35

542 91 25
                                    

Pagi-pagi sekali Nayeon sudah terbangun dengan mata sembabnya. Matanya berkeliling menatap setiap sudut kamar yang akan ditinggalkannya itu. Air matanya kembali berguguran. Gadis itu lalu bangkit dari pembaringan lalu menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah pucat dan mata sembabnya seolah menjadi bukti lelahnya.

Nayeon kemudian mengalihkan pandangannya pada sebuah koper yang berada di sudut kamar itu, dia sudah mengemas pakaiannya semalam.

Pelan-pelan, Nayeon melangkahkan kakinya keluar kamar dan menapaki tangga. Lalu menuju dapur, tempatnya biasa berkutat di pagi hari. Dia mulai melakukan pekerjaannya di pagi itu untuk terakhir kalinya.

"Mungkin ini akan jadi yang terakhir kalinya aku melakukan semua ini," gumamnya.

Saat sedang sibuk dengan kegiatan memasaknya, jeongyeon melewatinya begitu saja menuju kamar mandi. Nayeon mengalihkan pandangannya sejenak, menatap punggung tegak laki-laki yang menjadi suaminya itu. Dengan mata berkaca-kaca, Nayeon kembali terfokus pada kegiatannya.

Jika hari-hari sebelumnya, Nayeon akan menyapa jeongyeon dengan ucapan selamat pagi, sambil memaksakan bibirnya tersenyum, namun setelah mendengar ucapan jeongyeon semalam saat mabuk, seolah dia tidak punya keberanian walaupun hanya menunjukkan wajahnya di hadapan laki-laki itu.

Pada akhirnya aku kalah. Sejak awal aku begitu percaya diri bisa membuatnya menoleh padaku. Bahkan aku pernah berangan-angan, setiap dia bangun pagi dan tidak menemukanku di sampingnya, dia akan mencariku. Dia akan memelukku dari belakang saat menemukanku di sini. Tapi sekarang aku tahu, itu hanyalah sebuah angan-angan yang akan segera terkubur bersamaku.

Tidak lama kemudian, jeongyeon keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggang. Lagi-lagi dia melewati Nayeon begitu saja, tanpa menoleh sedikitpun. Seolah tidak ada Nayeon di sana.

Selama setahun begitulah kehidupan yang dijalani gadis itu. Menjadi seorang istri yang diabaikan, bahkan dianggap pembawa malapetaka dalam kehidupan sang suami.

Setelah selesai memasak, Nayeon menghidangkan sarapan di meja makan. Matanya pun tertuju pada pintu sebuah kamar yang masih tertutup. Nayeon mendudukkan dirinya di kursi, menunggu jeongyeon keluar dari kamar.

Tidak berselang lama, jeongyeon keluar dari kamar dan tanpa sepatah katapun, dia beranjak menuju pintu lalu pergi begitu saja dan membanting pintu dengan keras, membuat Nayeon tersentak kaget.

Nayeon membeku di tempat duduknya, dia hanya mampu menatap makanan yang sudah terhidang di meja dengan tatapan sedih. Air matapun kembali berguguran membasahi pipinya.

Dia benar-benar ingin aku pergi dari hidupnya untuk selama-lamanya.

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, Nayeon beranjak menuju suatu tempat. Dia berdiri di depan sebuah bengkel yang sudah tutup. Kembali dia menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi.

Semua ini karena aku... Karena keberadaanku membuat jeongyeonku kehilangan segalanya. Dia harus berurusan dengan kyungsoo dan menutup bengkel ini, dan sekarang karena aku, dia kehilangan gadis yang dia cintai. Apakah aku adalah lambang kesialan baginya? Kenapa keberadaanku membuatnya menderita?

Setelah puas memandangi tempat itu, Nayeon mengalihkan pandangannya pada sebuah rumah yang berada di depan bengkel. Rumah sahabatnya, jennie. Ingin rasanya Nayeon berpamitan pada sahabatnya itu, namun diurungkan. Dia lalu beranjak menuju rumah sakit tempat seulgi praktek.

.

Dengan membawa buku catatannya, Nayeon duduk mengantri di antara beberapa pasien yang sedang menunggu di depan ruangan itu.

Setelah duduk mengantri berjam-jam, tibalah gilirannya untuk masuk ke ruangan itu. Dokter itupun segera menyambut gadis yang telah dianggapnya seperti adik sendiri itu dengan memeluknya.

[END] PRISON OF LOVE || 2yeon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang