Masih di kediaman Moa, Fay sama sekali tidak mempunyai niat untuk pulang ke rumahnya. Ntah kenapa Fay hanya merasa tidak pantas. Fay merasa selama ini dirinya sudah merepotkan Disha yang jelas-jelas bukan orang tua kandungnya. Bukan, bukan berarti Fay tidak menyayangi Disha. Fay teramat menyayangi wanita itu, bagaimanapun Disha yang telah merawatnya sejak kecil.
Setelah selesai sarapan bersama dengan Moa, Fay kembali ke kamar gadis itu. Di rumah itu hanya ada mereka berdua, dan asisten rumah tangga Moa yang bekerja mulai dari pagi sampai sore, sedangkan Ayah Moa tengah berada di luar kota. Sekedar informasi, ibunda Moa telah lama meninggal, dan abang satu-satunya gadis itu sekarang ini tengah menempuh pendidikan di luar negeri. Jadinya, Moa di tinggal sendiri. Moa bersyukur masih mempunyai Fay, bahkan Moa kerap kali menginap di rumah Fay kala dirinya merasa sangat kesepian, begitupun dengan Fay.
Moa tersenyum lirih melihat Fay yang tengah menyendiri di balkon kamarnya. Moa tidak menyangka, fakta sebesar ini menimpa sahabat satunya itu. Moa mendekati Fay, menepuk pelan pundak gadis itu.
"Fay, lo baik-baik aja kan?" tanya Moa.
Fay berbalik, tersenyum tipis pada Moa sebagai jawaban.
Moa menghela nafas pelan. "Lo nggak ada niat pulang?"
"Lo ngusir gue?"
Moa berdecak. "Bukan gitu. Maksud gue tuh lo harusnya pulang, denger penjelasan bunda dulu, lagian pasti bunda sama bang Kevin khawatir karena lo belum pulang dari kemaren," jelas Moa.
Fay terdiam. Jika di pikir-pikir benar juga. Fay tidak ingin membuat Disha khawatir apalagi sedih. Ya, Fay harus pulang. Fay harus meminta penjelasan atas fakta tersebut.
Fay mengangguk, membuat Moa tersenyum lega. Sebenarnya Moa sudah lebih dulu memberitahukan kepada Kevin dan Disha jika Fay menginap di rumahnya. Bukannya apa-apa, Moa hanya tidak ingin Disha khawatir. Bagaimana pun, Moa sudah menganggap Disha sebagai ibunya sendiri.
"Lo di anter supir gue aja, ya?"
Fay menggeleng. "Nggak usah Mo, gue naik taksi aja," tolak Fay. Bukan karena Moa tidak ingin ikut mengantar Fay, hanya saja dirinya ingin memberi keluarga itu ruang untuk menyelesaikan masalah mereka.
"Seriusan nih? Lo beneran pulang kan?" tanya Moa memastikan. Takut-takut jika gadis itu tidak akan pulang dan pergi ntah kemana.
Fay berdecak. "Yaudah gue pulang dulu, baju lo ntar gue balikin," ujar Fay, melangkahkan kaki keluar dari kamar Moa, di ikuti oleh gadis itu.
"Kayak sama siapa aja lo," cibir Moa. Kebetulan sekali hari ini adalah hari minggu, jadinya Moa dan Fay tidak perlu bersiap-siap untuk sekolah.
Sesampainya di depan pintu utama, sebelum pintu di buka, Moa terlebih dahulu memeluk hangat Fay, menyalurkan kekuatan pada gadis itu.
"Apapun fakta yang lo denger nanti, lo harus coba terima, lo harus berpikir positif, oke?" Moa mengelus lembut punggung Fay.
"Makasih Mo, gue beruntung banget punya lo," ungkap Fay tulus.
Moa tersenyum tulus. "Gue juga bersyukur banget punya sahabat kayak lo." pelukan keduanya terlepas, saling melempar senyum seolah saling menguatkan.
"Yaudah, gue pulang ya."
Moa mengangguk, membukakan pintu tersebut. Namun, alangkah terkejutnya mereka mendapati seseorang yang sudah berdiri di depan mereka seraya tersenyum manis.
Fay menatapnya datar tanpa minat.
"Sejak kapan lo di sini?" tanya Moa.
"Barusan, niatnya mau ngetuk pintu, tapi udah kebuka duluan," jawab Kay. Tatapannya tidak luput dari Fay.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE LOVE (END)
Teen Fiction[ YU DI FOLLOW DULU YUUU ] _AREA DI LARANG INSECURE!!!_ "Gue buruk banget ya?" lirihnya, bertanya ntah pada siapa. Fay tersadar, ia mengusap kasar air matanya. "Harus ya, semua cewek itu cantik? Harus ya, putih? Glowing? Nggak jerawatan? Body goals...