Bab 71 - Pisah -

6 0 0
                                    

Sikap posesif yang dimiliki oleh Rai membuatku tidak bisa banyak berinteraksi dengan Barra. Pacarku itu selalu saja memperhatikan kami setiap saat, walau hanya interaksi kecil. Namun, Rai akan memberi tatapan tajam ke arah kami.

Sekarang sudah nyaris pukul 10 malam dan aku sudah memberitahukan Rai untuk istirahat. Namun, pacarku itu malah tidak peduli dan malah sibuk bermain game.

Di sisi lain, Barra sudah tiduran di atas kasur menunggu kantuk menyerang dan ketika aku naik ke atas kasur. Rai langsung menahanku.

"Kenapa?" tanyaku pelan sembari menatap tangan Rai yang kini berada di pergelangan tanganku.

"Nanti dulu tidurnya," pinta Rai dengan mata yang masih terfokus pada ponselnya.

Aku melepas cengkeraman tangannya dan bergegas tidur di sisi Barra. Aku yakin Rai akan mengikutiku dan benar saja, pacarku itu langsung naik ke atas kasur dan tidur di antara kami berdua.

Rai mengarahkan badannya ke arahku sembari masih terus bermain, aku yang sudah ngantuk pun tertidur tanpa peduli dengan pria di hadapanku. Besok kami harus bangun pagi agar tidak telat pergi ke bandara.

Keesokan paginya, aku bangun tepat pukul tujuh. Aku melihat Rai masih tertidur pulas sembari menghadapkan badannya ke arahku, sama seperti sebelumnya.

Aku bergegas bangun dari tidurku dan menoleh ke arah Barra yang ternyata juga sama seperti kakaknya, tertidur pulas. Aku kemudian bangun dari kasur dan pergi mandi. Kubiarkan kedua pria itu tetap tidur dan aku mulai melakukan banyak kegiatan lain.

Cukup lama aku membiarkan keduanya tidur, tetapi setelah setengah jam berlalu. Aku membangunkan keduanya karena setengah jam lagi kami harus pergi ke bandara. Perjalanan ke bandara pun cukup lama sekitar satu jam. Aku tidak mungkin membiarkan kedua pria itu telat.

"Rai, bangun," ucapku sembari mengguncang tubuh Rai dengan pelan. Setelah pacarku itu benar-benar bangun, aku beralih pada Barra. Sama seperti kakaknya, Barra juga kuguncang tubuhnya agar bangun.

Keduanya kini terlihat seperti anak kembar, duduk berdampingan sembari mengusak mata mereka. Aku tertawa kecil melihat keduanya. Namun, segera kusuruh mereka bersiap.

"Yuk, buruan mandi!"

Setelah keduanya mandi, aku melihat dengan jelas bahwa wajah Rai kini berubah masam. Aku mendekat ke arah pacarku itu dan menanyakan tentang alasan wajahnya berubah masam.

"Kamu kenapa?" tanyaku pelan setelah duduk di sisi Rai. Pacarku itu kemudian melukis wajah cemberutnya dan langsung memelukku dari samping.

"Masa aku duduk sebelahan sama Barra di pesawat."

Aku tertawa kecil sembari merapikan rambut pacarku itu dengan pelan. "Emang kenapa? Dia adik kamu loh. Jangan lupa," tegasku yang langsung membuat Rai melepaskan pelukannya padaku.

"Dua jam sebelahan sama dia, aneh banget!"

"Ya udah sih, nikmatin aja."

Agak lucu sebenarnya saat melihat Rai mengadu padaku, sepertinya ini kerjaan kedua orang tua Rai agar kedua anaknya itu bisa akur. Duduk bersebelahan tidak masalah bukan? Apalagi yang bersebelahan adalah saudara.

Mungkin setelah duduk bersama, sikap Rai mencair dan membuat keduanya bisa berbaikan. Sebenarnya aku kurang paham kenapa hubungan mereka rusak. Namun, aku yakin mereka bisa kembali seperti sebelumnya.

Kini, waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Rai sudah duduk di kursi mengemudi dan aku duduk tepat di sampingnya. Di belakang, Barra sudah duduk santai sembari bermain ponsel.

"Yuk, kita jalan," ajakku yang langsung membuat Rai menyalakan mobil tersebut dan kami bergegas untuk pergi ke bandara.

Perjalanan kali ini terasa begitu lambat karena macet yang terjadi di beberapa ruas jalan, biasanya untuk mencapai bandara kami hanya membutuhkan waktu satu jam. Namun kini, kami baru sampai di bandara setelah menghabiskan waktu satu setengah jam.

Setelah sampai di bandara, kedua pria itu melakukan check in dan memasukkan koper yang mereka bawa. Sembari menunggu waktu terbang, aku dan kedua pria itu memutuskan untuk makan di area bandara.

Kulihat Barra tidak banyak bicara karena setiap dia bicara, Rai akan memotongnya. Saat kami udah mendapatkan tempat untuk makan, aku bergegas untuk mengambil duduk tepat di sisi Barra, berhadapan dengan Rai.

Wajah Rai terlihat kesal menatapku. Aku malah tersenyum kecil ke arahnya. "Kenapa?" tanyaku yang malah membuat dia menggelengkan kepalanya.

Kini, fokusku beralih pada Barra. Pria itu terlihat bingung karena aku duduk di sisinya. "Bar, Mbak minta tolong ya, jagain Mas Rai. Jangan sampai dia selingkuh di sana."

Barra tersenyum ke arahku. "Siap, Mbak."

"Pokoknya, kalau dia deketin cewek lain. Kasih tau Mbak ya!"

"Iya, Mbak."

"Apaan sih, aku nggak mungkin selingkuh."

"Iya deh, percaya kok."

Setelah percakapan yang asyik tersebut, makanan yang kami pesan datang. Aku memesan nasi kuning sama seperti milik Rai dan Barra memesan mie ayam.

Kami langsung menyantap makanan tersebut sembari berbincang banyak hal dan setelah makan, sebuah pengumuman terdengar. Pengumuman mengenai keberangkatan kedua pria itu.

Kami berlari menuju ke tempat sebelumnya dan aku segera memeluk Rai dengan erat. "Aku bakal kangen banget sama kamu," ucapku dengan penuh haru.

Rai tidak menjawab dan malah menciumi kepalaku beberapa kali. Saat mataku terbuka, aku melihat wajah Barra yang berubah masam.

Aku segera menjauhkan diriku dari Rai dan mendekat ke arah Barra." Ketemu lagi nanti ya. "

Barra tidak langsung membalas ucapanku, pria itu malah membawa diriku ke dalam pelukannya. Aku terkejut. Namun, tidak bisa berbuat apa-apa. Aku yakin, kini Rai sudah memasang wajah kesalnya.

"Makasih ya, Mbak."

Aku terdiam bingung karena ucapan dari adik pacarku itu. Namun, mereka harus segera masuk ke dalam pesawat dan aku melepas mereka dengan rasa bahagia. Semoga nanti, setelah mereka pulang hubungan mereka menjadi lebih baik lagi.

Kedua pria itu berjalan menjauh dariku dan aku hanya bisa Melambai-lambaikan tanganku ke arah mereka. Setelah kedua pria itu sudah tak dapat kulihat lagi. Aku bergegas untuk pulang. Saat di dalam mobil, mataku terpaku pada foto yang ada di layar ponselku. Fotoku dan kedua pria tersebut.

"Baik-baik ya kalian di sana, kita pisah dulu ya," ucapku pelan sembari menjalankan mobilku pulang ke rumah.

Kini, aku harus memanfaatkan waktuku untuk mengerjakan skripsi bayanganku. Selagi Rai berada di kampung halamannya, aku bisa lebih leluasa melakukan banyak hal. Walau hanya beberapa hari. Namun, aku harus bisa memanfaatkannya.

Sesampai di rumah, aku segera membuka laptopku karena tadi aku mendapat pesan bahwa ada nilai yang sudah keluar dan saat website kampus terbuka. Aku sangat terkejut karena aku mendapatkan nilai yang sangat memuaskan.

Untuk semester depan, aku bisa mengambil semua mata kuliah yang ada dan tidak perlu mengulang apa-apa. Semoga keinginanku untuk lulus dengan cepat dapat terjadi. Amin.

***

Yeay, bab 71.

***

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang