Bab 49 - Wajib Bawa Buku -

5 1 0
                                    

Di balik pembahasan mantan beberapa hari sebelumnya, hubunganku dengan Rai memanas. Pria itu berkali-kali memintaku untuk memberitahu hubungan kami pada teman-teman. Alasannya klasik, yaitu agar aku tidak digoda oleh orang lain.

Tentu aku menolak, karena jujur agak susah untuk kami terus bertahan dan sebaiknya begini.

Mau tak mau, aku harus mengiakan syarat dari pacarku itu untuk datang ke kamar kosnya setiap pulang kampus sebelum kembali pulang ke rumah.

Kini, aku tengah berada di kamar kos Rai dan menemani pria itu bermain game.

Bosan, tentu aku bosan. Namun, aku harus mengalah sekarang.

Ketika menunggu Rai selesai bermain game, aku sibuk membaca pesan-pesan yang ada di grup kelas. Tiba-tiba saja aku teringat pada suatu hal yaitu membeli buku.

"Rai, kita belum beli buku buat besok loh!" ucapku dengan spontan. Hal itu membuat Rai melirik ke arahku. Namun, setelahnya pacarku itu kembali fokus bermain game.

Aku kemudian bertanya pada teman-temanku mengenai buku yang besok akan dipakai itu dan ternyata letak toko bukunya tak jauh dari kos Rai.

"Rai, mau ikut nggak beli buku?" tanyaku sembari menggunakan kembali jilbab yang sebelumnya ku lepas.

"Bentar," jawabnya singkat.

"Ayo buruan, nanti tokonya tutup."

Benar saja, sekarang sudah nyaris pukul lima dan itu adalah waktu toko tersebut tutup.

"Bentar, Dee," ucap Rai lagi. Pacarku itu tidak mau mengalah sehingga aku langsung berdiri untuk mengancamnya.

"Kalau kamu nggak mau ikut, nggak papa, aku bisa pergi sendiri."

Aku mengambil dompetku untuk membayar nanti. Jika memang Rai tidak ikut, tidak masalah aku masih ingat jalan menuju toko tersebut kok.

Ketika tengah sibuk memasang kaus kaki, tiba-tiba saja Rai ikut bangun dari duduknya. Aku terkejut saat melihat pacarku itu sudah berdiri di dekatku.

"Kenapa?" tanya Rai pelan, mungkin pria itu bingung melihat wajahku.

"Nggak papa, udah selesai main gamenya?" tanyaku sembari memperhatikan ponsel Rai yang kini tidak dia gunakan. Ponsel itu tergeletak di atas kasur dan Rai tidak membawanya.

"Udah nih, yuk jalan."

Rai keluar dari kamarnya terlebih dahulu dan di belakangnya aku mengikuti pacarku itu. Namun, sebelum itu aku mengunci kamar Rai. Kalau bisa dibilang aku sudah terbiasa melakukan semuanya sehingga tidak ada yang terlupa satupun.

***

Sesampai di toko tersebut, mataku menangkap sebuah motor yang seperti pernah kulihat. Namun, aku tidak yakin dimana aku melihatnya. Rai kemudian menyadarkanku dan aku menatap pacarku itu yang masih setia duduk di atas motor.

"Tunggu disini aja ya," perintahku yang langsung pria itu ikuti.

Dia akan anteng ketika kuberikan ponselku padanya dan aku langsung masuk untuk mencari buku yang ingin kubeli.

Saat masuk, aku tiba-tiba bertemu dengan teman sekelasku yang bernama Hani. Wanita itu langsung mengenaliku dan menyapaku dengan ramah.

"Loh, Deena. Mau beli buku juga?"

Aku tersenyum gugup ke arah Hani. "Iya nih, lupa banget besok mau dipakai kan?"

Hani mengangguk pelan. "Iya, ini juga aku baru mau beli."

Hani mengangkat buku yang kami ingin beli itu. Kemudian wanita itu menunjuk ke arah tempat buku itu berada. "Tuh, di sana tempatnya."

"Oke. Makasih ya."

Aku berjalan menuju tempat tersebut dan kudapati buku yang ingin kubeli. Namun, aku menunggu sampai Hani pergi karena wanita itu mungkin bisa mengetahui hubunganku dengan Rai.

Aku berdoa semoga Hani tidak bertemu Rai di depan atau tidak mengenalinya. Hmm, sesusah ini pacaran diam-diam.

Setelah memastikan bahwa Hani telah pergi, aku langsung membayar dua buku yang kuambil sebelumnya. Untukku satu dan untuk Rai satu.

Dengan hati-hati aku keluar dari toko buku tersebut dan masih mendapati Rai yang tengah sibuk bermain ponsel. Aku langsung mendekat ke arah pacarku itu dan naik ke atas motor.

"Ayuk, cepet!" perintahku dengan panik.

Rai bingung. Namun, tetap mengikuti apa yang kuperintahkan. Setelah cukup jauh dari toko itu, aku pun dapat bernafas lega. Kutaruh daguku di bahu Rai dan hal tersebut membuat Rai melirik ke arahku.

"Kenapa?" tanya pacarku itu dengan pelan.

"Tadi ketemu Hani di toko buku. Hmm, kamu ketemu juga di depan tadi?" tanyaku dengan hati-hati.

"Nggak tau, nggak tau juga siapa Hani itu," jelas Rai dengan santai.

Aku bersyukur, pacarku itu tidak terlalu peduli pada apapun. Aku bahkan sering bertengkar dengannya hanya karena dia lupa nama teman-teman kami di kelas atau malah melupakan nama-nama dosen yang ada.

Menurutku semua itu penting. Namun, tidak baginya.

***

Keesokkan harinya, mata kuliah yang mewajibkan untuk membawa buku itu pun datang. Aku dapat bernafas lega karena sudah memiliki buku yang sebenarnya tidak terlalu mahal itu.

Tak lama setelah kelas penuh, Ibu Wiwi pun datang. Beliau adalah dosen mata kuliah tersebut. Wajahnya terangkat sembari memperhatikan satu persatu mahasiswa yang ada di kelas kami.

Beliau belum juga duduk di kursinya. Namun, Ibu Wiwi langsung berjalan menyusuri kelas untuk memperhatikan kami semua.

"Keluarkan buku kalian, saya mau cek satu persatu," tegas Ibu Wiwi yang langsung membuat semua teman-temanku mengeluarkan buku mereka.

Walau buku sudah ada di tanganku. Namun, aku tetap gugup karena suasana yang begitu menyeramkan sekarang.

"Yang tidak bawa buku silakan keluar!"

Satu persatu teman-teman sekelasku keluar dari kelas, alasannya karena mereka tidak membawa buku atau malah tidak membeli buku.

Setelah semua yang tidak membawa atau membeli buku keluar. Ibu Wiwi berjalan menuju kursi dosen dan beliau menaruh tasnya di atas meja.

"Saya mewajibkan kalian beli buku karena mata kuliah ini penuh dengan rumus dan kalian juga bisa belajar di rumah tentang mata kuliah ini," jelas Ibu Wiwi sembari berjalan ke depan kelas.

"Mari, buka halaman 12. Kita mulai belajarnya."

Semuanya langsung fokus pada mata kuliah yang diajarkan oleh Ibu Wiwi karena memang mata kuliah yang beliau ajarkan lebih susah dibanding mata kuliah lagi. Apalagi ada banyak rumus di dalamnya. Aku cukup bingung nanti ujiannya seperti apa. Bisa-bisa aku harus menghapal semua rumus tersebut.

Setelah nyaris dua jam, mata kuliah tersebut akhirnya telah selesai. Aku langsung merenggangkan tubuhku setelah melihat Ibu Wiwi pergi dari kelas kami. Dua jam menatap buku, begitu melelahkan apalagi beliau termasuk dosen yang tegas. Tidak ada ruang untuk kami istirahat alhasil kami menjadi kelelahan.

"Yuk lah, kantin, laper," ucap Deon tiba-tiba. Pacar Dira itu sudah berdiri dan bersiap-siap untuk pergi.

Aku dan teman-teman yang lain pun ikut berdiri mengikuti pria itu untuk pergi menuju kantin.

Selama perjalanan, semua mahasiswa baru yang ada tiba-tiba saja memberi jalan untuk kami lewati. Hal itu membuat aku cukup bingung.

Dira yang sekarang tengah menggandengku pun langsung bertanya. "Kenapa mereka ngasih jalan kita ya?" tanya Dira dengan wajah penuh penasaran.

Aku menggeleng pelan, "Nggak tau juga."

***

Yeay, up siang-siang hihi.

Bismillah besok part 50 guys.

Semoga suka ya.

Makasih.

***

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang