74. Putus asa

587 95 6
                                        


.
.
.
.
.
Hari ini semua penghuni rumah berada dirumah sakit untuk melakukan test kecocokan sumsum tulang belakang, Azka dibantu beberapa dokter dan perawat untuk melakukan test secara bertahap, bahkan Johan dan Ana juga ikut melakukan test bersama Damar dan Angga. Azka berharap jika salah satu dari mereka ada yang memiliki kecocokan dengan Candra, Azka sangat ingin cucu keponakannya itu sembuh, sama seperti Ares dulu.

"Dokter Azka, dua belas sempel nya sudah di kirim ke lab untuk test, tinggal menunggu hasil nya." Azka mengangguk, laki-laki itu menghela nafas panjang.

"Paling lama kalian dari pihak lab butuh waktu berapa hari?" Azka menatap salah seorang dokter yang berada di lab.

"Paling lama empat hari dokter, minggu depan anda sudah bisa menerima semua hasil nya." Azka mengangguk, dia tahu dengan banyak nya orang yang ikut test, sudah pasti akan di butuhkan waktu sedikig lama.

"Segera hubungi saya jika hasilnya sudah keluar, saya tidak memiliki banyak waktu." Dokter itu mengangguk.

"Kami juga berharap yang terbaik untuk pasien dokter." Azka tersenyum tipis mendengar hal itu.

"Terima kasih." Azka beranjak meninggalkan lab, laki-laki itu berjalan pelan sepanjang lorong rumah sakit.

"Pasti selalu ada jalan kan? Tuhan pasti melihat setiap tindakan hamba-Nya."
.
.
.
.
.
Alta menggenggam pelan tangan Candra yang terbebas dari infus, lelaki itu baru saja selesai membersihkan tubuh Candra yang terlihat semakin kurus. Pipi cubby putra sulung nya udah menghilang dan berganti dengan pipi yang tirus, seiring dengan sering nya Candra kambuh akhir-akhir ini."

"Candra kapan mau bangun nak?"

"Mimpinya indah banget ya sampai gak mau bangun? Ibun kangen loh." Alta mengelus kepala Candra pelan, Alta menunduk saat menemukan bebrapa helai rambut pink Candra yang tersangkut di tangannya.

"Candra gak kangen sama ibun emang? Gak kangen yanda, papa, ayah, Lintang, mas Jojo, Regi, juga om-om nya?" Alta sebenarnya ingin menangis, jika saja dia tidak ingat jika Candra mungkin akan mendengar suara tangisannya.

"Cepet bangun nak, semua di sini pingin lihat Candra bangun dan berjuang lagi. om Azka lagi usahain buat oprasi Candra biar Candra sembuh...." Alta menunduk, laki-laki cantik itu tidak bisa lagi meneruskan kata-kata nya karena lidahnya mendadak kelu.

"Hiks...hiks...hiks..." begini lah Alta setiap kali Candra berbaring dengan mata terpejam, menangis. Ibu mana yang tega melihat buah hati nya kesakitan seperti ini, jika saja Alta bisa maka dia akan menggantikan Candra merasakan segala kesakitan putra sulung nya itu.

Grep

"Jangan nangis, nanti Candra sedih kalau tau kamu nangis." Alta membalas dekapan erat suami nya.

"Ares..." Ares mengelus kepala Alta pelan.

"Candra pasti bangun, dia gak suka lihat keluarga nya sedih, jadi dia pasti bangun buat kita. Candra kita pasti sembuh Ta, sama seperti bulan yang terus hadir di langit malam. Gak peduli gimana pun keadaannya Candra kita pasti kembali ke kita."
.
.
.
.
.
Lintang menatap semua nya dari celah pintu, remaja melihat bagaimana keadaan kedua orang tua nya saat ini. Mereka semua sedih dan takut, mereka takut jika tidak ada satu pun di antara mereka yang bisa menjadi pendonor. Lintang mengepalkan tangannya erat Azka memberitahu mereka bahwa para anak-anak itu akan di ijinkan melakukan test jika tidak ada satu pun dari para orang tua yang bisa menjadi pendonor.

"Lintang." Lintang dengan cepat menoleh saat bahu nya di tepuk.

"Papa." Igel tersenyum saat meliht wajah sendu Lintang.

"Mau papa anter pulang, biar kamu bisa istirahat." Lintang menggeleng, dia tidak akan mau meninggalkan Candra saat ini.

"Linta mau di sini aja pa." Igel menghela nafas, Lintang akan sangat keras kepala jika semua menyangkut Candra.

"Dek, dengerin papa. Kamu harus pulang terus istirahat, minggu depan giliran kalian yang ikut test dan kamu harus jaga kondisi untuk itu." Lintang menunduk saat Igel mengatakan itu.

"Tapi Lintang gak mau ninggalin mas Candra pa." Igel kembali tersenyum dan menepuk kepala remaja di hadapannya itu.

"Ada yanda sama ibun, nanti ada om Azka, sama kakek Damar juga. Kamu gak perlu khawatir, mereka pasti jaga mas Candra." Lintang diam, bahkan tidak menjawab apapun.

"Anterin Lintang pulang pa, Lintang gak mau sakit nanti Lintang gak bisa jaga mas Candra." Igel mengangguk dan merangkul pundak remaja itu.

"Mas pasti baik-baik aja kan pa?" Igel mengangguk.

"Mas Candra bakal sembuh habis di oprasi nanti kan?" Igel lagi-lagi mengangguk.

"Mas Candra gak akan sakit lagi kan pa? Mas Candra gak akan minum obt tidap hari lagi kan?" Igel tidak hisa menjawab, karena dia sendiri tidak yakin soal itu.

"Mas Candra itu gak suka minum obat pa, dulu waktu pertama kali mas Candra sakit, Lintang sama ibun lihat mas Candra hancur. Vonis yang di kasih dokter waktu itu bikin mas Candra ngurung diri di kamar sampai berhari-hari. Lintang gak suka lihat mas Candra gitu." Igel tetap mendengarkan cerita Lintang soal Candra dengan tenang.

"Mas Candra minum obat setiap hari, kontrol setiap bulan bahkan selalu nurut tiap ibun minta mas jalanin pengobatan itu karena mas Candra gak mau lihat ibun sama Lintang sedih, mas Candra juga pingin ketemu sama yanda. Kata mas, kalau mas nyerah waktu itu siapa yang bakal jagain ibun sama Lintang, Lintang takut pa." Igel menghentikan mobil nya saat memasuki halaman rumah Azka. Laki-laki beralih menatap Lintang yang tengah menunduk dan meremas tangannya.

"Dek, kamu tau mas Candra kuat kan?" Lintang mengangguk.

"Mas Candra paati bertahan dan kembali ke kita, sama kayak yanda Ares dulu. Tugas Lintang sekarang itu percaya kalau mas Candra mampu."
.
.
.
.
.
Azka memejamkan matanya, tangannya beralih memijat pangkal hidungnya. Dia baru saja menerima belasan amplop berlogo rumah sakit yang berisi hasil test para penghuni rumah bintang, namun diantara dua belas orang yang melakukan test itu tidak ada yang bisa menjadi pendonor untuk Candra. Bahkan Alta dan Johan hanya memiliki presentase di bawah lima puluh persen dan jelas tidak mungkin bisa menjadi pendonor.

Cklek

"Ka, gimana? Hasilnya udah keluar?" Azka membuka matanya dan menatap Damar juga Angga yang baru saja masuk kedalam ruangannya dengan sneli yang masih melekat di tubuh mereka.

"Udah mas." Azka menunjuk amplop-amplop di atas meja kerjanya.

"Terus gimana?" Azka memberi gelengan.

"Gak ada yang cocok, bahkan Alta dan mas Johan." Damar dan Angga terdiam, kedua nya saling lirik.

"Anak-anak itu, apa harus mereka?" Azka mengangguk.

"Aku sama Rehan juga akan ikut test mas, aku bakal kabarin Rehan soal ini, biar dia yang kasih tau anak-anak itu." Damar mengangguk, saat ini harapan mereka semua hanya pada anak-anak itu.

"Aku mau ngomong ke Ares sama Alta, biar mereka minta tolong ke orang tua Alta, siapa tau salah satu dari mereka bisa cocok sama Candra." Azka dan Damar mengangguk, membiarkan Angga menyampaikan kabar buruk ini.

"Semoga salah satu anak-anak itu ada yang punya presentase besar ya mas, terutama Lintang. Harapan kita cuma mereka. Kalau mereka gak ada juga kita harus cari keluar." Damar bisa melihat tatapan putus asa dimata Azka, tatapan itu bahkan tidak ada saat Ares jatuh dulu.

"Jangan putus asa, kita pasti dapet jalan lain, tuhan gak tidur Ka, Dia selalu melihat hamba-Nya yang berusaha."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Candra LintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang