19th May-22.20Sesuai rencana yang sudah ditetapkan, kini Justin, Edric, dan Dennis berkumpul bersama di club biasanya. Beruntung Edric belum memiliki rencana kembali ke Amerika dalam waktu dekat, tidak seperti Dennis yang sudah bolak balik Amerika-Paris seolah negara itu tidak berada dalam jarak yang jauh. Sudah berjam-jam mereka menghabiskan waktu di club tanpa melakukan sesuatu yang mengasyikkan.
Dennis menghela napas. "Ah, terlalu sepi." keluhnya.
Edric menatap Dennis yang sudah bosan seraya merangkul bahu salah satu wanita di sampingnya. "Carilah satu untukmu, Dennis." Edric menyeringai. Dennis menoleh, menatap jijik Edric.
"Aku bosan, tapi ini bukan masalah wanita." menjedanya, Denis menoleh sekitar. "Lihatlah kita, berkumpul bertiga di sini sementara 2 sahabat kita lainnya sedang bersantai bersama istri mereka di rumah." lanjutnya.
"Pada akhirnya kita akan membahas wanita, kan?" sahut Justin. Dennis kembali menghela napasnya.
"Kau tahu, rasanya terlalu cepat menyaksikan temanku sendiri sudah menemukan wanita pilihan mereka dan kini sudah menyandang status keluarga sebagai suami dan calon ayah." ucap Dennis.
Edric kembali menoleh Dennis dengan kedua alis yang terangkat. "Evy?"
Mendengar sebutan wanita itu membuat Dennis menatap Edric tajam. "Damn, jangan bawa nama penyihir itu di depanku." ketusnya.
Edric menggelengkan kepalanya, terheran dengan sikap Dennis yang masih seperti itu. "Kau terlalu kasar, Dennis. Aku bertaruh kau belum mengetahui apapun tentangnya." sindir Edric dengan sinis.
Dengan mengikuti logat bicara Edric, kedua bola mata Dennis memutar. "Bla bla bla. Dan kau tahu apa tentangnya? Kita sudah mengenalnya sampai sejauh ini dan aku yang paling mengerti kenapa dia pantas dijuluki penyihir. Dia-"
Dennis belum sempat selesai menyelesaikan kalimat umpatannya ketika Justin tiba-tiba berdiri dengan menghela napas kasar, membuat Edric dan Dennis menoleh pada pria itu.
"Shut it. Kalian bersenang-senang lah, aku akan pulang sekarang." Jutsin segera berlalu sementara teman-temannya mengeluarkan kalimat protes yang hanya teredam dengan suara pintu.
*****
Justin's Mansion.
Justin berdiri di balkon kamarnya, membiarkan udara dingin menembus kulit dan menusuk tulangnya. Seolah bukan dingin yang ia rasakan, ia malah teringat dengan ucapan Dennis di club beberapa saat yang lalu. Mengenai pernikahan Felix dan Arthur. Justin tersenyum membayangkan momen ketika kedua sahabatnya itu melakukan pernikahan itu.
Tidak. Justin tentu saja senang para sahabat baiknya itu akhirnya sudah melabuhkan hatinya pada wanita yang mereka cintai. Hanya saja, itu membuatnya terus khawatir dan memikirkan masa lalunya sendiri. Setiap kali ia berpikir, semakin dalam rasa sakit yang ia rasakan. Justin hanya ingin kebahagiaan untuk kedua sahabatnya itu.
*****
20th May.
"Ibu!" teriak Hannah seraya menuruni tangga rumah dengan berlari. Kedua alisnya terangkat begitu bukan ibunya yang ia temui, melainkan Alex.
"Alex? Ah, apa kau melihat ibuku?" tanya Hannah kemudian.
Alex tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Hei. Oh, ya, aunty keluar pagi-pagi tadi. Dia terlihat terburu-buru, apa ada masalah?"
Mendengar jawaban Alex, membuat Hannah berpikir. Masalah apa dengan ibunya, jika sebelumnya saja mereka sempat bersenda gurau.
"Hm? Entahlah, dia tidak mengatakan apapun padaku." jawab Hannah. "Kau sendiri? Kau tidak bekerja?" tanya Hannah kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty for the BEAST (ON GOING)
Romance#The Heirs Series (3rd) Pria yang diinginkan setiap wanita, namun tak tersentuh. Penghianatan mendalam yang mengubahnya menjadi seorang pria tanpa perasaan. Dingin bagai es yang tak mampu dilelehkan lagi. Dunianya berbeda dengan orang lain, ia hidup...