Jam menunjukkan pukul 12 tengah malam. Kay, pria itu sama sekali tidak bisa tidur, bahkan sejak pulang sekolah tadi dirinya hanya berdiam diri di balkon kamar seraya mengamati kegiatan binatang-binatang peliharaannya di bawah sana. Kay hanya keluar kamar apabila dirinya ingin makan dan minum seperti sekarang ini.
Kay merasa tenggorokannya sedikit kering, ternyata memikirkan masalah yang sedang menimpanya, bukan hanya membuat kepalanya pusing. Kay beranjak, keluar dari kamarnya. Kay menengok ke kamar yang dimana itu merupakan kamar sang adik. Sudah beberapa hari ini dirinya selalu menolak ajakan bermain Debay. Ntahlah, Kay hanya ingin sendiri. Kay menuruni tangga menuju dapur. Sesampainya di dapur, ia mengambil air minum dari lemari pendingin, lalu duduk di kursi meja makan dengan posisi mengangkang menghadap sandaran kursi seraya meneguk airnya hingga tandas.
Kay terdiam sejenak, ia teringat akan hari dimana ia menjenguk Naina, dan bertemu dengan ayah dari gadis itu, akan manik mata yang mampu membuat jantungnya berdetak dengan sangat cepat.
Kay berguman seraya berpikir. "Mirip siapa ya?" ujarnya bertanya-tanya.
"Nggak mirip Naina," lanjutnya lagi.
Lama Kay berpikir, hingga wajah gadis yang sangat ia cintai melintas di pikirannya.
"Fay," ujarnya dengan badan yang seketika menegak. Tidak lama, bahu kekarnya merosot dengan tatapan sendu ke depan.
"Kangen Fay," lirih Kay. Jujur, Kay sangat merindukan gadis itu, Kay rindu akan senyumnya, akan wangi yang mampu menghipnotisnya untuk tetap tinggal. Kay sebenarnya tidak marah, hanya saja ia kecewa. Kecewa akan apa yang di lakukan gadis itu, terlebih apa yang ia lakukan di belakangnya dengan pria lain. Sial! Kay kembali teringat akan ucapan Kenan tadi siang saat di kelas.
Kay mengeraskan rahangnya, tangannya menggenggam erat gelas yang ada di tangannya. Kay menggeleng. "Nggak, gue nggak boleh percaya penjelasan bangsat itu!" gumamnya penuh penekanan.
Lampu dapur menyala, akan tetapi Kay masih belum menyadari kedatangan Shena. Kay masih terbakar emosi yang bersiap akan menghancurkan gelas yang ada di tangannya. Beruntungnya, tidak jadi.
"Abang," panggil Shena lembut. Ia tahu, anak sulungnya itu akhir-akhir ini terlihat banyak berubah. Dan ya, Shena cukup peka akan permasalahan yang menimpa putranya itu.
Kay mendongak, menatap Shena yang sudah berdiri di sampingnya. Kay mengubah posisi duduknya.
"Kenapa belum tidur?" tanya Shena lembut.
"Belum mau, Mam."
Shena paham, ia bahkan ingin tertawa mengejek anak sulungnya itu. Bagaimana tidak, raut wajah Kay terlihat sangat menyedihkan, layaknya orang yang baru saja patah hati dan di tinggal oleh sang kekasih. Ah, atau mungkin memang benar? Lagipula, jika di pikir-pikir, calon menantunya itu sudah jarang sekali main kerumahnya ini.
Shena tersenyum geli, melihat keadaan sang anak. Tangan Shena terulur mengusap lembut rambut Kay seraya bertanya. "Lagi ada masalah?"
Kay tidak menjawab, tatapannya senantiasa lurus ke depan.
Shena menghela nafas pelan. Jujur, ia menahan mati-matian agar tawanya tidak meledak. Laknat sangat bukan?
"Sama Fay, ya?" tanya Shena lagi.
Kay mendongak menatap Shena. Kali ini, Shena dapat melihat jelas wajah anaknya. Raut sendu, rambut berantakan dan tatapannya yang sayu. Seketika Shena menelan mentah tawa yang sedari tadi ia tahan.
Kay meletakkan gelas tersebut di atas meja, lalu bangkit menghambur memeluk Shena erat. Shena tentu membalas pelukan sang anak. Jika di pikir-pikir, baru kali ini lagi putranya itu bermanja memeluknya setelah terakhir saat dirinya pulang dari luar negeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE LOVE (END)
Teen Fiction[ YU DI FOLLOW DULU YUUU ] _AREA DI LARANG INSECURE!!!_ "Gue buruk banget ya?" lirihnya, bertanya ntah pada siapa. Fay tersadar, ia mengusap kasar air matanya. "Harus ya, semua cewek itu cantik? Harus ya, putih? Glowing? Nggak jerawatan? Body goals...