Bab 7 - PAMB? -

19 17 0
                                        

Sudah nyaris satu minggu Ibu di rawat, kondisi beliau sudah cukup baik sekarang. Dia tidak banyak tidur dan mau makan. Aku tentu masih ingat, saat hari pertama Ibu masuk rumah sakit. Beliau hanya tertidur seharian tanpa ada niatan untuk bangun, kecuali untuk pergi ke toilet.

Ke toilet pun beliau jarang, bahkan pernah suatu saat Ibu mau buang air kecil. Namun karena sudah tidak tahan, dia melakukannya sambil berdiri di sisi ranjangnya.

Saat itu, Ibu berulang kali minta maaf padaku. Namun, aku tidak marah. Aku malah menangis sejadi-jadinya. Aku merasa bahwa saat ini ibuku tengah membutuhkanku.

Nyaris semua saudara ibuku datang menjenguk, mereka baru kali ini datang setelah Ibu dirawat di rumah sakit.

Mereka asik mengobrol dengan Ayah dan aku hanya duduk di sisi ranjang ibuku. Jujur, aku tidak bisa membuka pembicaraan pada keluargaku sendiri karena aneh rasanya jika aku melakukan hal itu.

Jika bisa dikatakan bahwa aku sangat jarang bertemu dengan keluarga besarku, bahkan ketika ada acara. Aku akan mencari-cari alasan untuk tidak datang, karena aku lebih nyaman dengan teman-temanku dibanding dengan keluargaku sendiri.

"Gimana kuliah kamu, Dee?" tanya tante aku secara tiba-tiba.

Aku mengalihkan pandanganku yang sebelumnya terfokus pada ponsel yang ku pegang.

"Alhamdulillah aman, Tan. Minggu depan, Insya Allah aku ikut PAMB."

Aku tersenyum kecil saat menjawab pertanyaan itu. Senyum aneh yang baru pertama kali ini ku lakukan.

Menjadi orang lain, cukup melelahkan ya dan aku harus melakukan hal itu agar kedua orang tuaku tidak mendapat omongan buruk tentang kelakuanku.

"PAMB?"

Mata Tante Erna menatap ke atas, sepertinya beliau tidak tau mengenai PAMB. Oh iya, Tante Erna ini adalah adik perempuan satu-satunya ibuku.

"Iya, Tan. PAMB. Percepatan Adaptasi Mahasiswa Baru."

"Oh, Ospek."

Tante Erna begitu semangat saat membalas ucapanku, membuatku sedikit tak enak padanya.

Menjelang magrib, Keluarga besarku pun pulang. Mereka memberi doa pada ibuku agar beliau cepat sembuh dan aku mengamini doa mereka.

Bukannya aku tidak mau menjaga ibuku. Namun, aku ingin beliau tidak merasakan sakit lagi. Tentu aku tau rasanya ketika sakit menyerang, mau ngapain pun jadi tidak enak.

Seperti biasanya, pada pukul delapan malam akan ada dokter atau perawat yang datang untuk mengecek keadaan ibuku. Mereka saat itu juga langsung memberitahukan hasil pengecekan tersebut pada siapa yang tengah menjaga pasiennya.

Kini, karena hanya aku sendiri di ruang rawat Ibu. Dokter yang tadi mengecek keadaan Ibu pun langsung memberitahu hasil pengecekannya.

"Anaknya Ibu Rahayu ya?"

Aku mengangguk pelan. Dokter tersebut melihat kertas di hadapannya dengan saksama. Kemudian, pandangannya beralih padaku.

"Alhamdulillah, kondisi Ibu kamu sudah jauh lebih baik. Tapi untuk sementara, saya saranin, Ibu kamu di sini dulu ya. Mungkin satu atau dua hari ini beliau bisa pulang ke rumah."

Dokter itu tersenyum setelah berbicara denganku. Aku juga melakukan hal yang sama. Aku sangat bersyukur, ibuku bisa cepat sembuh.

"Ya sudah, kalau gitu saya keluar dulu ya."

Setelah dokter yang mengecek keadaan Ibu keluar, tak lama kemudian Ayah datang. Aku segera memberitahukan beliau mengenai kondisi Ibu. Berulang kali pria tua itu mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Allah SWT.

Keesokan harinya, aku mendapatkan info mengenai PAMB. Aku disuruh membawa beberapa barang untuk perlengkapan PAMB. Untungnya barang-barang itu tidak ada yang aneh-aneh sehingga aku bisa dengan mudah mendapatkannya.

Aku segera memberitahukan Feni, mengenai info yang ku dapat. Wanita itu kemudian mau menjemputku yang masih berada di rumah sakit. Kata dia, dia mau sekalian menjenguk ibuku karena sejak pertama ibuku masuk rumah sakit. Feni belum sempat menjenguk.

Siang harinya, Feni datang ke rumah sakit. Aku berlari ke lantai satu dan kemudian membawa sahabatku itu untuk naik ke lantai dua, dimana ibuku berada.

"Masuk, Fen," ajakku yang langsung membuat Feni masuk ke dalam ruang rawat ibuku.

"Bu, ini ada Feni datang," ucapku pada Ibu. Kini beliau tengah duduk makan siang.

"Masuk, Nak."

"Iya, Tan. Gimana kabar, Tante?"

Ibuku berhenti menyuap makanan ke mulutnya, dia kemudian tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Feni.

"Alhamdulillah baik, makasih ya sudah jenguk, Tante."

Setelah selesai mengobrol dengan ibuku, Feni langsung beralih mengajakku berbincang mengenai barang bawaan untuk PAMB.

"Ini mah gampang aja, besok deh kita cari."

Aku terlihat begitu percaya diri saat mengucapkan hal tersebut karena hari ini, ibuku sudah boleh pulang ke rumah.

Sebenarnya, aku bisa saja pulang sekarang. Namun, ayahku bilang. Aku harus menunggunya karena dia sedang mengantar barang.

"Loh, emang kamu bisa pergi besok?"

Aku mengangguk sembari tersenyum ke arah sahabatku itu. Wajahnya kian membingung saat melihatku bahagia.

"Terus, ibumu gimana?"

"Tenang, ibuku hari ini bisa pulang kok. Tuh, kamu liat sendiri. Tas bajuku sudah rapi."

Aku menunjuk dua buah tas besar yang akan ku bawa pulang nanti.

Bibir Feni membentuk huruf 'O'. Tentu dia paham maksud ucapanku.

Menjelang malam, ayahku akhirnya datang. Namun, ternyata kami tidak bisa pulang saat itu juga. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang besok pagi.

Sepertinya, menahan satu hari tidak masalah bukan?

Keesokan harinya, kami pun dapat pulang setelah mengurus administrasi rumah sakit. Untungnya, Ibu adalah PNS sehingga nyaris semua biaya rumah sakit ditanggung oleh BPJS. kecuali, saat beliau rontgen. Kami harus membayar karena ayahku meminta hasilnya lebih cepat.

Ayah tentu begitu khawatir pada Ibu karena ini pertama kalinya beliau sakit berat hingga masuk rumah sakit. Dulu, beliau juga pernah masuk rumah sakit saat melahirkan kakakku dan juga aku.

Tentu hal itu berbeda jauh, masuk rumah sakit karena 'sakit' dan masuk rumah sakit karena 'melahirkan'.

Setelah sampai di rumah, aku malah merindukan bau rumah sakit tempat Ibu di rawat. Kesan horor yang biasa ada di rumah sakit, tidak pernah ku rasakan. Aku bahkan selalu bisa tidur dengan nyenyak setiap malam. Apalagi di ruangan ibuku, ada AC yang terus nyala seharian.

Keesokan harinya, aku harus mencari peralatan untuk PAMB. Tentu aku tidak sendiri, melainkan dengan sahabatku, Feni. Dia juga harus mencari peralatan untuk PAMB. Kami satu fakultas, maka peralatannya pun sama.

Feni telah sampai di depan rumahku beberapa menit yang lalu, aku pun segera turun dari lantai dua rumahku. Sebelum pergi, aku pamit terlebih dahulu pada ibuku yang tengah berbaring sembari menonton tv.

"Jangan lama-lama ya, Nak."

Akhir-akhir ini ibuku sering memanggilku dengan sebutan 'Nak' atau 'Anak'. Tentu, ada rasa bahagia di hatiku sekarang ini. Walau sebatas kata yang biasa. Namun, aku tetap bisa bahagia.

Ke depannya, tentu aku tidak tau bagaimana Allah SWT dapat mengubah situasi keluargaku. Maka untuk sekarang, aku hanya perlu menjalani dan menikmati apa yang terjadi.

***

Wah, di kampus Dee adanya PAMB loh. Di kampus kalian gimana?

***

Yuk, tinggalin jejaknya.

***

Terima kasih.

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang