Playlist: Shawn Mendes - I Don't Even Know Your Name
18th May
Pagi yang indah dengan menu sarapan favorit Hannah buatan orang yang selalu Hannah kasihi sepanjang masa. Ia tidak akan pernah melewatkan sarapan paginya, karena menurutnya ini adalah sumber energinya sebelum bekerja seharian penuh. Terlebih, ibunya ini selalu memasakkan makanan favorit Hannah setiap sarapan.
"Ibu, aku sedang berpikir. Apa kita harus membuka cafe juga?" celetuk Hannah tiba-tiba. Irene, ibunya, mengangkat kedua alisnya.
"Kenapa kau tiba-tiba berpikir seperti itu?" tanya ibunya.
"Well, aku sudah berpengalaman menjadi waitress dengan baik, jadi aku bisa membantu ibu di rumah saja kalau bisa." jawab Hannah dengan semangat. "Bagaimana?"
Irene tersenyum lembut, meraih punggung tangan Hannah, dan menggenggamnya. "Ide bagus. Tapi, kurasa kita harus menunggu dulu, karena saat ini modal yang ibu punya hanya sedikit." jawab ibunya.
Melihat ibunya seperti itu, hannah membalas genggaman ibunya, kemudian tersenyum memaklumi.
"Tentu saja, bu. Aku mengerti. Selain itu, aku juga bisa menabung sedikit gajiku untuk modal kita nanti. Tenang saja." hannah tersenyum menunjukkan deretan giginya dengan manis.
Di dalam hati irene, ia meringis sedih melihat Hannah yang begitu semangat tanpa tahu jika selama ini mereka terlilit hutang. Semakin melihat hannah yang selalu ceria seperti ini, semakin sakit rasanya untuk irene setiap kali ia ingin menjelaskan pada hannah jika mereka harus menyisihkan uang untuk membayar hutangnya yang semakin menumpuk dengan bunga yang tinggi. Namun, melihat senyum ceria hannah juga bisa menjadi obat bagi Irene sendiri, mengingat hal itu seolah menjadi penyembuh kesedihannya.
Selesai sarapan, Hannah kembali ke kamar tidurnya di atas untuk segera bersiap bekerja. Ia teringat sepedanya yang ditinggal di tempatnya bekerja jadi ia memutuskan untuk berangkat lebih pagi dengan transportasi umum.
Tak lama, pintu rumah terbuka. Irene menoleh pada seseorang yang membuka pintu dan menemukan Alex datang dengan senyumnya.
"Oh, alex? Selamat pagi, Nak. Pagi sekali kau kemari. Ada apa?" sapa Irene seraya memberikan kecupan kecil seperti pada anaknya.
"Selamat pagi, aunty. Ah, sebenarnya hannah belum tahu ini, tapi aku ke sini untuk mengantarnya bekerja." jawab Alex. Irene mengangguk mengerti.
"Hannah sedang bersiap-siap sekarang. Kau sudah sarapan? Aku bisa membuatkan sup panas untukmu." Irene menawarkan sarapan pada Alex, kemudian alex menanggapinya dengan gelengan lembut.
"Tidak perlu, aunty. Aku sudah sarapan di rumah. Terima kasih." jawabnya lembut.
Hannah turun dengan setengah berlari, lalu terkejut ketika ia mendapati Alex yang sedang mengobrol dengan ibunya. "Alex?"
Alex menoleh pada sumber suara yang memanggilnya. "Hai!" seru Alex menyapa Hannah. "Kau tidak lupa, kan, kalau sepedamu masih di tempat kerjamu kemarin?" Alex mengingatkan.
"Tentu saja tidak. Itu sebabnya aku akan berangkat pagi dengan transportasi umum. Kenapa kau kesini?"
Mengabaikan pertanyaan Hannah, Alex tersenyum berpamitan pada Irene dan menarik tangan Hannah. "Kami berangkat dulu, aunty. Ayo!"
*****
Sebenarnya, Justin tidak ingin menghabiskan waktu di luar kantor jika saja Dennis tidak datang jauh-jauh dari Amerika hanya untuk mengajaknya makan siang bersama di cafe. Justin hanya memesan secangkir kopi panas yang ia sukai seperti biasanya.
Justin menatap Dennis yang tampak lahap memakan makan siangnya.
"Sepertinya, kau memang tidak punya kesibukan lain?" Justin melipat kedua tangannya di depan dada.
Tanpa menoleh, Dennis menjawab, "Tidak. Aku punya banyak pekerjaan dan membuatku sangat lelah. Aku ingin menghabiskan waktu di sini sebanyak mungkin sebelum aku kembali ke Amerika." menjeda, Dennis menoleh pada Justin. "Kau tidak pernah merasa lelah, ya?" tanyanya.
Jutsin hanya mengedikkan bahunya. Dennis tercengang dengan reaksi yang diberikan Justin. "Bisa-bisa kau menjadi workaholic akut, kau tahu."
Pintu cafe terbuka, dan seperti biasa, Alex masuk dengan langkah santainya. Veronica, yang tidak sengaja hampir berpapasan dengan Alex, hanya tersenyum kikuk dan segera berlalu, hendak memberi tahu Hannah jika Alex sudah datang.
Jutsin mengalihkan perhatiannya pada beberapa pegawai yang terlihat masih mondar-mandir mengantar pesanan. Kemudian, pandangannya terjatuh pada seorang pria yang tampak sangat bersahabat dengan semua pegawai di sini, dilihat dari para pegawai yang terus tersenyum dan menyapanya, begitupun dengan pria itu. Kemudian, seorang pegawai wanita mendatangi pria itu, lalu duduk tepat di sampingnya hingga Justin bisa melihat wajah wanita itu. Seketika, Justin mengerutkan keningnya.
Gadis itu lagi.
Kerutan di kening Justin semakin dalam, dan diamnya membuat Dennis mendongak. Melihat Justin menatap arah lain, membuat Dennis melihat arah pandang pria itu.
"Oh? Bukankah itu CEO Hamilton Group?" celetuk Dennis, begitu melihat Alex.
Justin menoleh pada Dennis. "Siapa?"
Dennis kembali membalikkan tubuhnya dan menghadap Justin, seraya mengacungkan satu jarinya ke belakang, menunjuk Alex. "Pria itu. Alex Hamilton." Dennis menjedanya, merasakan suatu keanehan, kemudian berbalik badan melihat ke arah Alex lagi. "Tunggu, dia terlihat sangat akrab dengan pegawai itu. Apa mereka--"
Sebelum Dennis sempat mengungkapkan kejanggalannya, Justin sudah menyelanya dengan menyentil pelipis Dennis, membuat pria itu mengadu kesakitan.
"Jangan campuri urusan orang lain, Dennis. Cepat selesaikan makanmu." ucap Justin.
Menuruti Justin, Dennis kembali menyantap makanannya, sementara Justin kembali mengalihkan perhatiannya pada si pegawai gadis yang akhir-akhir ini selalu ia temui, bersama dengan pria yang bernama Alex itu. Gadis itu tampak akrab dengannya. Menunjukkan senyum cerianya seolah tidak menyadari keramaian di cafe dan tiba-tiba, Justin merasa cafe ini tidak ramai lagi, seolah tawa gadis itu yang telah mengisi seisi ruangan ini.
"Malam ini kita ke club, kan?" Dennis menginterupsi, membuat Justin menoleh kembali pada Dennis.
"Hm, tentu."
***
END OF CHAPTER 5***
Don't forget to press the ⭐️ button and comment as many as you can📩
Follow my instagram:
iamvee
aviorfwMuch love,
VieVie🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty for the BEAST (ON GOING)
Romance#The Heirs Series (3rd) Pria yang diinginkan setiap wanita, namun tak tersentuh. Penghianatan mendalam yang mengubahnya menjadi seorang pria tanpa perasaan. Dingin bagai es yang tak mampu dilelehkan lagi. Dunianya berbeda dengan orang lain, ia hidup...