22nd May.Pagi ini, Hannah tidak berangkat kerja lagi. Entah kenapa, ia ingin menghabiskan waktu di rumah dahulu untuk saat ini. Kini, ia sedang pergi jalan-jalan keluar mengunjungi sebuah taman yang berlokasi di dekat rumahnya. Menghabiskan waktu sendiri, seolah membuat hal ini adalah hal ternyaman yang pernah ia lakukan sampai saat ini.
Walaupun sebenarnya ia harus mengakui ia harus melihat beberapa pemandangan tak mengenakkan yang membuatnya gelisah. Melihat interaksi antara beberapa anak kecil bersama ayah mereka, entah bagaimana, membuatnya iri. Membuatnya mengingat masa lalu ketika sang ayah masih hidup bersamanya dan ibunya. Hannah tersenyum kecil, ketika ia mendapati seorang gadis kecil yang dimarahi ayahnya karena meminta sebuah skate board.
Memasang headphone di telinganya, Hannah kembali melangkahkan kakinya dan bersenandung kecil, menyusuri sepanjang jalanan. Kemudian, tak lama dari itu, ia melihat seoarang penjual roti di tepi jalan. Menghampiri penjual itu, Hannah hendak membeli beberapa potong untuknya dan juga ibunya.
***
Pagi yang biasa untuk Justin. Ia mengendarai mobilnya hendak pergi ke kantor. Tanpa seorang supir. Sejak ia keluar dari area mansionnya, jalanan tampak lenggang, tidak banyak kendaraan lewat walaupun sudah memasuki akhir minggu. Akhir minggu yang biasa untuk Justin, tentu saja.
Di tengah jalan, Justin mengernyitkan keningnya begitu melihat suatu kegaduhan yang terlihat ramai. Mencoba menghentikan mobilnya, Justin mencoba untuk menajamkan penglihatannya. Sedikit terkejut ketika melihat seorang gadis yang sedang 'murka' adalah gadis yang ia kenali. Dia adalah Hannah.
Justin turun dan melangkah menuju kerumanan yang semakin ramai itu, semakin mendengar ucapan makian demi makian yang dilontarkan oleh gadis itu.
"Aku jelas merasakan tangan sialanmu yang meraba paha sekitarku, Tuan! Jangan mencoba untuk mengelak dan menyalahkanku! Mana mungkin aku yang melakukan hal tidak senonoh itu pada pak tua seperti Anda!" seru Hannah memberi pengakuan.
"Hah! Dimana-mana, gadis polos sepertimu hanya mengaku tidak bersalah, padahal kau sendiri yang berpakaian seolah mengundang semua kaum pria agar mau menyentuhmu." decih sang pria membalas, membuat Hannah semakin murka.
"Apa kau bilang? Kenapa dengan pakaianku? Aku merasa tidak masalah dengan pakaian ini. Ini pakaian yang biasa kecuali kau sendiri yang terlalu nafsu pada setiap wanita! Jagalah mata kotormu itu!"
Merasa sudah dilecehkan, sang pria pun mengangkat satu tangannya, hendak menampar keras mulut gadis di depannya itu. Namun, belum sempat ia mengayunkannya di depan wajah Hannah, seseorang sudah lebih cepat mencekal tangan pria itu. Sang pria menoleh dengan rahangnya yang mengeras, dilihatnya seorang pria tampan dan gagah dengan setelan jasnya yang rapi mencekal tangannya.
Seperti biasa, Justin bersikap tenang. Namun, siapapun yang melihat tatapan matanya saat ini, mereka akan segera berlutut di depannya atau bahkan lari dari hadapan Justin. Justin semakin erat menggenggam tangan pria di depannya. Membuat pria tua itu meringis menahan rasa sakitnya. Ia berpikir kenapa ada seorang pria asing sepertinya yang bisa mencekal tangannya sekuat ini.
"Pergi sekarang juga." desis Justin. Kemudian, ia melepas tangan pria tua itu dengan kasar.
Sementara itu, Hannah yang masih berdiri di samping pria yang ia ketahui bernama Justin, terdiam dengan kedua matanya yang membulat.
Justin menoleh pada Hannah. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Menghilangkan rasa terkejutnya, Hannah menoleh cepat pada Justin. "Oh? Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih."
Justin tersenyum kecil. "Jadi, apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Justin berbasa-basi.
"Oh, aku hanya berjalan-jalan sebentar, kau tahu, membebaskan bebanku setelah bekerja siang dan malam." kekeh Hannah, sebelum melanjutkan, "Dan aku melihat seorang penjual roti itu, aku membelinya. Tapi, kau tahu? Saat aku sedang mengantre, tiba-tiba aku merasakan seseorang meraba bagian-aish, ini sangat memalukan dan ini tentu saja melecehkanku. Dan seenaknya saja dia menyalahkan pakaianku? HAH!" Hannah semakin kesal di sela-sela gerutuannya. Membuat Justin hanya mendengarnya dengan diam dan kemudian tersenyum kecil.
Merasa tidak ada tanggapan saat Hannah sendiri sudah menggerutu tidak jelas, Hannah berdeham. "Ehm, maaf aku menggerutu seperti ini. Masalah ini membuatku terlalu murka."
"Tidak masalah. Itu wajar. Menurutku, sikap beranimu perlu mendapatkan apresiasi." sahut Justin.
Hannah tersenyum, merasa aneh ketika Justin, pria yang baru saja dikenalnya ini, memuji tingkahnya yang seolah lupa jika dia adalah seorang wanita. "Terima kasih." dan hanya ucapan itu yang keluar dari mulutnya.
"Aku akan berangkat ke kantor. Kau mau pulang bersamaku? Aku bisa mengantarmu, kita searah." Justin menawarkan kebaikannya.
*****
Setelah beberapa menit perjalanan, Justin menghentikan mobilnya tepat di depan toko Irene. Melepas sabuk pengamannya, keduanya turun dari mobil.
"Terima kasih kau sudah membantuku dari pria tua itu hari ini, dan juga untuk tumpangannya." ucap Hannah sopan pada Justin yang berdiri di depannya.
"Tidak masalah." sahut Justin singkat. Kemudian, ia menoleh pada toko Irene. "Terlihat sepi. Apa irene tidak membuka toko?" tanya Justin kemudian.
Hannah ikut menoleh, kemudian mengernyit bingung. "Oh? Seharusnya ibu membuka toko hari ini. Entahlah." sejurus dengan itu, dia melangkahkan kakinya menuju toko dan membuka pintu perlahan.
Begitu Hannah membuka pintu tokonya, tampak ruangan begitu gelap dan sepi. Namun, yang lebih membuatnya terkejut adalah ketika ia mendapati keadaan ruangan yang tampak mengenaskan. Membuatnya melebarkan kedua matanya bersamaan dengan mulut yang tertutup dengan satu tangannya. Begitupun dengan Justin yang berdiri di belakang hannah, ikut terkejut. Apa yang terjadi di sini?
🍃🍃🍃
***
END OF CHAPTER 12***
Don't forget to press the ⭐️ button and comment as many as you can📩
Follow my instagram:
iamvee
aviorfwMuch love,
VieVie🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty for the BEAST (ON GOING)
Romance#The Heirs Series (3rd) Pria yang diinginkan setiap wanita, namun tak tersentuh. Penghianatan mendalam yang mengubahnya menjadi seorang pria tanpa perasaan. Dingin bagai es yang tak mampu dilelehkan lagi. Dunianya berbeda dengan orang lain, ia hidup...