Sebahagia apapun hari yang dijalaninya di Ungaran kali ini, Ratri harus tetap kembali ke Jakarta. Pekerjaanya menanti. Hal- hal yang terjadi di Semarang hanya ia bisa bawa dalam kepalanya. Senyum ibunya, perhatian beliau pasti akan yang selalu ia ingat dalam menjalani hari- hari yang menjemukan di Jakarta.
Lalu pesta pernikahan Leona yang menyenangkan, dan by the way, saat jam satu tadi dia mendapatkan chat dari nomor baru. Keluarganya yang meriah, dua keponakannya yang menggemaskan, lalu pria yang kini memegang kendali kemudi di sampingnya.
Kalau ada yang bilang seorang pria bisa sangat seksi saat berkonsentrasi mengemudi, maka Ratri akan setuju seratus persen. Dalam balutan kaus putih dan celana jin, Bhaga tampak terlihat seperti Dewa. Berkali- kali ketika Ratri menoleh ke jok penumpang di tengah, memastikan kedua keponakannya aman- aman saja terlelap di atas kursi bayi, matanya nggak sengaja melirik ke arah Bhaga.
"Kamu dari tadi mau lihat anak- anak, atau nyuri- nyuri pandang lihat Mas, sih,"
"Dih geer," kilahnya, seraya memasang wajah cemberut. Yang mengesalkan Bhaga malah tertawa lepas. "Kalau beneran juga nggak apa- apa. Siapa tahu naksir. Kata orang- orang aku bagus. Kayak Arjuna,"
Ratri memutar bola matanya sebelum menjawab dengan ketus. "Sayang banget," gumamnya. "Kenapa?" Bhaga sontak menoleh dengan sepasang mata yang melebar. "Kamu baru saja bilang kalau sayang aku?"
Ratri nggak tahan untuk nggak menjelingkan matanya ke atas. Lelaki ini benar- benar harus dibenturkan kepalanya supaya nggak makin sombong dan bikin pusing.
"Diandra... kalau Mas lihat kamu muter- muterin mata lagi kayak gitu, Mas nggak jamin lipstik kamu bakalan tetap utuh sampai rumah," katanya dengan nada memperingatkan.
Ratri langsung membuang muka ke luar jendela mobil. Melihat jalanan kayaknya lebih bagus daripada muka kegeeran lelaki itu. "Jalanannya lebih bagus ketimbang mukaku, ya?"
"Hmmm,"
"Aku kecewa," ujarnya dengan nada suara yang menunjukkan sakit hatinya. "Padahal kayak yang kubilang tadi. Banyak yang bilang aku enak dilihat,"
Ratri melipat kedua lengannya di depan dada, lalu mengangguk. "Ya selamat deh, Mas dapat predikat ganteng kayak Arjuna. Sayangnya aku lebih terpesona sama Bima,"
Konon katanya Bima lebih mencintai Drupadi ketimbang Arjuna. Padahal, Drupadi sangat mencintai Arjuna.
***
Hingga mobil tiba di depan rumah Ratri, Bhaga nggak mengucapkan sepatah katapun. Dia diam dan bergerak otomatis begitu saja. Ratri jadi heran sendiri. Apa dia salah ngomong ya? Tapi ya gimana deh, lelaki yang ngakunya dewasa itu masa tersinggung dengan jawaban Ratri di mobil tadi. Sejak dulu dia memang terkesan dengan karakter Bima kok.
Wajah yang beberapa menit terakhir itu tampak gusar, berubah cerah begitu Riris, Mas Rivan, dan bu dokter Nilam keluar bersamaan dari rumah, Ratri agak sempoyongan menggendong Pandu, sementara Bhaga entah bagaimana caranya bisa kuat menggendong balita gendut yang satunya lagi hanya menggunakan sebelah lengannya yang kekar.
Mas Rivan langsung mengambil Kresna dari tangan Bhaga, mengamati pria yang sama tingginya dengannya itu seperti mengamati objek penelitian. Matanya menyorot tajam dan penuh curiga, seolah- olah menuduh Bhaga bakal menggondol adik perempuannya ke suatu tempat dan mengobrak- abriknya. Hal yang wajar dilakukan oleh seorang kakak lelaki pada pria yang mendekati adiknya. "Tidur mereka?"
"Iya tuh. Capek." Tanpa menoleh lagi ke arah Bhaga, Ratri langsung nyelonong masuk ke dalam rumah. Nggak mau tahu dengan nasib Bhaga di bawah pengamatan Mas Rivan yang lebih militan ketimbang ayah mereka dalam menghadapi anak- anaknya. Meskipun secara umur, Bhaga lebih tua ketimbang Mas Rivan.
Umur Mas Rivan 32 tahun, sementara Mas Bhaga 34, sementara umur Mas Ario--- suami mbak Mila--- 30 tahun.
****
"Kamu serius sama keponakannya Pakde Yanto itu?" todong Mas Rivan begitu selesai menidurkan Kresna di kamar. Ratri sedang mengudap nastar yang tadi dibeli di Es Krim Toko Oen. Tadi mereka memang membeli banyak kue dan kukis untuk oleh- oleh orang rumah. "Serius gimana?" Ratri balik bertanya. Sebab kalau untuk menikah, jelas dia nggak sedang buru- buru. Ingin menikmati masa muda tanpa gembolan anak atau suami superprotektif yang meneleponnya setiap saat. Harus wajib lapor setiap mau pergi. Itu bukan jenis kehidupan yang dibayangkannya. Well, setidaknya nggak untuk saat- saat ini. Mungkin empat atau lima tahun lagi.
Mas Rivan menghempaskan pantat di atas sofa bed di ruang keluarga. Televisi plasma sebesar 52 inci sedang menayangkan acara dokumenter. "Dia apa nggak ketuaan buatmu?" tangan Mas Rivan ikut mencomot nastar yang sudah dipindahkan ke dalam stoples.
"Ketuaan sih,"
"Ya terus kalau nggak serius kenapa kayaknya dia getol banget deketin kamu,"
"Getol gimana lagi sih Mas? Biasa aja, kok."
"Kalau seorang lelaki nggak serius sama kamu, dia nggak bakalan berani muncul di sini. Palingan kamu diturunin di pinggir jalan."
"Ya itu urusan dia, kan?"
"Kamu jangan macem- macem lho, Nduk. Kalau ternyata dia memang maunya serius sama kamu gimana?"
"Tapi aku belum mau menikah, Mas. Umur masih 23 begini. Aku masih pengin bebas dulu."
"Punya pacar di Jakarta?"
Ada. Komputer. Telepon. Orang- orang yang mengeluh soal produk keluaran perusahaannya. Tapi gadis itu hanya menggeleng.
"Kalau memang kamu nggak mau dia, kamu bilang secepatnya dan sejelasnya. Kalau dia kadung berharap kan repot."
"Tapi dia nggak menunjukkan gelagat mau nikahin aku besok, Mas. Dijalanin saja dulu,"
"Ratri... Ratri..." Masnya menggeleng putus asa. "Kamu tuh nggak pernah tahu apa yang ada dipikiran lelaki semenjak mereka dapat mimpi basah. Mas yakin setiap detik yang ada dipikiran orang itu adalah bagaimana caranya menggendongmu ke atas ranjang," jeda. Mata Mas Rivan terpejam seperti berusaha menghalau pikiran jahatnya. "Selanjutnya kamu nggak bakalan mau tahu,"
Ratri menoleh ke arah Mas Rivan, dan menatap kakak sulungnya itu seolah- olah lelaki itu adalah mahluk blasteran antara zombie dan alien dan udang.
****
Tepat pukul empat sore, Ratri sudah rapi dalam balutan kemeja warna navy yang dibalut jaket bertudung berwarna senada, celana pensil berbahan denim berwarna sama dengang jaketnya dan sepatu sneakers. Satu ransel dan tas selempang kini bertambah satu kardus berisi oleh- oleh aneka penganan khas Ungaran dan Semarang. Pak Antok sempat datang mengirimkan suvenir dan hampers untuk Ratri yang sebagian besar isinya adalah cokelat dan permen dan Leona meyakinkan bahwa khusus Ratri cokelat dan permen yang dikirimkan ke rumahnya adalah versi halalnya.
Pak Ngaderi sudah hendak mengeluarkan mobil dari garasi, ketika sebuah SUV meluncur dan berhenti di depan jalanan rumah Ratri. Sesosok berkemeja hitam dan celana jin warna biru keluar dari dalam mobil itu. Jujur napas Ratri sempat berhenti ketika pria itu melangkah mendekati rumahnya. Nggak akan ada yang menyangkal kalau dia ganteng. Tapi dia juga nggak mau kalau disuruh menikahi pria itu sekarang. Semua mata langsung lekat mengamati sosok itu. "Assalamuallaikum," matanya mengedar ke seluruh anggota keluarga Ratri yang berdiri di muka rumah. Dokter Nilam sontak melirik anak bungsunya. Sementara Mbak Riris bersikap seperti perempuan pada umumnya, terpesona melihat pria ganteng di depan hidungnya.
"Udah siap, Dik?" tanyanya pada Ratri yang kini mulutnya kering saking kelamaan bibirnya terbuka karena terpesona.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Ratri mengangguk. Bhaga membantunya mengangkat kardus bekas rokok yang sudah ditali dengan rafia, membawanya ke masuk ke mobil. Sementara itu kakak sulung Ratri sudah melotot tajam ke arah adiknya yang hanya bisa pasang wajah pasrah.
Ratri lupa kalau tadi Bhaga bilang mau mengantarnya ke stasiun Tawang. Dulu sih waktu nikahan Mbak Windi saking sibuknya rumah Ratri, jadi orang- orang nggak begitu notice dengan keberadaan pria tinggi besar, gagah, ganteng, bernama Bhagavad Nirankara.
Setelah beres meletakkan bawaan Ratri ke dalam mobil, lelaki itu kembali ke rumah Ratri. "Bu dokter Nilam, Mas Rivan, Mbak Riris, saya izin mengantarkan Dik Ratri ke stasiun,"
Dan semua anggota keluarga Ratri yang berdiri di muka rumah itu terpana.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Soon To Be Husband
ChickLitRatri harus pulang saat saudara sepupunya menikah. Masalahnya dia barusan putus dengan Ergi, cowoknya yang doyan selingkuh. Terlebih, Mbak Windi memaksanya untuk jadi salah satu pagar ayu di acara tersebut. Dan celakanya, salah satu pagar bagus di a...