Bab 46 - Semula -

3 2 0
                                    

Semuanya kembali seperti semula. Hubunganku dengan Rai, suasana hatiku juga perasaanku pada pria itu. Entah bagaimana selanjutnya. Namun, sekarang aku mau menikmati semuanya. Saat bersama dengan pacarku itu.

Satu semester berlalu dengan amat baik, IP yang ku dapat juga naik walau hanya sedikit. Setidaknya tidak ada nilai C di KHS yang aku miliki karena aku ingin lulus dengan predikat cumlaude.

Libur semester tiga ini sangatlah singkat, sama seperti liburan semester ganjil yang lain. Hanya dua minggu. Untungnya nilaiku cepat keluar di website kampus sehingga aku tidak perlu merasa takut setiap waktu.

Mengisi waktu kosong liburan kini, aku dan Feni memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Walau hanya sekedar pergi ke sebuah mal terkenal di kotaku yang jaraknya cukup jauh dari rumah kami berdua.

Seperti biasanya, Feni akan menjemputku dan setelahnya kami akan pergi bersama dengan motor sahabatku tersebut. Aku benar-benar malas untuk menyetir sehingga meminta dia untuk menjemputku.

Selama perjalanan kami asyik berbincang hal-hal kecil yang seru karena jujur, untuk memiliki waktu senggang seperti ini akan sulit bagi kami.

Sibuk dengan kuliah adalah salah satu alasannya padahal kami satu kampus bahkan satu fakultas. Namun, tetap saja kami susah untuk bertemu.

Sesampai di mal, aku dan Feni memutuskan langsung masuk karena kami ingin ke sebuah toko untuk membeli sesuatu. Sekarang adalah hari minggu dan mal itu terasa begitu penuh dengan banyak pengunjung yang datang.

Sangking asyiknya jalan-jalan aku tidak menyadari bahwa ponselku terus berbunyi. Ketika sudah sampai di sebuah tempat makan, aku baru menyadarinya.

Langsung kurogoh tas yang aku gunakan setelah duduk di meja yang ingin kami gunakan. Meja yang cukup dekat dengan dinding itu menjadi pilihan kami.

Feni yang duduk tepat di depanku langsung tau siapa yang terus menghubungiku dan aku hanya tersenyum canggung ke arahnya.

"Halo," sapaku setelah mengangkat telepon dari pacarku itu.

"Dari mana sih. Kok baru angkat telepon?" tanya Rai dengan nada suara yang cukup keras.

Aku memaki diriku sendiri karena lupa memberitahu Rai tentang agenda jalan-jalanku dengan Feni hari ini.

Belum sempat aku menjawab, ponselku langsung dirampas oleh Feni. Sahabatku itu berbicara pada Rai agar tidak mengganggu hari libur kami.

Setelah selesai berbicara, Feni langsung menaruh ponselku di sisinya. Aku terdiam tanpa berani berucap karena tau bahwa sahabatku itu tengah dalam keadaan yang kurang baik.

Feni dan Rai selalu bertengkar. Ya walaupun begitu, mereka melakukannya karena sayang padaku. Rai terlalu posesif dan Feni tidak suka itu.

"Makan!" perintah Feni padaku.

Makanan yang kami pesan sudah tertata rapi di atas meja dan kami langsung menyantapnya dengan keheningan.

Menikmati makanan tanpa memegang ponsel memang suatu hal yang paling benar. Apalagi, jika makannya bersama orang yang jarang kita temui.

Setelah makan, kami segera pulang karena langit sudah gelap. Di saat itu pula, Feni mengembalikan ponselku agar aku tidak mempedulikan pesan-pesan yang dikirim oleh pacarku.

Aku tau itu, karena selama ponselku berada di tangan Feni. Alat elektronik itu terus berbunyi.

"Nih, ponsel kamu. Kalau bisa, kamu harus tegas ke dia. Jangan kamu ia-in semua omongannya dia," jelas Feni dengan wajah khawatir.

Aku tersenyum kecil ke arahnya, "Iya, makasih ya."

"Ya udah, aku balik ya."

"Iya, hati-hati."

Sepeninggal Feni, aku segera membuka ponselku. Membaca semua pesan yang masuk. Ternyata tidak hanya pesan dari Rai yang masuk, tapi juga dari teman-temanku.

Mereka bilang, bahwa KRS sudah bisa di isi dan anehnya untuk semester kali ini ada perubahan jadwal yang bener-bener bikin pusing. Mau tak mau kita harus membuat jadwal dengan teliti.

Aku membaca pesan-pesan itu sembari berjalan menuju lantai dua rumahku, karena tidak hati-hati. Aku terjatuh dan menyebabkan kaki kananku terkilir.

"Aw," pekikku sembari memegang pergelangan kakiku.

Suara tubuhku jatuh berhasil membuat ibu dan ayahku berlari ke arahku. Mereka kemudian membantuku untuk berpindah tempat.

Malam sebelum tidur, kakiku di urut karena benar-benar sakit tadi saja saat naik ke lantai dua rumahku. Aku harus dibantu oleh kakakku yang baru saja kembali dari kampus.

Iya, aku dan kakakku sama-sama masih kuliah. Dia sudah masuk semester akhir dan sebentar lagi aku masuk ke semester empat.

Aku meringis kesakitan karena kakiku tengah diurut. Cukup lama tukang urut itu mengurut kakiku dan setelah selesai. Aku merasa kakiku masih kesakitan.

"Ini kok masih sakit ya?" tanyaku pelan pada pria tua yang mengurutku tadi.

"Memang gitu, Mbak. Kalau baru selesai diurut."

"Oh gitu, ya udah. Makasih ya, Pak."

Tukang urut tersebut akhirnya pamit pulang dan langsung diantar keluar oleh ayahku. Ibuku yang berada di sampingku ikut menatap tak enak pada kakiku.

"Sakit ya, Dee?" tanya ibuku yang langsung ku balas dengan anggukan.

"Ya udah, istirahat aja ya. Mumpung juga kamu belum masuk kuliah. Semoga cepet sembuhnya. Amin."

"Amin."

Mengikuti perintah Ibu, aku segera menidurkan tubuhku yang mulai letih. Namun, sebelum itu ku foto kakiku dan ku kirimkan ke Feni.

Tanpa basa basi sahabatku itu segera menghubungiku.

"Itu kenapa?" tanya Feni dengan suara khawatir.

"Sakit."

"Iya tau, maksudnya sakit kenapa?".

"Jatuh dari tangga hehe." Aku sengaja tertawa diakhir pembicaraan karena tau bahwa Feni akan marah.

"Astagfirullah, Dee. Kok bisa?"

Aku menjelaskan tentang kejadian jatuhku tadi dan berulang kali Feni menghela nafasnya karena bingung akan kelakuanku.

"Jadi, gimana? Besok kamu nggak bisa bayar UKT loh?"

Aku terdiam sesaat setelah mendengar ucapan Feni. Aku baru ingat bahwa besok kami berencana untuk pergi membayar UKT agar bisa mengisi KRS.

"Iya," jawabku lirih.

"Ya udah, ntar aku aja yang bayarin ya. Besok aku ke rumah kamu ambil uangnya."

Feni benar-benar sahabat terbaikku. Dia memahamiku dan hal itu yang membuatku bersyukur.

"Beneran?" tanyaku memastikan.

"Iya, kalau isi KRS kamu bisa kan? Kaki kamu doang loh yang sakit, tangan kamu enggak."

Lagi-lagi Feni menyindirku yang tengah sakit. "Iya, tau kok. Makasih ya."

"Iya, sama-sama, ya udah istirahat gih."

"Iya, bye."

Panggilan telepon tersebut tertutup dan setelahnya aku bingung mau memberitahu Rai atau tidak. Takutnya pria itu bersikap gegabah dengan mendatangiku ke rumah setelah tau kakiku sakit.

Hmm, nggak usah lah, daripada ntar dia macem-macem, ucapku di dalam hati sebelum akhirnya tertidur.

Tubuhku sangat lelah sekarang, sehingga mataku tak mampu lagi untuk terbuka. Lagipula sekarang sudah nyaris pukul 11 malam.

***

Semoga suka yaa.

Bener-bener telat upload hihi.

Makasih🥰

***

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang