••••
••••
Rani menatap beberapa goresan luka di tangannya yang selalu berusaha dia tutupi dengan memakai baju berlengan panjang. Sudah dua hari Rani tinggal di rumah kakaknya dan merasakan kehangatan dalam rumah ini.
Meskipun Rani takut jika ayahnya akan berbuat buruk pada ibunya, tapi ketika Rani menelpon dan Rashi mengatakan bahwa dia baik-baik saja rasanya sedikit lega.
'Enggak papa Rani di sana dulu sama Kak Jevan.'
Semua terasa berat semakin hari. Rani benar-benar stress dengan segala tekanan yang diberikan oleh sang ayah kepadanya.
Nilai sempurna, juara kelas dan memenangkan beragam Olimpiade yang dia ikutkan membuat Rani menguras begitu banyak tenaga. Belum lagi ditambah dengan beberapa les yang ia jalani atas keinginan ayahnya.
'Papa enggak mau punya anak yang malu-maluin, jadi buang jauh-jauh impian kamu untuk menjadi pelukis karena setelah lulus ini Papa mau kamu kuliah kedokteran.'
Rani benar-benar sudah mengubur impian sederhananya. Dia bahkan tak pernah lagi menyentuh kuas atau cat lukis.
Semua alat melukisnya dan semua lukisan yang pernah ia buat... semuanya sudah Abian bakar di depan matanya sendiri.
Ayahnya sudah membakar mimpinya di depan matanya sendiri.
Saat Rani mendengar suara langkah kaki mendekat dia langsung menutupi kembali lengannya. Kemudian Rani mengambil ponselnya dan berpura-pura tengah memainkan benda itu agar tidak dikira tengah melamun.
Tak lama sosok Jevan muncul. Raut wajah pria itu tidak bisa diartikan.
'Sayang, tapi kamu jangan maksa Rani untuk cerita ya? Aku khawatir deh semalam waktu aku mau pegang tangan dia tiba-tiba dia bawa tangan kirinya ke belakang kayak nyembunyiin sesuatu.'
Jevan berjalan mendekat dan duduk di hadapan Rani yang membuat gadis itu menurunkan handphone miliknya. Senyumnya mengembang dengan sempurna, dia sama sekali tidak menunjukkan kesedihan apapun.
Tapi, benar kata Kinara ada kesedihan dalam pandangannya.
"Kak Jevan? Kenapa enggak ke cafe?" tanya Rani pada kakaknya.
"Nanti agak siang," jawab Jevan seadanya.
Jevan menunduk dan menatap Rani yang sejak kedatangannya memang selalu mengenakan baju panjang padahal cuaca lagi cukup panas. Mata tajamnya menatap ke arah lengan kiri Rani yang membuat gadis itu dengan canggung membawa tangannya ke belakang tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEVAN
Romance"Jangan pergi Ra." Menyakiti Kinara adalah penyesalan terbesar dalam hidup Jevan. "Maaf, kita bisa mulai semuanya lagi dari awal." Tapi, kecewa tidak mudah disembuhkan. Luka yang Jevan torehkan terlalu besar dan begitu sulit untuk dilupakan.