Cahaya bulan terang sudah menggantikan sang matahari ketika Justin masih belum ingin kembali ke rumah. Padahal, ia sudah mengatakan pada bernard jika ia akan pulang sore sebelum makan malam tadi. Karena itu, bernard pun sempat menghubunginya beberapa kali sebelumnya. Namun, tentu saja Justin tidak menggubrisnya. Saat ini, hatinya seolah masih berada di bayang-bayang yang hendak ia gapai.Tidak ada waktu lagi, pikir Justin. Ia tidak bisa mengulur waktu lama sendirian tanpa membuat langkah pasti. Bagaimana ia bisa mengetahui hasilnya nanti jika ia saja tidak melangkah. Karena itu, ia memantapkan dirinya, lagi, untuk keluar. Untuk berubah menjadi Justin yang berada di luar lubang hitamnya.
Merapikan meja kerjanya, kemudian justin segera bernajak keluar dan kembali pulang. Di perjalanan, ia membeli sebuket bunga gladiol, berniat untuk memberikannya pada Hannah. Justin tersenyum begitu memasukkan buket bunga itu pada kursi bagian penumpang. Ah, rasanya sangat tenang.
***
Memikirkan bagaimana kejadian-kejadian ambigu yang membuatnya hampir kehilangan fokus, membuatnya terus menghela napas. Di dapur, dengan tatapan kosongnya, Hannah berusaha menekan perasaan janggal itu agar tidak membuatnya kehilangan arah. Kejadian sebelumnya, jadikan saja sebagai pelajaran dan tanda bahaya. Tanda dimana ia harus bisa menjaga diri dan lebih menjaga jarak aman.
Beberapa saat kemudian, tepat ketika Hannah sedang menyiapkan makan malamnya sendiri, Justin tiba di mansion dan memasuki dapur setelah mencium bau masakan.
Hannah mendongakkan kepalanya, menyadari seseorang mendekat.
"Ah, Justin. Kau sudah pulang rupanya. Kenapa malam sekali?"
Diam-diam, justin menarik napas dalamnya dan mengeluarkannya perlahan, berusaha agar kecanggungannya tidak terlihat.
"Well, ada banyak yang harus dikerjakan ternyata."
Hannah menyipitkan kedua matanya. "Apa ini akibat kau yang terlalu sering meninggalkan pekerjaanmu saat itu?"
Mendengar sarkas Hannah, membuat Justin tertawa kecil. "Tentu saja tidak. Bahkan, sebenarnya ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan."
Justin tersenyum tipis. Sejenak, keduanya hanya saling menatap sebelum akhirnya Hannah memutus kontak mata mereka lebih dulu dan mengedikkan bahu.
"Kau sudah makan malam?" tanya Hannah santai.
Alih-alih menjawabnya langsung, Justin melirik sebuah piring di depan Hannah. "Kau memasak?"
Hannah menganggukkan kepalanya cepat. "Kau bisa mencicipinya kalau kau mau. Aku akan menyiapkannya untukmu."
Dengan antusias, Justin tersenyum. "Tentu."
Hannah menyiapkan satu porsi makan malam untuk Justin yang duduk di kursi pantry. Meletakkan piring di depan Justin, Hannah tidak sengaja melihat sebuket bunga yang berada di samping Justin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty for the BEAST (ON GOING)
Romance#The Heirs Series (3rd) Pria yang diinginkan setiap wanita, namun tak tersentuh. Penghianatan mendalam yang mengubahnya menjadi seorang pria tanpa perasaan. Dingin bagai es yang tak mampu dilelehkan lagi. Dunianya berbeda dengan orang lain, ia hidup...