Justin bersama salah satu bawahannya yang sudah datang, sedang membantu para polisi dan pemadam kebakaran yang sudah memadamkan api di rumah Irene. Sebagai saksi, Justin memberikan pernyataan yang ia lihat dengan kedua matanya sendiri. Selain itu, Justin juga meminta asistennya tersebut untuk membungkam para media, dikarenakan Justin merasa ini berkaitan dengan rentenir yang masih mengincar irene dan membuat semua bencana ini terjadi.Begitu selesai dengan urusannya, justin pun kembali pulang karena malam sudah semakin larut. Belum lagi dengan perjalanannya yang lama karena jarak mansionnya yang lumayan jauh.
Di depan mansion, setelah Justin menghentikan mobilnya, ia melihat Hannah yang terduduk di tangga dengan kepala tertunduk. Justin menghampirinya.
Melihat bayangan orang di depannya, Hannah mendongak, kemudian tersenyum. "Hei, kau sudah pulang." ucapnya.
Justin ikut duduk di samping Hannah. "Semua urusan sudah selesai. Irene sudah tidur?" tanyanya kemudian.
Mengalihkan pandangan dari Justin, hannah menghela napas lelah dan mengangguk lemah. "What a tough day." celetuk Hannah.
"Kau sangat mirip dengan irene. Karena itu aku yakin kau pasti kuat sepertinya." Justin tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk menguatkan Hannah, namun kalimat itu keluar begitu saja.
Hannah menoleh, dan ketika mendengar ucapan singkat namun berarti itu, bebannya terasa sedikit ringan, karena itu dia kini sedang mencoba untuk bersikap seolah menutupi masalah yang sudah menimpanya hari ini.
"Wah, aku tidak tahu ibuku punya pelanggan setia yang begitu mengenal ibuku dengan baik. Dia bahkan belum menceritakan apapun tentangmu." ucap Hannah dengan nada riangnya. Bermaksud untuk mencairkan suasana harunya.
"Kau memintaku untuk memperkenalkan diri?" Justin mengangkat kedua alisnya, bertanya.
Hannah mengedikkan bahu santai, masih dengan senyumnya yang belum juga luruh. "Aku tidak meminta, tapi itu ide bagus."
"Justin. Justin Leonard."
Justin berusaha memperkenalkan dirinya dengan singkat. Terlalu singkat malah. Membuat hannah mengangkat kedua alisnya merasa sedikit lucu dengan jawaban yang ia dengar.
"Pekerjaanmu? Secara detail." tanya Hannah kemudian. Kali ini, ia meminta Justin memperkenalkan diri dengan benar.
"Pemilik dan CEO perusahaan wine terbesar di Prancis."
Hannah kembali terkikik geli mendengar jawaban Justin. Bahkan ia tidak tahu ia tertawa karena jawaban Justin yang terlewat singkat, padat, dan jelas. Atau pada bagaimana pria itu mendeskripsikan dirinya sebagai CEO dengan wajah yang membanggakan itu. Hannah bersumpah ia melihat ekspresi pria di sampingnya ini yang sedikit sombong.
"Baiklah, Tuan Justin. Kurasa aku sudah cukup mengenalmu." sindir Hannah. Walaupun begitu, Hannah ikut tersenyum kecil, begitu pun dengan Justin.
Merasa obrolannya cukup membuat Hannah sedikit terhibur, Hannah berdiri, lalu diikuti oleh Justin.
"Well, aku akan tidur sekarang. anyway, terima kasih banyak untuk segalanya. Selain menjadi pengusaha sukses, ternyata kau juga pria yang baik. Aku tahu itu. Kau sudah sangat menolongku hari ini dan bahkan membiarkan kami tinggal di istana mewahmu ini." Hannah tertawa menjeda, sebelum kembali tersenyum tulus pada Justin. "Entah apa yang akan terjadi padaku dan ibu jika bukan karena pertolonganmu hari ini." lanjutnya.
Senyum tulus nan manis Hannah membuat Justin tanpa sadar langsung terdiam, terpaku dengan senyuman itu. Justin bersyukur Hannah tidak mengetahui saat tiba-tiba saja jantung Justin terasa berdegup sangat cepat dan kencang. Membuat Justin sendiri menyentuh dadanya sendiri saat Hannah sudah berlalu dari hadapannya, meninggalkan Justin yang masih terdiam di tangga.
Selama ini, Justin merasa tidak perlu repot-repot membantu orang yang bahkan terlihat asing untuknya. Orang-orang menganggapnya 'pengusaha kaya yang dermawan'. Namun, dia sejujurnya adalah pemilih. Dengan bantuan jaringan luasnya, ia hanya memberikan bantuan tangan dari tangan untuk membantu orang-orang yang benar-benar membutuhkannya. Karena statusnya inilah, semua orang akan memberi label 'milyarder dermawan'.
Namun, berbeda dari Hannah. Justin akan jujur jika ini adalah hal pertamanya saat Hannah memberi label 'pria baik' daripada 'milyader dermawan'. Label itu terasa lebih cocok untuknya.
*****
Hannah tidak bisa memejamkan kedua matanya. Begitu susah, hingga ia memutuskan untuk bangun dan memandangi ibunya yang sudah tidur terlelap dengan nyaman. Melihat ibunya seperti ini, Hannah semakin merasakan kesedihan yang tersisa. Ia merasa sedih, sendirian, dan lemah.
Pelan-pelan, Hannah mendekati sang ibu dan membisikkan kalimat sayang pada ibunya.
"Ibu, jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja. Ibu memiliki aku, dan aku hanya memiliki ibu. Kita saling percaya satu sama lain, bukan? Jadi, serahkan semua ini padaku."
Rasa bersalah ketika Hannah meminta ibunya untuk membuka cafe membuatnya semakin berpikir keras. Seharusnya, ia tidak meminta ibunya hal yang tidak bisa mereka lakukan saat ini. Seharusnya, ia tahu jika bahkan mereka saja tidak memiliki uang untuk sekedar melunasi hutang mereka, bagaimana dengan membuka cafe-sesuai dengan keinginan bodohnya-yang memerlukan modal lebih banyak.
Hannah memejamkan kedua matanya seraya membulatkan tekadnya untuk bekerja lebih keras. Kali ini, uang hasil kerjanya akan ia gunakan untuk melunasi hutang sang ibu. Walaupun sebenarnya, ia belum memahami dengan jelas semua masalah ini. Setidaknya, ia tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
🌹🌹🌹
***
END OF CHAPTER 15***
Don't forget to press the ⭐️ button and comment as many as you can📩
Follow my instagram:
iamvee
aviorfwMuch love,
VieVie🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty for the BEAST (ON GOING)
Romance#The Heirs Series (3rd) Pria yang diinginkan setiap wanita, namun tak tersentuh. Penghianatan mendalam yang mengubahnya menjadi seorang pria tanpa perasaan. Dingin bagai es yang tak mampu dilelehkan lagi. Dunianya berbeda dengan orang lain, ia hidup...