28

15.2K 1.4K 619
                                    

Jevan berteriak marah, dia memukul tembok yang ada di dekatnya dengan kuat, tidak peduli tangannya yang terasa sakit dan mulai memerah karena Jevan sudah tidak bisa lagi mengontrol emosinya ketika dia dipaksa keluar dari ruang rawat adiknya. Sudah ada Daffa juga Bryan, tapi jelas hal itu tidak langsung membuat Jevan lega, dia sangat marah dan takut di waktu yang bersamaan.

Nafas Jevan memburu hebat, urat-urat di dahi, leher hingga lengannya terlihat karena Jevan yang menahan emosinya. Matanya sudah memerah, sedikit lagi dia akan menangis bahkan tadi Jevan sudah menangis karena ketakutan.

Tubuhnya bergetar hebat begitu dia keluar dan tidak bisa lagi melihat keadaan adiknya.

Sudah satu jam!

Sudah satu jam, tapi tidak ada satu orang pun yang keluar dari sana dan memberi tau keadaan Reva padanya, Jevan bisa gila!

"Jev"

Bryan menyentuh bahu temannya itu membuat Jevan kini menatapnya.

"Hubungin Kinara, please." Kata Jevan dengan penuh permohonan.

Reva begitu ingin bertemu dengan Kinara.

"Daf... Gue mohon Daf bantuin gue hubungin Kinara.. Minta dia dateng Daf.. Reva butuh dia gue juga butuh dia Daf." Kata Jevan sambil menatap Daffa yang langsung diam mendengarnya.

Mata Jevan sudah sangat memerah mungkin satu kedipan saja akan membuat air matanya jatuh, tapi Jevan berusaha keras menahannya.

"Gue udah coba Jev dan gue udah minta Teressa hubungin orang tua Kinara." Kata Daffa.

Jevan mengacak rambutnya frustasi, dia kembali menatap ke arah pintu yang masih tertutup rapat.

"Please... Jangan ambil Reva." Kata Jevan dengan suara bergetar karena ketakutan.

Jevan tidak pernah setakut ini, tapi dia begitu takut kehilangan adiknya.

Adik kecilnya yang selalu menemani dia dalam keadaan apapun.

Adik kecilnya yang tidak pernah marah meskipun Jevan sering bicara kasar atau tanpa sengaja mengatakan hal yang menyakitkan padanya.

Jevan tidak mau kehilangan, dia sama sekali belum siap untuk itu.

•••••

Menatap malas makan malam yang ada dihadapannya Kinara sama sekali tidak memiliki niat untuk memakannya, dia tidak nafsu, Demi Tuhan dia sama sekali tidak ingin makan. Satu-satunya hal yang sangat Kinara inginkan hanya pergi dari sini, dia benar-benar gelisah dan tidak tenang sejak tadi entah karena apa rasanya dadanya sesak sekali.

Di dekatnya ada Bi Inah yang memperhatikannya karena dia memang selalu menunggu Kinara hingga selesai makan dan kalau Kinara masih tidak mau makan juga biasanya Bi Inah akan meninggalkan sepotong roti juga susu di kamarnya.

"Non Kinara..."

"Kinara enggak mau makan Bina bawa aja semuanya ke belakang buang aja makanannya." Kata Kinara pelan.

Kinara masih memeluk kedua kakinya dengan mata yang sembab karena tak berhenti menangis juga wajah yang cukup pucat.

Melihat Kinara begitu membuat Bi Inah merasa tidak tega, dia benar-benar tidak habis pikir dengan kedua orang tua Kinara yang lebih mempercayai orang lain dari pada anak mereka sendiri. Saat pertengkaran hari itu Bi Inah mendengar dengan jelas karena suara majikannya yang memang begitu kuat juga teriakan dan tangisan Kinara yang terdengar hingga ke bawah.

Berhari-hari mengantarkan makanan ke kamar Kinara juga membuat Bi Inah semakin tidak tega melihatnya apalagi ketika pertama dia melihat keadaan Kinara dengan luka di sudut bibirnya juga kedua pipi yang begitu merah.

JEVAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang