CHAPTER 13 | THE STORM

466 44 0
                                    




Hannah masih terus mencari sang ibu dengan panik. Membiarkan tempat yang berantakan dimana-mana, ia masih menyerukan nama sang ibunya, membuka setiap pintu ruangan yang tertutup. Menaiki tangga menuju lantai atas, ia kembali mencari sang ibu, meneriakkan nama ibunya sekeras mungkin.

Sementara itu, Justin hanya melangkahkan kakinya perlahan demi perlahan, takut ia akan semakin merusak barang yang berserakan di lantai. Namun, tiba-tiba saja ia melihat beberapa lembar kertas yang tertindih oleh kursi. Mengambil kursi itu, Justin menarik kertas yang sudah teremas. Tercetak jelas kertas macam apa yang membuatnya tidak habis pikir. Sebuah cek hutang dari rentenir.

Mendekati ruang tidurnya, Hannah mendengar suara tangisan yang ia yakini adalah suara tangisan ibunya. Tak ingin berpikir lebih lama lagi, Hannah membuka pintu dan menemukan ibunya yang terduduk dengan membawa foto pigura sang ayah. Ibunya menangis pilu, membuat Hannah yang menghampirinya turut menangis, merasa sakit mendengar dan melihat kondisi ibunya yang seperti ini.

Hannah memeluk ibunya yang masih terus menangis seraya memeluk pigura foto sang ayah. Tak hanya itu, ibunya terus mengucapkan kata maaf berkali-kali, membuat Hannah kebingungan dalam tangisnya.

"Hannah, sayang, maafkan ibu, Nak. Maafkan ibu." tangis Irene, memejamkan kedua matanya, merasa tak sanggup melihat sang anak di depannya yang turut menangis untuknya.

"Sssh, ibu, tenang, bu. Iu harus tenang dulu. Te-tenangkan diri ibu dulu, ya? Hm? Aku di sini, aku di sini. Ibu baik-baik saja di sini." Hannah berusaha menenangkan ibunya di sela tangisnya yang tidak bisa ia hentikan.

Dengan berusaha susah payah, hannah berusaha membantu ibunya berdiri dan kelaur dari kamarnya. Menuruni tangga, mereka berjalan perlahan menuju dapur. Di ujung tangga, Justin hanya berdiri menatap keduanya dan mengikuti mereka menuju dapur.

Hannah mengangkat sebuah kursi dan menatanya supaya Ibunya bisa duduk di sana. Justin berdiri di belakang Irene.

"Apa Irene baik-baik saja?" tanya Justin pelan, merasa bingung dengan apa yang harus ia katakan setelah melihat kondisi Irene.

Hannah menggelengkan kepalanya lemah. Kemudian, ia mengambil segelas air mineral untuk ibunya. Sementara itu, Justin ikut mengambil salah satu kursi yang masih tergeletak mengenaskan dan meletakkannya di samping Irene. Kondisi Irene begitu memprihatinkan, tidak terlihat seperti biasanya, dimana wanita itu terus menyemangatinya dan tersenyum lembut.

Hannah kembali dengan segelas air mineral dan mengulurkan gelas itu pada Irene. "Minumlah dulu, Bu."

Justin dan Hannah menunggu Irene menghabiskan segelas air mineral itu. Kemudian, Hannah kembali menggenggam kedua tangan ibunya dan tersenyum lemah di depan ibunya. Perlahan, Hannah meletakkan kepalanya di kedua kaki Irene.

Dengan pelan, Hannah bertanya, "Ibu, apa yang sebenarnya terjadi, hm?"

Bukan jawaban yang diinginkan Hannah yang keluar dari bibir sang ibu, melainkan suara tangis ibunya yang kembali memecah. Hannah mendongakkan kepalanya.

Irene mengulurkan satu tangannya dan mengusap pipi Hannah lembut. "Maafkan ibu, Nak. Maafkan ibu." dan hanya kalimat itu yang bisa Irene ucapkan saat ini. Membuat Hannah semakin kebingungan.

"Ibu tidak tahu.... harus mengatakan apa padamu..... sungguh, Hannah." lanjut Irene di sela tangisnya. Hannah sendiri semakin kebingungan.

"Ibu, jangan membuatku semakin kebingungan. Seperti ini. Ada apa? Ada masalah apa, hm? Katakan saja padaku." Hannah meminta pelan.

Entah dorongan darimana, saat melihat Irene dan Hannah dalam tangis haru seperti ini, membuatnya menghela napas, kemudian mengulurkan beberapa lembar cek yang ia temukan tadi. Ia merasa ia harus melakukan sesuatu di saat Irene sendiri tidak bisa menjelaskannya sendiri.

Beauty for the BEAST (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang