CHAPTER 63 | THE BEAST'S PARTNER

253 18 0
                                    

"Baiklah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Baiklah. Lalu, bagaimana dengan Gemma?" Dennis kembali bertanya mengenai ibu Justin.

Rahang justin mengeras begitu mendengar pertanyaan Dennis. Seolah hati dan otaknya kembali mengeras sekeras batu. "Lihat saja nanti."

Felix mencoba untuk bersikap rasional pada Justin. "Kami tahu dia menyakitimu, tapi kurasa aku perlu mengatakan ini padamu, jadi ingat baik-baik hal ini. Jangan lari. Hadapi. Aku tahu kau marah padanya. Kami mengerti dan kami tidak akan menghalangimu untuk meluapkannya. Kami juga tidak akan memaksamu untuk memaafkannya, karena keputusan itu harus datang dari dirimu sendiri. Tapi, asalkan kau bisa memaafkan dirimu sendiri dan berdamai dengan masa lalumu, kami tidak masalah. Kami akan membantumu."

Justin tersenyum mendengarnya, kemudian menganggukkan kepalanya pelan. Ia tahu semua temannya akan memahami situasinya saat ini. Mereka yang selalu bisa membaca situasi, membuat Justin merasa beruntung selalu memiliki teman serasa keluarga seperti mereka.

"Baiklah. Kurasa, itu saja. Kami tahu kau pasti bisa mengatasinya dengan baik saat ini. Jangan sampai kejadian semalam terulang kembali." Arthur bersuara. Mereka hendak berpamitan pada Justin.

Sebelum keluar ruangan, tak lupa Edric mengingatkan Justin mengenai pesta tahunan yang selalu diadakan perusahaan mereka.

"Ingat, Justin. Masalah ini tidak akan membuat kita harus mengundur acara pesta tahunan kita, bukan?" Edric tersenyum jenaka.

"Ini bisa menjadi kesempatan keduamu. Jangan sampai terlewatkan." sambung Dennis. Justin tahu jelas apa maksud keduanya. Jadi, ia hanya tersenyum menanggapi.

Setelah teman-temannya pulang, Justin menemui Dee di kamarnya. Mengetuk beberapa kali, Dee memersilakan kakaknya itu masuk.

"Dee?"

Dee menoleh dan tersenyum lembut. Senyumnya tidak menyentuh matanya. Raut cerianya yang dibuat-buat, Justin tahu itu hanyalah topeng yang Dee buat. Justin menghampiri Dee dan duduk di sampingnya.

"Kurasa... aku tidak perlu bercerita panjang tentang apa yang terjadi semalam." Justin tersenyum kaku. "Aku juga bukan orang yang tepat untuk membicarakan masalah sendiri. Aku saja masih memerlukan orang lain untuk menolongku, dan bahkan mungkin ucapanku ini akan terdengar lebih seperti Arthur atau Felix yang mengatakannya, tapi.... sebagai kakak, aku ingin kau hanya mendapatkan kebahagiaan, Dee. Mengenai kejadian semalam, aku terlalu terkejut saat bertemu dengannya, aku marah, dan kau tahu bagaimana kakakmu ini." Justin menjedanya, kemudian tertawa kering.

"Ketika suatu saat nanti, kau bertemu dengannya, aku ingin kau untuk tidak lari. Kau bisa memarahinya disana, itu lebih baik. Luapkan saja semua kekesalanmu, karena kau berhak untuk marah. Aku hanya tidak ingin kau lari. Kau tahu maksudku, kan, Dee?"

Dee masih mendengarkan ucapan kakaknya dengan seksama. Ia hampir menangis, bukan menangis tanpa alasan, tapi berpikir kakaknya melalui waktu sulit seperti semalam, membuatnya tak tahan untuk memeluknya. Justin pun membalas pelukan itu.

Beauty for the BEAST (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang