Bab 30 - Salah Tingkah -

11 11 0
                                    

Sejak kejadian semalam, aku menjadi sangat gugup sekarang. Terlihat jelas dari wajahku bagaimana gugupku. Aku yang tengah menunggu Dira di depan rumahnya hanya terdiam dengan pikiran penuh.

Karena terlalu asik melamun, aku tidak menyadari bahwa Dira sudah keluar dari rumahnya. Temanku itu langsung menepuk pundakku sehingga aku sadar.

"Hah, eh, Dira," ucapku sembari tersenyum.

Dira menautkan alisnya, "kamu kenapa, Dee?"

Sepertinya temanku itu khawatir. Namun, aku segera menggelengkan kepalaku. "Aku enggak papa kok," ucapku dengan pasti.

"Kamu sakit ya?" tanya Dira lagi sembari meletakkan tangannya di dahiku.

Aku tersenyum kecil, "enggak kok. Aku enggak sakit."

Setelah memastikan bahwa suhu tubuhku normal, Dira terlihat menghela nafasnya. "Alhamdulillah deh kalau gitu."

"Ya udah yuk, kita pergi ke kampus," ajakku yang langsung membuat Dira naik ke motorku.

Selama di perjalanan, aku dan Dira asik berbincang. Pembicaraan kita hanya pembicaraan biasa yang sebenarnya tidak penting-penting banget. Namun, aku suka saat ada yang mengajakku berbicara seperti sekarang.

Tak terasa akhirnya kami sampai di kampus, kali ini aku memarkirkan motorku di belakang alias di depan gedung belajar. Sebelum itu, aku memastikan bahwa motor Bora juga ada di sana.

"Nah, itu dia motor Bora."

Aku segera memarkirkan motorku tepat di samping motor Bora dan setelahnya, aku dan Dira naik ke lantai dua dimana kelas kami pagi ini berada.

Saat tengah naik ke atas, tiba-tiba seseorang ikut berjalan di belakang kami. Aku dan Dira berhenti dengan tujuan memberi jalan pada orang di belakang kami. Namun, orang itu tak kunjung maju dan aku pun menoleh ke arah orang itu.

Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku setelah menemukan Rai berada di belakang kami. Untungnya Dira yang berada di sampingku tidak menyadari itu.

"Astaga, kirain siapa," ucap Dira tiba-tiba.

Tatapan Rai yang sebelumnya menatap ke arahku, langsung berpindah ke Dira. Pria itu kemudian tersenyum kecil. "Maaf ya."

Dira mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan Rai. "Nggak usah minta maaf. Yuk, ke kelas," ajak Dira.

Kami bertiga akhirnya berjalan naik ke lantai dua bersama. Aku juga Dira bersebelahan dan Rai di belakang kami.

Tidak ada pembicaraan yang kami buat sampai ke dalam kelas. Di dalam kelas, kami pun langsung duduk di kursi yang biasanya kami duduki. Aku dan Dira duduk di barisan kedua dan Rai duduk di barisan pertama bersama dengan teman-teman priaku yang lain.

Tak lama setelah kami masuk, Dosen tiba-tiba juga masuk dan kami langsung fokus dengan mata kuliah yang tengah beliau ajarkan.

Setelah nyaris dua jam, akhirnya mata kuliah pertama pun usai. Aku baru sadar bahwa minggu depan menjadi minggu terakhir di semester dua.

Aku senang tetapi juga gugup karena pasti minggu depan semua mata kuliah serentak akan melakukan ujian. Ya walaupun nanti mungkin ada yang tidak melakukan ujian. Namun, hanya memberi tugas.

Agak lama kami menunggu dosen kedua masuk tetapi biasanya beliau juga telat sih. Namun, tidak sampai selama ini.

Aku menepuk tubuh Sam dari belakang dan setelah pria itu menoleh aku langsung berbicara. "Sam, dosennya masuk nggak?" tanyaku dengan suara yang cukup pelan.

"Enggak tau," jawab Sam dengan cepat.

"Coba hubungi dulu. Ini udah satu jam loh."

Kamu sudah menunggu lebih dari satu jam, tetapi dosen tersebut tidak juga datang.

"Nah, chat pakai hp aku."

Sam menyodorkan ponselnya kepadaku. Aku mendengus kesal kemudian menerima ponsel tersebut. Aku mengetik pesan yang akan dikirim ke dosen mata kuliah ke dua kami hari ini dan setelah selesai aku langsung mengirimnya.

"Nih, udah selesai," ujarku sembari menyodorkan kembali ponsel Sam.

"Pegang aja, tunggu sampai dosennya bales," jawab Sam, yang langsung membuatku menarik tanganku.

Aku menunggu-nunggu balasan dari dosen tersebut sembari tetap berbincang dengan teman-temanku. Ketika sudah asik dengan satu pembahasan, tiba-tiba saja ponsel Sam berdering. Itu bukan balasan pesan. Namun, telepon yang masuk.

Aku menepuk-nepuk tubuh Sam dari belakang dan menyodorkan ponselnya yang berdering. "Nih, ibunya nelepon."

Sam segera mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut. Pria itu kemudian keluar kelas karena merasa tidak bisa mendengar dengan jelas jika di dalam kelas.

10 menit berlalu, Sam akhirnya masuk ke dalam kelas dan berdiri tepat di depan papan tulis.

"Tolong ya, perhatiannya," ucap Sam agar teman-teman sekelas kami diam. Namun sayang, tidak ada yang mendengarkan ucapan pria itu.

Aku yang geram akhirnya berteriak kencang dan hal itu berhasil membuat mereka diam. "Bisa diam nggak!"

Aku memang memiliki suara yang cukup nyaring, bahkan saat SMA aku selalu membuat teman-teman sekelasku diam dengan suaraku. Aku juga wakil ketua kelas sehingga aku memiliki hak untuk membuat mereka mematuhi apa yang aku bicarakan.

Teman-temanku kaget setelah mendengar teriakanku. Bora dan Dira juga kaget bahkan mereka menutup telinga saat aku berteriak.

"Nah, gini kan enak. Nih aku mau jelasin kalau Ibu Wati enggak bisa masuk. Terus, kita disuruh bikin kelompok yang terdiri dari 7-8 orang. Tugasnya adalah membuat makalah dengan judul yang nanti beliau kirimkan ke saya. Tugas ini buat pengganti ujian semester."

Setelah mendengar ucapan Sam, semua teman-teman sekelasku bersorak bahagia karena jujur mata kuliah yang diajarkan Ibu Wati terlalu membuat pusing bahkan kami tidak memahami apa-apa setelah satu semester berlalu. Salah satu alasannya juga karena beliau selalu terlambat masuk kelas jadi penjelasan yang beliau lakukan terkesan setengah-setengah.

Sam kembali duduk di kursinya dan membalikkan tubuhnya agar bisa berhadapan dengan aku, Bora dan juga Dira. Tidak hanya Sam, tetapi juga teman-teman priaku yang lainnya.

"Kita satu kelompok kan?" tanya Deon dengan wajah menggodanya.

"Nggak!" jawabku dengan cepat yang berhasil membuat wajah pria itu lemas.

"Iya, iya. Nggak usah gitu mukanya hahaha." Aku tertawa di akhir pembicaraanku. "Ya udah sih, kan kita udah tujuh orang."

Saat kami tengah berbicara, ada beberapa teman sekelas kami yang datang ke kami dan kemudian bertanya. "Ini boleh keluar nggak?"

Sam mengangkat pandangannya karena dia tengah duduk dan yang bertanya tengah berdiri. "Boleh kok, keluar aja, yang penting udah absen kan."

Wanita yang bernama Fika itu kemudian mengangguk, "udah kok."

"Ya udah, keluar aja."

Fika kemudian tersenyum ke arahku, "balik duluan ya, Dee."

Benar, kami tidak memiliki jadwal lagi setelah ini. Dosen selanjutnya bilang, kita akan bertemu saat ujian yaitu minggu depan sehingga seharusnya kami bisa pulang sekarang.

"Ya udah, yuk balik," ajakku yang langsung membuat semua teman-temanku berdiri.

***

Yeay, bab 30. Nggak kerasa ya. Semangattt.

Jangan lupa tinggalin jejak kalian ya.

Terima kasih.

***

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang