Setelah nyaris seminggu akhirnya aku bisa menemukan cara untuk bisa bertemu dengan adik dari pacarku. Sehari sebelumnya aku sudah menghubungi dia untuk bertemu sebelum kelasnya dimulai. Iya, kelas yang aku ajari.
Sekitar pukul sembilan pagi, aku sudah sampai di kampus. Duduk di kursi taman yang berada di lingkungan gedung lama. Sebenarnya bisa saja aku duduk di area gedung baru, tapi aku takut jika ada yang melihat kami berduaan. Apalagi aku akan bertemu seorang pria.
Aku memang yakin saat melihat salah satu adik tingkat di kelas yang kuajari. Wajahnya sangat mirip dengan Rai. Namun, aku selalu mengabaikan pikiranku dan ternyata memang benar pria itu adik Rai, pacarku.
Setelah nyaris 10 menit menunggu, aku mendapatkan pesan dari adik pacarku. Dia bilang sudah sampai kampus dan aku langsung menoleh untuk mencari keberadaannya.
Pria itu tersenyum dari kejauhan dan segera kubalas senyum itu, ya walaupun dengan senyuman canggung khas bertemu dengan orang baru. Adik dari Rai itu berjalan menuju ke arahku. Ternyata kalau dilihat-lihat wajahnya jauh lebih tampan dari Rai. Dia juga jauh lebih tinggi dari pacarku.
"Hai, Mbak," sapa adik Rai itu.
"Hai, yuk sini duduk," ajakku sembari menepuk kursi panjang yang kududuki.
Adik Rai itu kemudian duduk di sisiku, "Kenalin, Mbak, nama saya Barra."
Barra menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku dan aku tentu membalas salaman tersebut. "Saya, Deena."
Barra menganggukkan kepalanya pelan sembari menoleh ke arahku. Tangannya dia letakkan di dagu sebagai sanggahan. "Hmm, Mbak beneran pacarnya Mas Rai?"
Mendengar pertanyaan dari Rai membuatku terkejut. Aku terdiam sesaat untuk memikirkan jawaban yang tepat. "Hmm, iya, tapi...."
Aku sengaja menahan ucapanku dan kemudian memperhatikan sekeliling kampus. "Kamu tau dari mana saya pacaran sama Rai?"
Barra memperbaiki posisi duduknya dan melipat tangannya di depan dada. "Ada deh hehe."
Senyuman khas Barra membuatku sedikit takut, terangkat sebelah. Namun, sangat menggoda.
Ponselku bergetar tiba-tiba dan aku langsung melihat pada layar ponselku. Di sana terlihat jelas nama Rai tertulis dan aku sedikit bingung harus melakukan apa, mengangkat atau malah mengabaikannya.
"Mbak, kok tahan banget sih pacaran sama orang dingin itu?"
Wajahku langsung menoleh ke arah Barra. "Kenapa harus nggak tahan?"
"Semua cewek yang pacaran sama dia pasti nggak bakal tahan. Tapi ... ."
Barra tiba-tiba menghentikan ucapannya dan kemudian melirik ponselku yang masih bergetar. "Kayanya, Mbak, pacar satu-satunya Mas Rai yang sampai dihubungin seperti itu."
Aku paham maksud ucapan Barra karena sejak tadi Rai terus menghubungiku. Ada sekitar lima panggilan tak terjawab di layar ponselku kini. "Terus, kamu mau ngomong apa?" tanyaku secara blak-blakkan.
Barra kembali menatap ke arahku. "Hmm, nggak ada kok, Mbak. Saya cuman mau kenal dekat sama calon kakak ipar saya."
Lagi-lagi ucapan Barra berhasil membuatku terdiam. Kini aku jadi bingung, harus jujur pada Rai atau tidak. Aku juga baru tau bahwa pacarku itu memiliki saudara, tapi sejak dulu aku tidak mau terlalu dalam mengetahui kehidupan Rai karena menurutku itu semua adalah sesuatu yang pribadi.
"Hmm, kalau boleh tau, kenapa kalian nggak pernah keliatan bersama?" tanyaku pelan takut menyinggung Barra.
Adik pacarku itu kemudian tersenyum kecil. "Gimana ya ngejelasinnya. Pokoknya, hubungan kami tuh sama Mas Rai nggak baik."
"Kami?"
"Iya, aku sama orang tua aku," jawab Barra singkat dengan senyum tipisnya. "Coba deh, Mbak cerita kalau Mbak ketemu aku. Pasti Mas Rai marah."
Keputusanku sebelumnya untuk tidak memberitahu Rai nyatanya benar. Jika saja aku memberitahu pacarku itu, sudah pasti aku tidak akan bertemu dengan Barra hari ini.
"Hmm, Mbak, boleh gitu, kapan-kapan suruh Mas Rai pulang. Udah capek Ibu sama Ayah aku hubungin dia."
Wajah Barra berubah melas saat mengucapkan permintaannya. Aku sendiri tidak yakin bisa meminta pacarku itu untuk pulang atau tidak karena memang selama ini dia memang tidak pernah berbicara tentang keluarganya dan aku tidak pernah bertanya.
"Hmm, nanti deh, saya coba ya," jawabku singkat dengan ragu.
Wajah Barra kembali bahagia dan dia kemudian merangkul tubuhku dengan lembut. "Makasih, Mbak."
Karena sudah waktunya masuk kelas, aku dan Barra sama-sama berjalan ke kelas kami yang berada di lantai satu gedung baru. Aku berusaha agar tidak terlalu dekat dengan Barra karena takut ada yang melihat kami berdua.
Setelah sampai di kelas, aku baru berani menghubungi pacarku. Jelas, Rai marah dan memintaku untuk menjemputnya nanti setelah kelas selesai. Aku pun mengiakan dan kemudian fokus pada kelas yang kuajari.
Pembahasan kali ini cukup sulit dan beberapa adik tingkat yang kuajari meminta penjelasan langsung dariku. Satu persatu mengangkat tangan dan setelahnya kudatangi. Aku ingin mereka benar-benar paham pada materi yang kubawakan dan setelah dua jam berlalu akhirnya kelas pun selesai.
Seperti biasa, Pak Aryo akan menutup kelas dan setelahnya aku langsung pergi ke kos Rai. Sesampai di kos tersebut, aku langsung naik ke lantai dua dimana kamar Rai berada. Beberapa kali aku mengetuk pintu dan setelah nyaris lima menit pintu itu baru terbuka dengan menampilkan wajah Rai yang baru bangun tidur.
"Baru bangun?" tanyaku basa basi dan Rai hanya mengangguk lalu menutup pintu kamarnya setelah aku sepenuhnya masuk.
Masih ada waktu setengah jam sebelum masuk kelas dan Rai terlihat santai melakukan kegiatannya. "Udah mandi?" tanyaku yang langsung membuat Rai menoleh ke arahku.
Pacarku itu tengah asyik membuat minuman sembari berdiri dan aku tengah duduk di atas kasur. "Udah, tadi sebelum tidur," jelas Rai singkat yang membuatku langsung mengangguk paham.
Rai telah selesai membuat minuman dan memberikannya kepadaku. Aku menerimanya dengan senang hati, sebuah es coklat kesukaanku.
"Makasih."
Perlahan kuminum es coklat itu sembari memperhatikan Rai yang kini bersiap untuk pergi ke kampus. Pacarku itu sangat lamban dalam melakukan sesuatu dan kadang hal itu membuatku kesal, tapi kali ini aku tidak bisa kesal karena ada suatu hal yang ingin kututupi. Aku takut tak sengaja mengungkapkannya.
Setelah Rai siap dengan pakaian rapinya, pria itu langsung mengajakku untuk pergi ke kampus. Namun, sebelum itu aku mau menghabiskan es coklat yang dia buat terlebih dahulu.
"Bentar ya, abisin esnya dulu," ucapku pelan.
Lama kelamaan es tersebut habis kuminum dan aku segera beranjak dari dudukku, mengikuti Rai yang kini sudah terlebih berjalan di depanku. Setelah sampai di parkiran, Rai meminta kunci motorku dan langsung kuberikan.
Dengan cepat pacarku itu mengeluarkan motorku dari parkiran dan setelahnya kami langsung pergi ke kampus. Tidak ada yang kami bicarakan selama perjalanan. Aku dan Rai sama-sama terdiam.
***
Gimana reaksi temen-temen kalau ketemu saudara dari pacar kalian?
Gugup nggak? hihi.
Ikutin kelanjutannya yaaa. Masi ada 23 bab lagi yeay.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Manis Things (END)
Teen FictionNomor Peserta : 041 Tema yang diambil : Campus Universe Blurb : Siapa bilang kuliah itu mudah? Kuliah sangat menyita waktu dan juga perasaan. Nyaris seharian bahkan jika bisa bermalam di kampus, mungkin sebagian mahasiswa akan lakukan. Bergerak cepa...