"Menurut kamu gimana, kalo seandainya Buna membangun rumah tangga sama Om Rama?"
Fay terdiam sejenak, tidak lama gadis itu mengembangkan senyum hangatnya. Ia meraih tangan Disha untuk di genggamnya erat.
"Nggak ada alasan buat Fay nolak, kalo itu menyangkut kebahagiaan Buna," jawab Fay seraya tersenyum.
Disha terharu mendengarnya. Wanita itu menarik Fay ke dalam pelukannya, mengusap lembut surai panjang sang anak penuh kehangatan.
"Makasih sayang," ucap Disha, menahan air matanya agar tidak lolos.
Fay membalas pelukan Disha, mengusap punggung sang bunda. "Jangan bilang gitu Buna, harusnya Fay yang berterimakasih sama Buna, karena udah ngelahirin Fay, udah rawat Fay, ngebesarin Fay, apalagi Buna ngelalakuin itu sendiri tanpa ada Ayah di samping Buna. Jadi, Fay rasa ini udah waktunya Buna nyari pengganti Ayah buat jagain kita berdua," ujar Fay tersenyum.
Lain halnya dengan Disha. Wanita itu bungkam, gerakan tangannya berhenti, bahkan bulir bening yang di tahannya sedari tadi, lolos begitu saja tanpa persetujuan.
"Buna," panggil Fay, melepas pelukannya.
"Kenapa nangis, Buna?"
Disha tersadar, dengan cepat ia mengelap air matanya, lalu tersenyum tipis. Sangat manis dan sedikit terlihat ... di paksakan. "Nggak papa, sayang. Buna terharu aja."
Fay mengangguk paham. "Tapi ntar kalo udah sama Om Rama, Buna nggak boleh lupain Ayahnya Fay, loh," peringat Fay.
Lagi-lagi Disha tidak dapat menahan air matanya. Ia tersenyum membalas, lalu bangkit dari duduknya. "Yaudah, Buna mau istirahat dulu ya," pamit Disha dengan suara bergetar, menahan isakannya.
Fay paham, lalu mengangguk. Dengan segera Disha keluar dari kamar anaknya itu. Fay menatap sendu kepergian Disha seraya berkata lirih. "Pasti buna kangen Ayah. Fay juga kangen, Bun. Fay pengen tau rupa wajah Ayah Fay."
***
Malam tiba, jika biasanya Kevin berdiam diri di kamarnya untuk belajar persiapan ujian, atau keluar nongkrong bersama teman-temannya, maka kali ini pria itu tengah menemani Fay menonton televisi di ruang keluarga. Suasana bising dari televisi di tambah obrolan yang di selingi canda tawa keduanya berbaur menjadi satu. Jika sedang berduaan seperti ini, pasti pembahasan mereka tidak jauh-jauh dari masa kecil keduanya. Ah, jika di ingat-ingat, masa-masa itu sangatlah indah. Masa dimana keduanya layaknya kakak beradik yang sama sekali tidak bisa di pisahkan. Masa dimana Fay hanya tau Kevin adalah bahagianya, dan begitupun sebaliknya. Dan ya, masa dimana dirinya belum mengenal cinta, yang jujur saja, saat ini Fay sangat menyesal telah mengenal apa itu cinta. Fay kembali mengingat Kay.
"Hahaha!! Lucu nya lagi lo boker di belakang kelas pas TK," ejek Kevin, seraya terbahak.
"Trus gue seret lo pulang ke rumah, Hahaha!!" lagi-lagi Kevin tergelak. Mengingat-ngingat apa yang ia lewati bersama dengan Fay kecil.
Kevin menghentikan tawanya, mengernyitkan dahi, melihat Fay yang hanya bungkam, menatap ke depan dengan pandangan kosong.
"Yoona?" panggil Kevin. Fay belum sadar, rupanya gadis itu masih sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri, yang dimana disana hanya berisi nama kekasihnya--Kay.
Sudah beberapa kali Kevin memanggilnya, namun tidak di gubris Fay. Kevin takut, takut jika adiknya itu kesurupan atau apa.
"Yoona!"
"Eh, apa Bang Ke?" tanya Fay reflek.
Seseorang memencet bel dari luar sana.
Kevin berdecak. "Ada tamu tuh, buka pintu gih," pinta Kevin.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE LOVE (END)
Teen Fiction[ YU DI FOLLOW DULU YUUU ] _AREA DI LARANG INSECURE!!!_ "Gue buruk banget ya?" lirihnya, bertanya ntah pada siapa. Fay tersadar, ia mengusap kasar air matanya. "Harus ya, semua cewek itu cantik? Harus ya, putih? Glowing? Nggak jerawatan? Body goals...