Bab 41 - Teguran Halus -

4 2 0
                                    

Ternyata memang benar bahwa semakin lama, perkuliahan menjadi sangat berat. Tugas mulai menumpuk, ujian silih berganti dan juga pembahasan setiap mata kuliah semakin berat.

Sedari pagi, hujan turun membasahi bumi. Sepertinya nanti akan banjir beberapa ruas jalan. Motor Rai sudah baikkan dan aku ikut dengan pacarku itu karena malas mengendarai motor.

Tubuhku sangat dingin karena perjalanan tadi sehingga ku gunakan jaket yang cukup tebal untuk menghangatkan tubuhku.

Saat sampai di kampus, beberapa teman sekelas kami tidak masuk. Mungkin karena hujan, wajar saja sih apalagi beberapa dari mereka ada yang tinggal cukup jauh sepertiku. Tapi, aku dan teman-temanku tetap turun. Kami bertujuh. Sepertinya, jika hujan badai pun kami akan turun karena jika tidak akan mempengaruhi nilai kami nantinya apalagi UTS akan datang.

Memang, setiap semester ganjil. Waktu akan terasa begitu cepat berlalu bahkan kini kami sudah ada di minggu ke 5 perkuliahan.

Kami bertujuh memutuskan untuk duduk agak jauh dari kipas angin. Aku bahkan mendekatkan diriku pada teman-temanku agar merasa hangat padahal aku menggunakan jaket yang tebal. Teman-temanku pun begitu.

Kelas yang biasanya ramai sekarang menjadi cukup sunyi, karena banyak dari kami yang tidak hadir.

Agak lama kami menunggu dosen datang, mungkin sekitar satu jam. Sebenarnya aku sudah mulai mengantuk, tetapi saat dosen pria itu datang. Mataku menjadi cerah kembali.

Hujan di luar sudah mulai mereda, beberapa di antara kami memutuskan untuk melepaskan jaket yang mereka gunakan. Namun, aku tidak. Aku masih kedinginan dan memutuskan untuk menggunakan jaket tersebut.

Mata kuliah pertama ini, berjalan cukup baik. Aku sedikit heran pada dosen tersebut, karena beliau mendektekan semua yang kami perlu tulis padahal akan lebih mudah jika salah satu dari kami menulis di depan sehingga kami tidak perlu terburu-buru menulis.

Aku tertawa kecil karena melihat tulisanku yang entah seperti apa, ada yang terlalu kecil, ada juga yang terlalu besar, bahkan ada beberapa temanku yang belum selesai mencatat dan akhirnya meminjam catatanku.

"Dira pinjem ya, tadi pas bagian dua, Dira nggak sempet nulis," mohon Dira padaku.

Kami sudah pindah kelas, dan kami juga memiliki waktu luang untuk sedikit bernafas sebelum dosen selanjutnya masuk.

Aku menyodorkan buku binderku pada Dira dan wanita itu langsung menyalinnya. Aku bersyukur karena saat kuliah ini aku hanya perlu membawa satu buku yaitu buku binder yang bisa di ganti isinya.

Dulu, saat sekolah, entah sebanyak apa buku tulisku. Pokoknya, setiap mata pelajaran akan ada buku tulis lain dan sekarang hanya butuh satu. Ya walau begitu, kami juga perlu buku kuliah sama seperti waktu sekolah dulu.

Ketika tengah asik berbincang dengan Dira dan Bora. Tiba-tiba saja Rai menepuk punggungku dengan pelan, aku menoleh ke arahnya dan pria itu kemudian berdiri.

"Kenapa?"

"Kami mau ke kantin. Titip nggak?" tanya Deon pada kami.

"Air mineral deh satu," ucapku seraya mencari dompet di dalam tasku.

"Aku mau es milo, haus," ujar Dira sembari mengeluh. Wanita itu menghentikan kegiatannya sejenak dan merogoh saku bajunya. Dira kemudian memberikan uang kepada Deon, tetapi langsung ditolak oleh pacarnya itu.

"Nggak usah," ucap Deon yang langsung segera di goda oleh teman-teman kami.

"Aku titip air aja deh, kaya Dee," ucap Bora sembari memberikan selembar uang 5 ribu rupiah.

Aku akhirnya menemukan dompetku. Namun, sebelum sempat memberikan uang. Mereka sudah pergi meninggalkan kami.

Ya udah deh, ntar bayarnya pas mereka datang aja, ucapku di dalam hati.

Tak lama kemudian, mereka datang. Mungkin sekitar 10 menitan mereka kembali ke kelas. Jelas mereka tau bahwa dosen kali ini agak menyeramkan, jika telat kami akan diusir.

Teman-teman priaku itu kemudian memberikan satu persatu pesanan kami. Pesananku diberikan oleh Rai.

"Makasih," ucapku sembari mengambil air mineral tersebut..

Aku kemudian menyodorkan uang 5 ribu rupiah sebagai bayaran air mineral tersebut. Namun, uang aku ditolak oleh pacarku itu.

Dira akhirnya selesai menulis dan ikut berbincang dengan kami. Tak lama setelahnya, dosen yang bernama Ibu Moli pun datang. Beliau dikenal sebagai dosen yang tegas sehingga kami tidak berani berbuat aneh di kelas. Bisa-bisa nilai kami terancam.

Aku yang masih menggunakan jaket kemudian merapatkan jaketku tersebut. Aku tidak menyangka bahwa Ibu Moli memperhatikanku dari kejauhan.

"Kalau di kelas, jangan pakai jaket ya. Tolong, hargai saya. Saya tau sekarang dingin, saya saja nggak pakai jaket," ucap Ibu Moli sembari sibuk membuka buku yang dia bawa.

Aku yang sadar pun langsung membuka jaketku. Sebenarnya tidak hanya aku yang menggunakan jaket, ada beberapa mahasiswa lain lagi sehingga aku tidak terlalu merasa sedih karena aku tau aku salah telah menggunakan jaket di kelas.

Sebelumnya aku memang pernah mendengar bahwa kami tidak boleh menggunakan jaket di kelas. Selain jaket, ada beberapa hal lain juga yang tidak boleh digunakan di kelas yaitu sendal jepit, celana robek-robek juga kaos oblong.

Rai kembali memajukan kursinya dan mengelus pundakku dengan lembut. Aku tau dia pasti mengira aku akan sedih. Namun, aku sebenarnya tidak sedih. Hanya saja, aku kedinginan.

Ibu Moli kemudian menjelaskan mata kuliah yang dia ajarkan yaitu Manajemen Pemasaran 1. Aku kurang terlalu paham pada mata kuliah ini. Namun, mau tak mau aku harus memahaminya. Aku lebih suka dengan pelajaran hitung menghitung seperti Manajemen Keuangan dan Operasional.

Di semester lima nanti, kami akan diberi pilihan untuk masuk manajemen apa sehingga sekarang kami perlu mempelajarinya.

Aku hanya tertarik pada dua konsentrasi tersebut. Namun, aku belum tau jelas ingin mengambil apa.

Ibu Moli kemudian mulai menanyai kami satu persatu tentang pemahaman kami selama belajar mata kuliah yang dia ajarkan.

Aku sedikit gugup karena selama ini, aku kurang paham dengan mata kuliah yang diajarkan oleh dosen cantik itu.

Oh iya, Ibu Moli adalah salah satu dosen muda di fakultas kami. Dia juga cantik, tetapi sangat tegas bahkan di kelas lain beliau pernah memberi nilai E kepada mahasiswanya entah karena apa.

Aku tidak berani mengangkat pandanganku saat beliau mulai berjalan mendekat ke arahku. Ibu Moli kemudian melirik buku binderku yang cukup penuh dengan tulisan.

Tak disangka, beliau langsung menunjukku untuk menjelaskan tentang Manajemen Pemasaran yang ku pahami.

Dengan perlahan aku menjelaskan apa saja yang ku pahami selama ini, memang tidak banyak. Namun, ternyata beliau merasa cukup pada apa yang ku jelaskan.

"Bagus, saya suka penjelasan kamu," jelas Ibu Moli sembari kembali berjalan ke depan kelas.

"Minggu depan kita UTS ya, ingat semua yang dijelaskan oleh Deena Karina tadi. Hampir 80% yang dia jelaskan, akan saya jadikan sebagai soal," lanjut Ibu Moli.

Dosen muda itu kemudian mengambil tas dan juga bukunya. "Saya akhiri pertemuan kita hari ini ya, wassalamualaikum wr. wb. Selamat siang."

Ibu Moli akhirnya keluar dari kelas kami dan aku akhirnya dapat bernafas lega. Belum sempat aku melakukan apapun, tiba-tiba saja semua teman-teman sekelasku mendatangiku. Mereka ingin meminjam buku catatanku untuk mereka pelajari nanti.

"Guys, mending aku fotoin aja yakan. Kalian bisa nulis di rumah," jelasku karena waktu sudah sangat sempit. Jika harus meminjamkan satu persatu, kapan aku bisa belajar dengan bukuku sendiri.

"Oke, kirim di grup ya," ucap mereka serentak yang langsung ku-ia-kan.

***

Yeay, bab 41.

Semoga suka.

Makasih.

***

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang