Di sebuah bangunan yang terdapat plang dengan tulisan Fay's Flowers di depannya, Fay yang notabennya merupakan pemilik toko bunga itu, tengah duduk di sofa yang ada di sana sembari merangkai bungka bersama dengan salah seorang karyawannya.
Sekedar informasi, beberapa bulan yang lalu, wanita yang tengah hamil besar itu menginginkan di bangunkan sebuah toko bunga untuk dirinya kelolah, dengan alasan agar dirinya tidak bosan di rumah. Maka, dengan senang hati Kay memenuhi keinginan wanitanya itu.
Saat tengah asik-asiknya merangkai bunga miliknya sesekali mengobrol bersama karyawannya, ponsel milik Fay berdering, menampilkan nama sang suami di sana. Dengan cepat Fay mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum, Sayang," salam Kay dari sebrang sana.
Fay tersenyum. "Wa'alaikumsalam."
"Sayang dimana? Udah pulang kan?"
"Bentar lagi," jawab Fay, sambil melanjutkan pekerjaannya. Panggilan sengaja ia loudspeaker.
"Astaga Yang, kamu nggak boleh capek-capek, kasian dede bayinya," omel Kay.
Fay memutar bola mata malas. Akhir-akhir ini suaminya itu selalu saja possesive. Pergerakan Fay pun sangat di batasi. Memang sih, Fay sadar diri jika dirinya tengah hamil besar, bahkan dokter sudah memperkirakan jika dalam waktu dekat ini dirinya akan segera melahirkan. Tapi tetap saja, Fay merasa bosan di rumah terus. Lagi pula kan di toko dirinya tidak mengerjakan yang berat-berat.
"Sayang, pulang ya? Aku telpon Pak Jodi buat jemput kamu," ujar Kay.
"Iya iya." mau tidak mau Fay menurut saja.
Setelah mendapat persetujuan dari sang istri, Kay segera mematikan sambungan teleponnya dan berniat akan menelepon supir pribadi keluarganya itu.
"Di, kamu bisa kan selesain ini sendiri?" tanya Fay pada karyawannya yang bernama Diana itu.
Gadis itu mengangguk. "Bisa kok mbak, lagian kan ada Luna tuh, yang nemenin," jawab gadis itu menunjuk sang teman yang tengah melayani pembeli.
Fay mengangguk-ngangguk, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa lalu mengelus-elus perut buncitnya.
"Sehat-sehat ya, Mama udah nggak sabar tau, nunggu kehadiran kamu," gumam Fay seraya mengelus-elus perutnya sendiri.
"Nanti kalo udah ada kamu, Mama nggak sendiri lagi di rumah," lanjutnya lagi. Fokus pada sang cabang bayi di dalam sana, tanpa Fay sadari seseorang sudah berdiri tepat di sampingnya.
"Iya Mama, bentar lagi aku keluar kok dari sini," ucap gadis itu dengan suara yang di buat-buat seperti anak kecil.
Fay terkejut bukan main.
"Naina?!"
Naina tersenyum manis, beralih duduk di samping sang kakak, dan memeluk Fay erat. Fay membalasnya tidak kalah erat.
"Aaaa kangen banget," ucap Fay. Akhir-akhir ini dirinya jarang sekali bertemu dengan adiknya ini. Bagaimana tidak, Naina saat ini tengah sibuk-sibuknya menjalankan peran sebagai mahasiswa.
Naina melepas pelukannya. "Tapi aku nggak kangen tuh," katanya.
"Kok nggak?" tanya Fay keberatan.
"Iya emang nggak, soalnya kangennya sama dedek bayi!!" dengan senyum sumringah gadis itu mengusap-usap lembut perut buncit sang kakak.
"Apa kabar ponakan aunty?" Naina berbicara dengan perut buncit Fay, seolah jika bayi di dalam sana dapat mendengarnya.
"Eh." Fay terkejut dengan mulut yang sedikit mengaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE LOVE (END)
Teen Fiction[ YU DI FOLLOW DULU YUUU ] _AREA DI LARANG INSECURE!!!_ "Gue buruk banget ya?" lirihnya, bertanya ntah pada siapa. Fay tersadar, ia mengusap kasar air matanya. "Harus ya, semua cewek itu cantik? Harus ya, putih? Glowing? Nggak jerawatan? Body goals...