Bab 81 - Acc -

6 0 0
                                    

Pertengkaran antaraku dan Rai tidak dapat terelakkan. Entah sudah sebanyak makian yang dikeluarkan oleh pacarku itu. Namun, aku tidak akan menahannya karena semua ini adalah salahku.

Sejak awal aku sudah berbohong padanya dan aku benar-benar merasa bersalah sekarang. Aku menunggu Rai selesai mengeluarkan semua isi hatinya dan setelah perasaannya cukup membaik, aku mengajaknya berbicara.

Kini, pria itu sudah duduk di dekatku. Wajahnya menatap lurus ke arah pintu yang menuju balkon. Sepertinya, dia tidak mau menatap wajahku sekarang ini.

Perlahan aku menarik tangannya dan mengelusnya dengan perlahan. Aku tidak bisa menahan tangisku lagi, hingga akhirnya setetes air mata turun dan jatuh ke atas tangan Rai.

Aku merasa bahwa pria itu terkejut dan dia langsung menarik tangannya untuk melepaskan genggamanku. Pelan-pelan kuangkat wajahku dan menatap wajah Rai yang kini terlihat begitu kesal.

"Yang, aku minta maaf, aku nggak ada maksud buat ngelakuin ini semua," jelasku dengan suara yang cukup pelan.

Tidak ada jawaban dari mulut Rai dan aku tidak bisa memaksanya untuk memaafkanku. "Aku tau, aku salah, aku juga udah siap kok kalau kamu mau putus sama aku."

Ucapan yang tiba-tiba itu keluar dari mulutku dan Rai langsung menatapku dengan tajam. "Nggak, aku nggak bakal mutusin kamu!"

Dahi Rai mengkerut entah kenapa dan aku masih menunggu ucapan yang keluar dari mulut pacarku itu. "Aku nggak bakal mutusin kamu, tapi aku bakal mutusin tuh kepala Alwi."

Aku terdiam sesaat dan menarik tangan pacarku itu dengan erat. "Yang, dia nggak salah apa-apa."

"Kamu belain dia?"

"Bukan gitu, tapi aku jalan sama dia tuh gara-gara ada alasan. Kami lagi ngurus Proposal KKN."

"Terus, kenapa harus kalian berdua. Kan kamu sendiri yang bilang, kalau kamu itu bendara, ngapain ngurusin Proposal."

Aku menghela nafasku dengan pelan dan kemudian menjelaskan semuanya pada Rai. Aku bisa melihat bahwa raut wajah pacarku itu berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya dan aku sedikit bersyukur akan hal tersebut.

"Aku nggak minta kamu buat percaya sama semua omongan aku. Karena semua keputusan, ada di tangan kamu."

Tidak ada alasan untukku memaksa Rai percaya padaku, jika memang hubungan kami kandas, aku pasrah dan membiarkan semuanya terjadi. Walaupun, aku tentu tidak bisa merelakan hubungan yang sudah terjalin sejak lama ini.

Kami berdua terdiam dengan pikiran masing-masing, aku yakin Rai kini tengah sibuk memikirkan ucapanku barusan. Aku tidak mau memintanya bertahan jika dia ingin pergi.

Setelah cukup lama berdiam diri, tiba-tiba saja Rai membawaku ke dalam pelukannya. Aku sangat terkejut dan perlahan membalas pelukan itu.

"Maaf ya, Yang," bisiknya pelan di telingaku.

"Maaf, karena nggak bisa jaga kamu selama KKN kemarin," lanjutnya yang malah membuatku merasa sedih.

"Aku juga minta maaf ya, karena malah minta bantuan sama Alwi."

Aku merasa bahwa kini kepala Rai tengah mengangguk dengan pelan. Pacarku itu kemudian mengelus kepalaku dan menciumnya beberapa kali.

"Aku sayang banget sama kamu, aku nggak mau kehilangan kamu. Please, kalau ada apa-apa lagi, jadiin aku orang pertama yang tau. Kalau pun aku nggak bisa bantu, setidaknya aku tau."

Aku menganggukkan kepalaku dengan pelan sebagai balasan atas ucapan Rai sebelumnya. Jujur, aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa mendapatkan pria sebaik Rai dan tugasku kini adalah menjaga pacarku itu.

Masalah-masalah seperti itulah yang sering kami dapatkan selama pacaran. Namun, kali ini lebih ke aku karena sebelumnya aku sangat jarang berteman dengan pria.

Semua masalah itu nggak bisa buat dihindari dan yang terpenting adalah bagaimana kami menyikapinya. Rai pernah bilang padaku bahwa dia tidak akan memutuskanku apalagi untuk hal-hal sepele semacam itu.

Berhari-hari pun terlewati dengan sangat baik. Kini, aku akan pergi ke kampus kembali untuk berkonsultasi dengan Ibu Moli. Semoga kali ini aku bisa mendapatkan Acc dari beliau dan lanjut ke seminar hasil karena teman-temanku yang lain sudah mendapatkan Acc.

Seperti biasa, Rai menungguku di depan gedung dekanat. Setelah menemaniku bertemu Ibu Moli, aku akan menemaninya bertemu dengan Pak Ilham.

Saat berada di depan ruangan Ibu Moli. Aku tidak bisa menemukan beliau dan langsung mengecek jam di ponselku.

Mungkin solat kali ya, aku tunggu aja deh, ucapku di dalam hati sembari duduk di kursi kosong yang ada di depan ruangan dosen pembimbingku itu.

Cukup lama aku menunggu Ibu Moli datang dan tak lama kemudian beliau keluar dari pintu yang berada di sudut ruangan. Setauku itu adalah ruang sholat. Dengan cepat aku berdiri dan di saat bersamaan ada perempuan yang juga ikut berdiri.

Aku cukup terkejut melihatnya dan tersenyum ke arah perempuan itu. "Mau ketemu Bu Moli juga ya, Kak?" tanyaku pelan yang langsung dibalas anggukan oleh perempuan itu.

"Ya udah, duluan aja," ucapku lagi. Namun, perempuan itu langsung menggelengkan kepalanya.

"Nggak usah, kamu aja yang duluan."

"Beneran nih, Kak?" tanyaku lagi memastikan karena aku tidak enak dengannya setauku dia menunggu lebih lama dariku.

"Iya, nggak pa-pa kok."

"Ya udah, duluan ya, Kak."

Aku mengetuk beberapa kali pintu ruangan Ibu Moli dan perlahan masuk ke dalam ruangan tersebut. Saat mataku bertemu dengan dosen pembimbingku itu, Ibu Moli langsung memanggilku.

"Sini, Dee."

Dengan cepat aku berjalan menuju meja Ibu Moli dan memberikan map berisi skripsiku. "Ini, Bu. Sudah saya baikin semuanya."

Ibu Moli mengangguk pelan dan membaca beberapa bab yang memang sudah kuperbaiki sebelumnya. "Udah bagus semuanya, saya Acc ya."

Aku tersenyum bahagia setelah mendengar ucapan dari dosen pembimbingku itu. Namun, tak lama kemudian beliau kembali berbicara. "Abis ini jangan lupa hubungin Ibu Adel ya. Kamu nggak bisa seminar hasil loh, kalau nggak ada tanda tangan beliau.".

"Iya, Bu. Siap."

Ibu Moli mengembalikan map skripsi dan juga lembar konsultasiku. "Semoga lancar ya."

"Iya, Bu. Makasih."

Belum sempat aku pergi, Ibu Moli kembali berbicara. "Itu, kalau ada yang mau konsultasi sama saya. Bilangin cepet ya, soalnya saya mau ngajar."

"Baik, Bu. Nanti saya sampaikan. Permisi."

Aku beranjak dari kursi yang tepat berada di depan meja Ibu Moli. Saat keluar, beberapa mahasiswa langsung berdiri. Sepertinya mereka juga mahasiswa yang dibimbing oleh Ibu Moli.

"Maaf sebelumnya, buat kakak-kakak yang mau konsultasi sama Ibu Moli bisa langsung masuk ya. Soalnya beliau mau ngajar. Masuknya satu-satu ya, Kak."

Aku melihat beberapa orang mahasiswa mengangguk setelah mendengar ucapanku. "Saya permisi ya."

Dengan cepat aku beranjak dari sana dan bertemu dengan Rai yang tengah asyik bermain game di depan gedung dekanat. Setelah melihatku ada di depannya. Pacarku itu langsung berdiri. "Udah, Yang?"

Aku mengangguk pelan. "Udah kok, yuk, aku temenin ketemu Pak Ilham."

***

Bab 81.

***

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang