"Tidakkah umur kita terlalu muda untuk melakukan penikahan sekarang?" gumam salah seorang pria yang sedang membawa gelas vodkanya.
"Memang kenapa, Arthur? Apa kau tidak ingin menikah?" Tanya seorang pria bernama Dennis.
Arthur meletakkan gelas vodkanya dan menyenderkan tubuhnya sambil menatap langit-langit ruangan.
"Entahlah. Aku sudah tidak mengerti lagi tentang wanita." jawab Arthur sambil menghela napasnya.
Saat ini, mereka sedang berada di salah satu ruangan VIP club ternama. Mereka biasa berkumpul disini pada malam hari. Biasanya, hanya untuk berbincang, atau jika mereka sedang bosan.
Tiba-tiba, pintu tergeser dan ternyata Felix sudah datang. Ia langsung menghampiri teman-temannya di sofa dan duduk di sebelah Edric-yang sedang digelayuti oleh seorang wanita-dan mengambil gelas vodkanya.
"What did I miss?" Tanya Felix santai.
"Terlambat. Kau selalu begitu, Jullian. Kau dan kebiasaanmu itu." jawab Dennis sambil berdecak.
Felix hanya mengedikkan bahunya. Hari ini ia begitu lelah, namun masih menyempatkan waktunya untuk memenuhi ajakan teman-temannya setiap malam. Pagi tadi, ibunya memintanya untuk menemaninya ke supermarket, dan alhasil ia harus mengerjakan pekerjaannya saat ibunya selesai belanja, tepatnya, saat matahari mulai terbenam.
"Mungkin kau harus menanyakan hal itu juga pada Jullian, Nis." kata Justin tiba-tiba.
"Ah, akhirnya, kau bersuara juga, Tuan Justin Leonard yang agung." sela Arthur yang langsung membuat semuanya tertawa.
Justin memang tergolong pria yang sangat irit bicara, bahkan ia juga irit senyum. Wajahnya tampan, namun, sikap dinginnya menutupi aura ketampanannya, begitulah yang teman-temannya deskripsikan.
Justin tidak menggubrisnya dan memutar bola matanya jengah.
"Memang hal itu hal apa?" Tanya Felix mengerutkan alisnya.
Edric mengedikkan bahu tidak mengerti. Sejak tadi, ia hanya bermanja-manja dengan seorang wanita yang menggelayutinya. Ah, ralat. Mungkin, wanita itu yang manja dengannya, sehingga, dengan terpaksa ia harus meladeninya.
"Ah, itu, masalah pernikahan, percintaan, dan segala macamnya, Jullian. Mungkin kau tidak tertarik." jawab Dennis.
"Say, Mr. Jullian, how do you think about marriage?" Tanya Arthur meletakkan vodkanya dan menatap Felix di seberang sofanya.
"You know me, Mr. Dale. So far, belum ada yang bisa memberikan ketulusan cinta lebih padaku selain orang tuaku. Dan aku tidak berniat untuk mencarinya." Jawab Felix santai.
Semua bersorak, kecuali Justin. Ia hanya menggelengkan kepalanya melihat teman-temannya yang suka sekali membahas masalah percintaan.
"But, one day you'll marry someone, Dude. After all, who is the woman who will refuse your look." kata Arthur dengan tawa renyahnya.
"Wait, who knows, guys, maybe someday, there will be a beautiful and sweet woman who will reject him and his pride will be like-ouch....."
Tiba-tiba sebuah bantal sudah mendarat dengan mulusnya di muka Dennis yang sedang berbicara. Siapa lagi kalau bukan Felix yang melakukannya. Ia sedikit terhina masalah 'wanita akan menolak' tampangnya itu. Well, ia jadi menyetujui apa yang Arthur katakan sebelumnya.
Arthur dan Edric yang melihatnya terbahak-bahak melihat Dennis terkena lemparan bantal itu. Sementara Justin hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul. Ia sudah terbiasa melihat teman-temannya seperti ini. Jujur saja, ini merupakan salah satu hiburan yang ia sukai jika sedang bersama mereka.
"Jangan menghina tampangku ini, Dennis. Lagipula, sudah ada buktinya disini, selain Edric, para wanita juga akan selalu datang padaku." Felix mengatakan dengan penuh percaya diri sambil melirik Edric.
"Itu karena dia memang seorang ahlinya dalam masalah player, Dude. Dan lagipula kita juga sering melihatnya menggandeng banyak wanita untuk makan malam atau dibawa ke apartmentnya. Sedangkan kau? Menggandeng pun tidak. Rayuanmu itu tidak akan bertahan lama, Mr. Jullian" jelas Justin panjang lebar.
Semua tercengang mendengar penjelasan panjang lebar Justin.
"WOW! Itu adalah kalimat ejekan terpanjang yang pernah kudengar langsung dari mulutmu, Justin, so proud!" seru Dennis sambil berdiri dan bertepuk tangan dengan keras.
"I admit it, it was. After I kick your ass." sarkas Justin yang langsung membuat semuanya tertawa, kecuali Dennis. Ia langsung kembali duduk dan hanya tertawa renyah.
"Guys, seharusnya kita menyelesaikan pembahasan topik utama kita." decak Arthur.
"Hey, sudahlah. Inti dari pembahasan ini, pada akhirnya kita semua akan menikah, jujur saja aku juga ingin menikah tentunya. Sayangnya, aku belum menemukan gadis yang tepat." jawab Edric melepaskan lengan wanita di sampingnya.
"Gadis yang bisa memuaskanmu, mungkin itu yang kau maksud, Mr. Bastard." jawab Felix.
"Well, it's also included. Trust me, everyone....." Edric belum menyelesaikan ucapannya ketika semua temannya melanjutkan apa yang akan dikatakan Edric.
"Everyone needs 'that', Edric" seru mereka dengan menyensor bagian 'that' yang tidak ingin mereka sebutkan. Hal itu membuat Edric tertawa lepas.
"Mungkin salah satu dari kita akan memikirkan masalah pernikahan ini dengan serius." sindir Arthur.
Semua lantas melirik pada seorang pria yang duduk di pojok sofa dan menatapnya lama.
"Ada apa?" Tanya Justin yang merasa sedang ditatap oleh teman-temannya.
"Berikan pernyataanmu, Justin sayang." Goda Dennis dengan panggilan sayangnya dan nada manjanya, sehingga langsung mendapatkan tatapan tajam Justin.
"Entahlah. Mungkin iya mungkin tidak. Untuk saat ini, tentu saja tidak. Nanti, mungkin akan ada seseorang." jawab Justin sekenanya sambil mengedikkan bahunya.
Semuanya tercengang dengan jawaban yang diberikan Justin. Jadi, apa maksud Justin? Yang mana yang benar?
Semuanya terdiam cukup lama dengan pikiran mereka masing-masing. Tentu saja, tentang masalah pernikahan ini. Semua menjadi pemikir yang keras, tak terkecuali si Pangeran Dingin nan Tampan, Justin Leonardo.
"Ya, mungkin benar. Kita memang harus menikah nanti. Aku tidak ingin orang tuaku menjodohkanku secara tiba-tiba dengan anak kenalannya atau siapapun itu. Itu agak menjijikkan." jelas Edric bergidik ngeri membayangkan perjodohan yang ia maksud dan semuanya menganggukkan kepala setuju, kecuali Justin yang hanya menaikkan alisnya.
"Tapi, siapa yang tahu bukan. Kita tidak akan tahu takdir apa yang akan kita alami." Jelas Justin.
"Benar juga. Yang terpenting, kita akan menikah, bukan. Rasanya sungguh tidak sabar. Ah, bagaimana tampang calon wanitaku ini, ya?" kata Dennis sambil menatap langit-langit ruangan dan tersenyum.
"Kira-kira, dari kita berlima, siapa yang akan menikah duluan?" Felix menerawang ke udara sambil bertanya yang sukses membuat teman-temannya juga ikut memikirkannya.
***
NEXT TO CHAPTER 1
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty for the BEAST (ON GOING)
Romance#The Heirs Series (3rd) Pria yang diinginkan setiap wanita, namun tak tersentuh. Penghianatan mendalam yang mengubahnya menjadi seorang pria tanpa perasaan. Dingin bagai es yang tak mampu dilelehkan lagi. Dunianya berbeda dengan orang lain, ia hidup...