20TH June.Justin dan Hannah jalan bersampingan memasuki lift rumah sakit yang akan membawa mereka menuju lantai kamar rawat Irene. Hannah membawa sebuket bunga lili kesukaan ibunya, sementara Justin masih sibuk dengan tablet di tangannya, menangani beberapa e-mail yang masuk sebelum ia berangkat ke kantor siang ini.
Begitu keluar dari pintu lift, dari kejauhan, Hannah bisa melihat beberapa pengawal Justin yang masih menjaga ketat kamar rawat Irene. Hingga saat mereka sampai di depan kamar rawat Irene, Justin membiarkan hannah masuk terlebih dahulu, sementara itu Justin meminta para pengawalnya untuk pergi sebentar dan memberikan mereka privasi. Para pengawal itupun pergi tanpa menutup pintu kamar rawat.
Hannah meletakkan buket bunga lili di samping ranjang Irene terbaring, kemudian ia tersenyum melepas rindu pada ibunya yang masih memejamkan matanya. Sementara itu, Justin hanya melirik sekilas, kemudian duduk di sofa yang ada di sana, kembali memfokuskan diri pada dokumen di tabletnya.
"Ibu... aku sudah datang.... aku baik-baik saja, jadi ibu harus berjuang dan cepatlah buka mata ibu untukku, hm?" Hannah memberi semangat pada ibunya yang masih terbaring memejamkan kedua matanya di ranjang.
Setelah menata bunga lili di sebuah vas bunga di sana, hannah juga berusaha memijat kedua pergelangan tangan sampai kedua kaki ibunya agar tidak terasa kaku selama berbaring. Hannah melakukannya dengan sangat pelan-pelan seolah takut ibunya kesakitan di beberapa bekas luka yang masih terlihat. Bekas-bekas luka itu, Hannah masih mengingat dengan jelas bagaimana itu semua terjadi.
Hannah memang tidak pernah menanyakan apapun lagi mengenai kejadian mengerikan itu, toh ia tahu pria itu sudah tidak ada di dunia ini lagi. Justin sudah menanganinya. Entahlah, entah bagaimana nasibnya jika saja Justin dan felix tidak datang tepat waktu saat itu. Mungkin saja pria itu sudah mengambil mahkota berharganya, atau bahkan lebih buruk dari itu. Hannah bersyukur, hanya itu yang selalu ia pikirkan setelah kejadian itu.
Karena terlalu fokus menemani sang ibu, Hannah sampai lupa jika masih ada justin bersamanya di ruangan ini. Sama halnya dengan justin yang terlalu sibuk dengan tabletnya hingga tidak mengeluarkan sepatah katapun, membuat hannah melupakan eksistensi pria itu di ruangan.
Hannah berdiri dan hendak pergi menuju sofa di balik sekat dinding. Hannah tidak mengira jika justin justru tertidur di sofa dengan tablet yang masih menyala. Hannah tersenyum kecil melihatnya, kemudian berjalan mendekat dan duduk di samping Justin.
Ini pertama kalinya Hannah melihat Justin tertidur dengan tenang seperti ini. Pelan-pelan Hannah mengambil tablet justin kemudian meletakkannya di meja. Hannah kembali menoleh pada justin. Hannah semakin berpikir kenapa Justin sudah melakukan banyak hal untuknya. Entah tanpa disengaja, maupun tanpa diminta, selalu Justin yang membantunya. Terdiam, tanpa sadar, hannah mengangkat satu jarinya yang kemudian terulur menyentuh hidung mancung justin, kemudian menyusurinya perlahan. Hannah tersenyum kecil, menyadari jika justin memiliki tulang hidung mancung dan kuat seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty for the BEAST (ON GOING)
Romance#The Heirs Series (3rd) Pria yang diinginkan setiap wanita, namun tak tersentuh. Penghianatan mendalam yang mengubahnya menjadi seorang pria tanpa perasaan. Dingin bagai es yang tak mampu dilelehkan lagi. Dunianya berbeda dengan orang lain, ia hidup...