Bab 4 - Beasiswa Feni -

23 19 0
                                    

Feni tidak langsung pulang setelah mengantarku. Dia mau di rumahku saja katanya dan pulang nanti, saat sore hari.


Aku segera mandi dan mengganti pakaianku setelah sampai di rumah. Di sisi lain, Feni segera berbaring di kasurku.

"Jadi gimana beasiswa kamu? Katanya kamu mau ambil beasiswa?" tanyaku sembari mengikat rambut.

Feni yang tengah asik tiduran itu pun segera mendudukkan dirinya dan aku duduk tepat di sampingnya.

"Iya jadi kok, soalnya kalau enggak ambil Beasiswa kemungkinan orang tua aku enggak bakal bayarin kuliah aku," jelas Feni dengan nada pelan.

Hmm, beginilah hidup Feni. Keluarganya tidak ada yang mendukung dia untuk berkuliah padahal kakak perempuannya lulusan D3 dan dulu kakaknya dibiayai penuh dengan orang tuanya. Malah sekarang, ketika Feni yang mau kuliah orang tuanya tidak perduli.

"Hmm ya sudah. Yuk, aku temenin buat urus Beasiswanya."

Feni tersenyum kecil, "Makasih ya."

"Iya, sama-sama."

Nyaris satu jam berlalu. Aku dan Feni kini tengah sibuk menulis dan mencari info mengenai persyaratan Beasiswa.

"Ini mah gampang aja, Fen," ucapku setelah membaca semua persyaratan.

"Ya sudah, besok kita urus ya," ajakku dengan semangat, aku melakukannya agar Feni merasa tenang.

Keesokan harinya, aku dan Feni sudah berada di kelurahan tempat wanita itu tinggal. Kami datang pagi-pagi sekali, walau begitu sudah banyak orang yang datang.

"Kamu tunggu sini ya, aku maju bentar," ujar Feni padaku.

Dia mengurus semuanya sendiri dan aku hanya menemaninya. Wanita itu sebenarnya hanya ingin memilikinya seseorang yang dapat memberinya semangat karena dia bukan seorang wanita yang tidak tau apa-apa bahkan Feni siswa yang berprestasi di kelasnya dulu.

Cukup lama aku menunggu Feni sehingga akhirnya aku memutuskan bermain ponsel, sekedar membuka instagram atau juga grup di whatsapp

Mungkin sudah nyaris 20 menit aku menunggu Feni dan akhirnya wanita itu kembali. Dia duduk tepat di sampingku. Aku pun memasukkan ponselku ke dalam tas dan memperhatikan sahabatku itu yang tengah fokus membaca surat di tangannya.

"Kenapa? Ada yang salah?" tanyaku dengan wajah bingung.

Feni menggeleng pelan, "Enggak kok, aku cuman mau baca aja."

Aku menggangguk, "Oh gitu. Kirain ya kan ada yang salah."

"Enggak kok," jelas Feni kembali, dia tersenyum sembari memasukkan surat tersebut di map.

"Terus, apa lagi yang mau di urus?" tanyaku pada Feni.

Wanita itu terdiam sembari berpikir, "Foto rumah."

Kami pun pergi ke rumah Feni yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kelurahan tempat Feni membuat surat.

Rumah kecil itu terlihat ringkih apalagi bangunan tersebut diapit oleh rumah lain sehingga hanya ada satu pintu yang bisa digunakan.

Sesampai di rumah Feni, aku segera turun dari motor dan sahabatku itu segera memarkirkan motornya di depan rumah tetangganya.

"Hmm, boleh fotoin rumah aku nggak?" tanya Feni dengan pelan padaku.

"Boleh banget kok, bentar ya," ucapku sembari mengeluarkan ponsel di dalam tasku.

Feni juga memiliki ponsel. Namun, kameranya agak bermasalah sehingga dia memintaku untuk memotret rumahnya.

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang