01. Go to Pare

2.6K 159 13
                                    


.
.
.
.
.
"Ibun, Candra sama Lintang kangen yanda, mau lihat yanda, boleh?" seorang anak kecil berusia tujuh tahun menatap penuh harap pada sang bunda, dipangkuannya ada sang adik yang baru berusia lima tahun.

"Tentu saja boleh sayang." sang bunda hanya bisa tersenyum dan mengelus kepala kedua putranya.

"Intang belum pernah bertemu yanda."  Candra memeluk tubuh mungil adiknya dan tersenyum sendu, dia sudah sangat paham tentang apa yang terjadi dikeluarganya. Berbeda dengan laki-laki spesial yang menatap kedua anak kecil itu sendu.

"Ini yanda nya Candra dan Lintang, kalau kangen Candra sama Lintang berdoa buat yanda ya." laki-laki cantik itu menunjukan sebuah foto yang ada di album foto, foto seorang pria yang tengah tersenyum.

"Yanda ganteng ya bun."  Candra menyentuh foto sang ayah dengan tangan mungilnya.

"Yanda mirip sama Lintang ya bun." sang bunda mengangguk, wajah putra bungsunya memang sangat mirip dengan suami nya.

"Kenapa yanda gak pernah pulang bun? yanda gak sayang kita ya?" pertanyaan si bungsu membuat sang bunda terdiam sejenak sebelum akhirnya mengulas senyum dihadapan kedua buah hatinya.

"Yanda sayang sama kita, sayang Candra sama Lintang." sang bunda mencoba memberikan pengertian kepada si bungsu.

"Terus kenapa yanda gak pernah pulang?" sang bunda tetap tersenyum.

"Sayang, bintang nya yanda sama ibun. Yanda pergi karena yanda kalah dengan takdir tuhan bukan karena yanda gak sayang kita." Lintang terlihat masih tidak bisa menerima penjelasan sang bunda , ayolah dia hanya seorang anak berusia lima tahun.

"Kalau gitu nanti kalau besar Intang mau ketempat yanda, mau jemput yanda." Candra menggeleng mendengar ucapan lugu Bintang, berbeda dengan sang bunda yang sudah menutup mulutnya menahan tangis.

"Kita gak bisa ketempat yanda Lin, tempat yanda itu jauh." Lintang menatap kearah kakak nya lekat.

"Kenapa gak bisa mas, memang yanda ada dimana?" Candra menggenggam tangan kecil Lintang.

"Yanda ada disurga, jadi mas sama Lintang cuma bisa doain ayah dari sini . "
.
.
.
.
.
Sekilas percakapan kecil antara dia, kakak dan bundanya saat masih kecil itu kembali teringat dikepala Lintang. Remaja berusia delapan belas tahun itu kini hanya bisa menatap wajah sang kakak yang tengah fokus menyetir mobil yang akan membawa mereka ketempat dimana semua kisah ayah dan ibu mereka dimulai, tempat yang penuh dengan kenangan, Pare.

"Mas Candra, ibun pasti sekarang udah ketemu sama yanda kan?" Lintang hanya mendengar deheman dari Candra.

"Kangen ibun sama yanda mas."

"Mas juga kangen mereka dek." Lintang memejamkan matanya sejenak.

"Kita pasti bisa buktiin ke mereka yang selama ini ngehina kita kan mas. Kita bisa buktiin bahwa kita anak dari yanda dan Ibun bisa sukses." Lintang bisa merasakan kepalanya dielus oleh tangan besar Candra.

"Ya kita bisa, kita juga akan cari keberadaan adek-adek yanda sama ibun buat nyampein titipan ibun." Lintang mengangguk. Sekalipun dia sangat merindukan sang bunda, tapi wajah sang kakak yang sangat mirip sang bunda bisa sedikit mengobati kerinduan mereka.

Candra kembali fokus pada jalanan didepan sana, pemuda berusia dua puluh tahun itu harus bisa membawa adiknya ke Pare dengan selamat, sesuai dengan pesan sang bunda.

"Lintang, kamu mau ngelanjut kuliah disana?" sang adik yang namanya disebut langsung menggeleng, remaja itu bahkan tidak menatap wajah sang kakak.

"Gak usah mas, Lintang mau bantu mas Candra aja, kuliah nanti kapan-kapan masih bisa mas." Candra menghela nafas, sejak sang bunda meninggal setahun lalu Lintang memang mengatakan bahwa dia tidak ingin kuliah.

"Uang peninggalan ibun masih cukup buat biaya kuliah kamu dek, bahkan untuk biaya hidup kita." Lintang tetap menggeleng.

"Gak mas, lagi pula mas juga gak ngelanjut kuliah kan? Nanti aku kuliah kalau mas ngelanjutin kuliah mas lagi." Candra akhirnya hanya bisa diam, adiknya itu tidak akan bisa dipaksa. Candra jadi ingat ucapan bundanya sebelum meninggal, bahwa Lintang itu mewarisi semua sifat sang bunda meskipun wajahnya sangat identik dengan sang ayah. Sama seperti dirinya, meskipun mewarisi wajah lembut sang bunda sifat Candra sangat mirip dengan ayah mereka.

"Mas, laper." Candra tersenyum, dia melirik sekilas pada Lintang yang tengah mengerucutkan bibirnya.

"Di tas mas ada roti, kamu makan itu dulu ya, nanti kita berhenti kalau ada rest area." Lintang mengangguk, remaja mungil itu menengok kebelakang dan meraih tas ransel biru milik kakaknya.

"Mas mau?" Lintang menawarkan roti coklat yang baru dibukanya pada Candra.

"Gak usah kamu makan aja, nanti mas kalau makan roti gak jadi makan nasi." Lintang mengangguk dan mulai melahap roti coklat nya.

"Mas, sekarang mulai dibanyakin makannya, nanti disana kan kita pasti cari kerja, jadi harus lebih kuat." Candra berdecak mendengar penuturan adiknya.

"Iya mas emang pasti cari kerja, tapi kamu gak." Lintang mendelik kesal mendengar penuturan Candra.

"Kalau Lintang gak boleh kerja, lebih bagus mas juga gak usah kerja, kita fokus cari adek-adek yanda aja." Candra menghela nafas, netra hitamnya melirik asal kearah Lintang.

"Kita harus tetap punya penghasilan dek, dan mas gak akan biarin kamu kerja, kamu harus kuliah." jika Candra keras kepala seperti ayahnya, makan Lintang jauh lebih keras kepala seperti bundanya.

"Lintang gak mau liat mas sakit kalau maksa kerja sendiri, kita hidup cuma berdua mas, aku gak mau kehilangan mas juga, jadi biarin aku bantu mas kerja." mendengar nada sendu dari suara Lintang membuat Candra akhirnya mengalah.

"Oke kamu boleh kerja, tapi inget jangan terlalu capek, mas juga gak suka liat kamu sakit." Lintang tersenyum dan mengangguk.

"Makasih mas, sayang deh sama mas Candra."
.
.
.
.
.
Candra menatap adiknya yang terlelap di dalam mobil, bahkan setelah Candra meninggalkannya untuk membeli makan di salah satu restoran cepat saji di rest area Lintang masih nyenyak tertidur. Candra memutuskan menepuk pipi Lintang, bermaksud membangunkan remaja itu, Lintang harus makan dan mungkin saja remaja itu perlu untuk pergi ketoilet.

"Bangun dulu dek, tadi katanya laper, ini makan." Lintang mengerjapkan matanya, beruntung bagi Candra karena Lintang bukan tipe anak yang susah dibangunkan, begitu pula dirinya.

"Ayam ya mas?" Candra mengangguk.

"Lintang mau ketoilet dulu deh mas, nanti habis itu baru makan." Candra kembali mengangguk dan membiarkan Lintang keluar dari mobil dan pergi ketoilet, beruntung mobil mereka berhenti tepat didepan toilet.

"Apa aku harus cari tempat kos lewat online ya? Aku kan gak tau rumah adeknya yanda sama ibun disana, ibun gak ninggalin alamat lagi." Candra mulai memainkan ponsel nya sembari menunggu Lintang kembali, mencoba mencari info tentang tempat tinggal murah di pare, juga lowongan kerja disana.

"Yanda, Ibun, Candra harus cari adek-adek yanda sama ibun dimana? Satu-satu nya informasi yang Candra sama Lintang tau cuma mereka tinggal dipare." Candra menyandarkan tubuhnya pada sandaran mobil dan memejamkan matanya sejenak.

"Mas ngantuk? Mau gantian aja nyetirnya?" Candra langsung membuka matanya dan menatap kearah Lintang yang baru saja masuk kedalam mobil.

"Gak usah dek, mas cuma mau tidur sebentar, kamu makan aja kalau kurang kamu bisa beli lagi uangnya ada didompet mas ya. Mas mau tidur dulu, sejam lagi bangunin mas, oke?" Lintang mengangguk, kakak nya memang begitu, jika dalam perjalanan jauh dia hanya akan tidur satu atau dua jam.

"Oke mas, nanti Lintang bangunin sejam lagi."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat malammm....

Aku bawa book baru nih, masih ada hubungannya sama book Rumah Bintang...
Dari pada mendem di draft terus jadinya lupa dilanjutin, mending aku up sekalian kan hehe..

Selamat membaca, dan semoga suka

-Moon-

Candra LintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang