49

574 87 2
                                    

Dengan menggunakan pakaian khusus berwarna hijau, jeongyeon mendekat pada Nayeon yang sudah terbaring di atas brankar. Dia membelai wajah pucat pasih itu lalu mengecup keningnya berkali-kali.

"Sekarang kita akan berjuang bersama," ucap jeongyeon lalu meraih jemari Nayeon dan menggenggamnya.

Irene dan seulgi masuk ke ruangan itu. Irene adalah salah satu dari tim dokter yang akan menangani operasi pencangkokan itu. Irene kemudian meminta jeongyeon berbaring di tempat yang berbeda.

"Kau sudah siap?" tanya irene pada jeongyeon yang sudah dalam posisi berbaring.

"Aku sudah siap!" jawab jeongyeon. Irene kemudian memasangkan jarum infus di pergelangan tangan jeongyeon. Lalu memberikan beberapa suntikan melalui selang infus itu.

Tidak lama kemudian, dahyun ikut masuk ke ruangan itu. Dia menatap jeongyeon dan Nayeon bergantian. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya.

"Kenapa wajahmu jelek begitu?" tanya jeongyeon saat menatap wajah dahyun

"Aku hanya mengkhawatirkanmu dan Nayeon," jawab dahyun dengan suara lirih.

Jeongyeon kemudian terkekeh pelan, "Kau tenang saja. Aku belum ada rencana mati. Aku juga tidak akan membiarkan Nayeon meninggalkanku."

Dahyun tersenyum mendengar ucapan kakaknya itu. Kekhawatirannya sedikit berkurang.

Tidak lama kemudian, beberapa perawat masuk ke dalam ruangan itu, kemudian mendorong brankar tempat jeongyeon berbaring menuju ruang operasi.

.

Chaeyoung, mina dan dahyun menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan cemas. Sudah delapan jam lebih operasi berjalan. Jennie, sahabat Nayeon juga ada di sana. Dia baru mengetahui bahwa ternyata sahabatnya itu sedang sakit parah.

"Aku tidak tahu kalau Nayeon ternyata sedang sakit. Selama ini dia menyembunyikannya dariku," ucap jennie seraya terisak.

"Tenanglah jennie, jangan menangis lagi. Nayeon menyembunyikan sakitnya dari semua orang. Bukan hanya darimu saja."

"Aku menyadari wajahnya pucat dan dia sering mual. Tapi aku tidak terpikir bahwa dia sakit. Aku pikir smuanya baik-baik saja." Chaeyoung mencoba menghibur jennie dan mengusap punggungnya.

Dahyun yang gelisah mondar-mandir di depan ruangan itu, sesekali mengarahkan pandangannya pada pintu kaca yang masih tertutup rapat.

Setelah sepuluh jam menunggu, akhirnya pintu ruangan itu terbuka. Seorang dokter pria keluar dari sana. Dahyun, Chaeyoung dan mina langsung menghampiri sang dokter.

"Bagaiamana operasinya, Dokter?" tanya mina dengan wajah cemas.

Dokter itupun tersenyum, "Operasinya berhasil. Setelah ini pasien akan di pindahkan kembali ke ruang ICU," jawab dokter itu.

Mereka bertiga pun bernapas lega. Mina menjatuhkan setitik air matanya. Namun, dia belum sepenuhnya lepas dari perasaan khawatir pada Nayeon dan jeongyeon

"Syukurlah, operasinya berjalan lancar," ucap Chaeyoung dengan mata berkaca-kaca.

.
.

Sudah dua belas jam berlalu setelah operasi, namun jeongyeon masih belum tersadar dari pengaruh obat bius. Dia sudah berada di ruang perawatan sedangkan Nayeon dipindahkan ke ruang ICU.

Chaeyoung dan mina masih setia menjaganya di kamar itu. Sedangkan jennie sudah pulang ke rumahnya. "Kau ingin makan sesuatu? Ayo kita ke kantin rumah sakit."

"Aku belum lapar," jawab mina, "Lagi pula aku tidak mau meninggalkan dia di sini sendirian. Kalau dia terbangun dan tidak melihat Nayeon di sampingnya, dia bisa melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya."

Chaeyoung lalu melirik jeongyeon dengam ekor matanya, Benar juga. "Baiklah, kalau begitu aku pesankan saja makanan untukmu, ya..." ucap Chaeyoung dan dijawab anggukan kepala oleh mina

Belum sempat Chaeyoung keluar dari ruangan itu, jeongyeon sudah mulai membuka matanya perlahan sambil menggumamkan nama Nayeon. Dia berusaha mengumpulkan kesadarannya menatap langit-langit ruangan itu.

Chaeyoung dan mina segera menghampiri sang bos yang baru saja sadar. Jeongyeon kemudian menoleh kekiri dan kanan, matanya mencari objek yang paling ingin dilihatnya, namun sosok itu tidak terlihat.

"Dimana Nayeonku?" tanya jeongyeon dengan suara serak.

"Nayeon masih berada di ruang ICU. Kondisinya belum stabil." jawab mina membuat jeongyeon gelisah. Dia tidak ingin ditempatkan di kamar yang berbeda dengan sang istri.

"Aku ingin di sana bersamanya. Kenapa kau tidak beritahu mereka untuk menempatkanku di ruangan yang sama dengannya?" jeongyeon ingin bangkit dari pembaringannya, namun Chaeyoung menahannya. Jeongyeon pun meringis menahan perih di bagian perutnya.

"Bos... Kau jangan banyak bergerak dulu... Tenanglah! Semua akan baik-baik saja!" Chaeyoung berusaha menenangkan bosnya itu.

"Cepat suruh mereka membawaku pada Nayeonku. Aku tidak mau jauh darinya." jeongyeon terus memberontak ingin pergi ke tempat Nayeon berada. Mina yang menyadari situasi segera keluar dari ruangan itu dan memanggil Dokter seulgi

Tidak lama, dokter seulgi masuk ke dalam ruangan itu dan langsung memberi suntikan obat penenang. Dengan sisa tenaganya, jeongyeon masih terus berusaha memberontak, seraya memanggil nama Nayeon. Tidak lama, dia kembali merasa pusing dan akhirnya kembali tertidur.

Dokter seulgi kemudian menyibakkan pakaian yang di pakai jeongyeon lalu memeriksa bekas luka sayatan di bagian perutnya.

"Dasar bodoh, bekas lukanya berdarah, kan..." gumam sang dokter. Dia kemudian keluar dari ruangan itu dengan terburu-buru. Lalu beberapa saat kemudian kembali ke dalam ruangan itu bersama seorang perawat. Mereka pun mengganti pembalut luka di perut kanan jeongyeon yang sudah penuh darah itu.

Mina dan Chaeyoung menatap jeongyeon dengan perasaan sedih, "Benar kan, apa yang aku khawatirkan. Itulah kenapa aku tidak mau meninggalkannya sendirian," ucap mina yang memperhatikan perawat yang kembali membalut luka jeongyeon dengan perban.

"Iya, kau benar... Dia jadi gila saat tidak melihat Nayeon di sisinya." jawab Chaeyoung

Takut jeongyeon akan memberontak lagi, mereka akhirnya memutuskan memindahkannya ke ruang ICU agar saat terbangun, dia bisa langsung melihat Nayeon.

Malampun tiba, jeongyeon sudah terbangun dari pengaruh suntikan obat penenang yang diberikan seulgi. Kini, dia berbaring di sebelah Nayeon. Seolah tiada puasnya, dia terus memandangi wajah pucat itu. Dia menggenggam tangan Nayeon dan meletakkan di depan dadanya.

"Sayang... berjuanglah untukku sekali lagi. Hatiku sudah ada bersamamu," bisik jeongyeon

Setiap dua jam sekali, seulgi akan masuk ke ruangan itu untuk memantau perkembangan Nayeon setelah operasi pencangkokan itu.

"Kapan Nayeon akan sadar, Kak?" tanya jeongyeon tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Nayeon. Dia masih berbaring di samping Nayeon dan seulgi duduk di sisi lain, sedang memeriksa Nayeon.

"Itu tidak bisa dipastikan. Tergantung kondisinya. Kita akan terus memantau perkembangannya dan melihat reaksi tubuhnya terhadap organ baru yang masuk ke tubuhnya. Semoga tidak terjadi penolakan," ungkap sang dokter.

"Apa itu berbahaya?" jeongyeon kembali di landa rasa khawatir.

"Bukankah aku sudah jelaskan padamu resiko pencangkokan sebelumnya?" ucap sang dokter diikuti anggukan oleh jeongyeon, "Resiko lainnya pascaoperasi adalah pendarahan, komplikasi saluran empedu, penggumpalan darah hingga masalah dengan memori atau ingatan. Tapi semoga itu semua tidak terjadi," tutur sang dokter.

"Lakukan yang terbaik untuk Nayeonku, Kakak." pinta jeongyeon kemudian.

"Tentu saja. Dan kau juga, kau ingat apa yang aku katakan padamu sebelum operasi, kan? Kau jangan melanggar semua itu."

"Iya, aku tahu..."

Setelah seulgi keluar dari ruangan itu, jeongyeon kembali memandangi wajah Nayeon. Banyaknya peralatan medis yang melekat di tubuh sang istri membuatnya merasa tidak tega.

"Apa semua ini membuatmu sakit? Maafkan aku... Aku penyebab kau mengalami semua ini..."

























Tbc

[END] PRISON OF LOVE || 2yeon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang