Di sebuah ruangan yang di dominasi berwarna putih dengan bau obat yang menyengat memasuki indra penciuman, Fay berbaring di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Sedari tadi, pikiran Fay tertuju pada masalah dan fakta yang ia hadapi sekarang ini. Air matanya pun tidak berhenti mengalir.
Fay dengan cepat menghapus air matanya ketika merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya.
"Fay, ayo gue anter pulang. Mama gue udah tidur," ujar Rian. Ya, orang itu adalah Rian--teman sekelas Fay. Tadi siang saat pertemuan Fay dan Kevin, Fay berlari berniat akan membolos saja. Akan tetapi, Fay bertemu dengan Rian ketika pria itu baru saja mengambil motornya di parkiran, karena harus izin keluar untuk menjenguk sang mama yang di kabarkan masuk rumah sakit. Dan Fay memanfaatkan kesempatan itu. Fay meminta untuk ikut, beruntungnya Rian mengajaknya.
Fay bangkit dari tidurnya, mengubah posisinya menjadi duduk.
"Lo abis nangis?" tanya Rian. Pria itu cukup terkejut melihat Fay menangis.
"Ah nggak, kok." buru-buru Fay mengusap air matanya.
Rian tersenyum tipis. "Kebiasaan lo, sok kuat," ujarnya, mengacak lembut puncak kepala Fay, membuat gadis itu tertegun sejenak. Ya, Rian tahu masalah Fay. Rian tahu jika gadis itu hanya pura-pura kuat. Lagi pula, siapa yang baik-baik saja ketika fisiknya di hina? Rian mengaku salah, dirinya kerap kali menghina kekurangan gadis itu. Maka dari itu, Rian berniat memperbaiki kesalahannya.
"Jangan baper, ntar lo suka lagi sama gue. Udah yok, gue anter. Udah sore banget ini."
Fay terdiam sejenak.
"Gue nggak mau pulang, Ian."
"Trus lo mau kemana? Lo mau diem di sini, jagain Mama gue? Udahlah, gue tau lo mau memantaskan diri buat jadi mantu Mama gue, tapi nggak usah segitunya lah," ucap Rian, sengaja menyelipkan sedikit candaan agar gadis itu merasa terhibur. Dan benar saja, Fay terkekeh di buatnya.
"Bisa tolong anter gue ke rumah Moa nggak?"
Rian berdecak. "Ke pelaminan pun gue bisa!"
Lagi-lagi Fay di buat terkekeh.
Masih mengenakan seragam sekolahnya, keduanya berjalan menuju pintu keluar. Pada saat Fay membuka pintu, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri tepat di depannya dengan senyum manis yang Fay yakin, Fay tidaklah asing dengan senyum itu.
"Fay, siapa yang sakit?" tanya dokter Sia dengan senyum hangatnya.
Fay membalas tersenyum. "Ah ini Dok, temenin temen saya," jawab Fay.
Dokter Sia mengangguk paham. "Gimana wajahnya? Salepnya sering di pake kan?" tanya Dokter Sia.
"Udah mendingan Dok. Sering kok."
Fay terkesiap ketika dokter Sia mengelus lembut pipi tirusnya.
"Dok?"
"Ah, iya." dokter Sia melepas tangannya seraya tersenyum.
"Fay pulang dulu, Dok." dokter Sia mengangguk, setelahnya Fay di ikuti oleh Rian pergi dari sana.
Sesampainya di parkiran, Fay berpikir, apakah langkahnya benar untuk pergi ke rumah Moa. Tidak, Fay tidak ingin pulang ke rumahnya. Fay ingin menenangkan pikirannya sejenak, sebelum ia mendengar jelas fakta dengan sendirinya. Dan mungkin menemui sahabatnya itulah jalan yang tepat.
"Pegangan, ntar lo jatuh, mana nggak pake helm lagi," ujar Rian.
"E-eh,,," Rian menarik kedua tangan Fay untuk di lingkarkan ke pinggangnya. Fay terkejut bukan main.
"Biar nggak jatuh." Fay mengangguk sekilas, membiarkan tangannya melingkar di pinggang Rian. Setelahnya, Rian melajukan motornya menuju rumah Moa, yang dimana kemauan Fay sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE LOVE (END)
Teen Fiction[ YU DI FOLLOW DULU YUUU ] _AREA DI LARANG INSECURE!!!_ "Gue buruk banget ya?" lirihnya, bertanya ntah pada siapa. Fay tersadar, ia mengusap kasar air matanya. "Harus ya, semua cewek itu cantik? Harus ya, putih? Glowing? Nggak jerawatan? Body goals...