati tertimbun oleh kesalahannya sendiri. Hiks.

"Jadi akhirnya kamu menyerah sama pilihan ibumu, Mas?" Tania tahu- tahu sudah duduk di sampingnya. Perempuan berusia 34 tahun, janda 1 orang anak yang penampilannya masih hot, mirip Luna Maya. Rambutny ikal sebahu, kulitnya putih, hidungnya mancung, secara keseluruhan dia cantik. Namun hati Bhaga sama sekali nggak tergerak sewaktu perempuan itu melayangkan sinyal- sinyal ke arahnya. Bhaga mengangguk.

"Ya gimana lagi, Tan. Mungkin ini karma karena aku menghianati dia,"

Tania geleng- geleng sambil tersenyum semanis sirup Kartika rasa Frambozen. "Terus kamu terima saja dijodohkan dengan perempuan yang belum pernah sekalipun kamu temui?" Alisnya yang hasil sulaman mengerut manja. Lagi- lagi Bhaga mengangguk tanpa minat. "Gimanapun juga ibuku pasti sayang sama aku kan, Tan. Jadi nggak mungkin aku dikasih nikah sama kerbau atau penghuni rumah sakit  di Pedurungan,"

Tania terkekeh manja. Menggaplok lengan Bhaga dengan main- main, "Ah Mas Bhaga! Makin tua semakin lucu. Kenapa sih mas nggak naksir aku saja? Aku paket lengkap lho. Beli satu gratis satu,"

Bhaga menatapnya tanpa ekspresi.

Keberadaan pria itu di butik Tania adalah untuk belanja seserahan. Ibunya memberinya catatan tentang umur, tinggi, berat badan, lingkar dada, lingkar perut, dan lingkar paha. Bentuk wajah dan warna kulit, untuk keperluan  belanja seserahan yang akan diberikan pada pihak calon mempelai perempuan . Selain pakaian sak pengadeg, mulai dari atas sampai bawah, mulai dalaman hingga luaran, Bhaga juga sekalian membelikan  tas, sepatu, kosmetik, alat salat, semuanya diserahkan pada Tania. Dia tinggal tahu beres. Tinggal gesek kartu. Tania sih senang- senang saja. Nggak dapat orangnya, masih dapat duitnya. Mana Bhaga itu kalau belanja royal banget. Dan perempuan itu sama sekali nggak sakit hati cintanya ditolak oleh pria sehebat Bhaga.

"Ya aku doain deh Mas yang ini bakalan cocok. Jangan lupa undangannya. Aku juga bisa sediain baju pengantinnya, segala model, bentuk dan ukuran, MUA dan WO aku juga ada kenalan,"

"Makasih, Tan."

****

"Kamu kapan balik lagi ke Semarang, Nduk?"

"Lusa, Ma. Jangan khawatir. Ratri pasti balik soalnya ini tinggal beresin beberapa hal saja. Pengganti Ratri orangnya sudah siap kok," kata gadis itu seraya mengepak barang- barangnya ke dalam koper. Totalnya ada tiga koper. Sisanya akan dia sumbangkan ke pihak yang membutuhkan dibantu oleh teman sekantornya bernama Lena. Heran, baru dua tahun tinggal di sini barang- barangnya sudah beranak- pinak saja. Padahal dulu dia hanya berangkat dengan satu koper raksasa, sekarang jadi tiga koper raksasa. Untung saja Bentala masih mau membantunya.

Jadi dua hari setelah ibunya dinyatakan pulih, Ratri segera kembali ke Kukar untuk menyelesaikan masa transisinya dengan penggantinya di sana. Lusa dia akan kembali ke Semarang untuk mulai bekerja di cabang baru Kencanawungu Cosmetic.

"Tapi kamu masih ingat permintaan mama kan, Nduk? Kamu mau menepati?"

"Iya, Ma." Ratri mendesah pasrah. Berat hati sebetulnya. Usianya baru 26 tahun, ibunya sudah geger soal pernikahan dan punya ide untuk menjodohkannya dengan putra temannya yang seorang insinyur perternakan.

Tunggu dulu! Insiyur perternakan? Kok perasaan Ratri jadi semakin nggak enak saja ini, ya?

"Ya sudah. Terimakasih karena kamu mau menuruti mama. Mama janji ini baik buatmu, Nduk. Mama janji inshaa Allah kamu ndak akan menyesal. Dia ini lelaki yang baik sama ibunya. Dan lelaki yang baik sama ibunya, pasti menghargai istrinya. Itu pertimbangan mama untuk jodohin kamu sama dia."

****

Langit pagi di Bandara Ahmad Yani tampak terang benderang. Ratri turun dari pesawat dan mengantri ke bagasi, ditemani oleh--- lagi- lagi lelaki gondrong berambut ikal yang semakin hari senyumannya semakin memabukkan--- Bentala Langit Darmanto. "Aku kok masih curiga kalau ibumu jodohin kamu ini sama si Munyuk yo?"

Ratri semakin gelisah. "Jangan ngomong gitulah, Mas. Terakhir kali aku nolak dia itu ya kayak merasa bersalah. Tapi mau gimana akunya belum yakin."

"Sekarang udah yakin?"

Gadis itu mengangkat kedua bahunya. "Nggak tahu juga sih. Jalanin saja. Aku takut mama kenapa- napa. Diantara tiga anak mama, aku yang belum bisa nyenengin dia sih. Jadi ya..." Lagi- lagi gadis itu mengangkat bahunya. "Lagian selama tiga tahun belakangan ini kok rata- rata lelaki yang kukenal atau yang naksir aku kelakuannya aneh- aneh. Kayaknya aku memang nggak becus nyari pasangan sendiri," keluh gadis itu seraya berjalan ke luar dari area pengambilan bagasi ke bagian penjemputan.

Kali ini yang menjemput adalah kakak sulung dan dua jagoannya yang semakin ganteng dan tambah aktif saja diusia enam tahun. Pandu dan Kresna, mereka sudah masuk TK B dan sudah pintar berhitung.

Ratri memeluk kakaknya. "Mbak Riris nggak diajak?"

"Lagi mual- mual,"

"Lho, isi lagi?"

"Iya."

"Berapa bulan?"

"Empat bulan. Dan kemungkinan kembar lagi. Dia ngambek tuh, katanya " habis ini sudah ya, Mas. Aku capek kalau ngurusin empat anak sekaligus," lelaki yang kini berkumis tipis- tipis itu tampak bimbang. "Tapi kalau belum lahir perempuan ya mau nggak mau harus nambah lagi," gumam kakaknya seraya membantu menyeretkan salah satu koper. Si kembar yang mulai akrab dengan Bentala mengerubunginya dan tertawa- tawa mendengar guyonan lelaki itu. "Kok mas nggak kasihan sama Mbak Riris. Disuruh beranak terus gitu?"

"Ya gimana? Kalau punya anak cuma dua terus dua- duanya modelan kayak kamu ini yang maunya kerja jauh sampai nggak ingat pulang rumah pasti sepi,"

"Dih, Mas Rivan ini parno,"

Kakaknya itu nggak menjawab dan malah nyelonong ke parkiran. Mobil kakaknya juga ganti. Dari yang City car berkapasitas empat orang, menjadi SUV yang bisa menampung satu KK beranggotakan 7 orang.

Mobil itu akan membawanya langsung ke Ungaran.

***

Soon To Be HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang