Nyatanya, setelah beberapa hari jauh dari Rai. Aku merasakan kerinduan yang amat dalam pada pacarku itu. Aku lebih sering menghubunginya untuk hanya sekedar bertanya hal-hal aneh yang bukan aku sekali.
Rai juga merasakan hal yang sama, merindukanku. Pacarku itu bahkan ingin sekali kembali pulang, menemuiku dan memeluk hangat tubuhku. Namun sayang, sepertinya dia akan tinggal di kampung halamannya lebih lama karena neneknya baru saja meninggal dunia.
Aku hanya bisa menemani pria itu melalui panggilan video call, menenangkan dia dengan ucapanku. Namun, aku sendiri tidak tau semua itu bisa membantu dia untuk bangkit atau tidak.
Kini, kami sedang melakukan video call seperti biasanya. Wajah Rai terlihat berbeda dan aku menjadi sangat sedih sekarang. Beberapa kali aku memberinya semangat juga lelucon. Namun, hanya ditanggapi seadanya.
"Rai, kamu nggak pa-pa kan?" tanyaku pelan yang langsung membuat Rai kembali menatap layar ponselnya.
Mata kami saling bertatapan dan aku jelas melihat ada kekosongan di dalam sana. "Aku kangen sama kamu," lanjutku yang langsung membuat senyum pacarku itu merekah.
"Aku juga kangen kamu," jawabnya singkat yang setidaknya bisa membuat hatiku membaik.
"Kemarin, aku udah isiin kamu KRS. Kamu tinggal hubungin dosen wali kamu," jelasku pelan.
Semua urusan Rai kini aku yang menangani karena aku tau, pacarku itu tengah berduka. Lagipula, hal seperti itu sangat mudah untuk di lakukan.
"Iya, makasih ya."
Percakapan kami terdengar singkat. Namun, tidak ada satu pun yang berniat untuk menyelesaikannya. Saling menatap seperti ini sudah jauh dari kata baik untuk kami berdua. Memang benar kata orang bahwa rindu itu sangat berat dan aku baru menyadari hal tersebut.
Dalam beberapa hari ini, aku tidak bisa melepaskan ponsel di tanganku. Membawa barang elektronik itu kemana pun aku pergi, aku tidak ingin perasaan Rai memburuk dan membuat pacarku itu kembali sedih. Aku ingin selalu di sisinya walaupun hanya melalui pesan-pesan singkat.
Dua hari berlalu dengan sangat cepat, kini aku sudah berada di bandara untuk menjemput Rai dan juga Barra. Masih ada waktu setengah jam dan aku memilih untuk duduk di ruang tunggu.
Beberapa kali kulihat ponselku. Namun, tidak ada satu pun pesan yang masuk ke dalam sana. Aku sedikit cemas, tetapi juga sangat semangat menunggu kedatangan pacarku itu.
Setelah cukup lama, aku akhirnya melihat Rai berjalan ke arahku. Pria itu menarik kopernya dengan tangan kiri dan melambaikan tangan kanannya ke arahku. Dengan cepat aku berlari ke arah pacarku itu dan memeluk Rai dengan erat.
"Kangen!" tegasku yang langsung membuat Rai tertawa.
Di belakang kami, ada Barra yang terlihat cemburu. "Udah deh, nggak usah peluk-pelukan di depan orang jomlo," ucap Barra sembari berjalan mendahuluiku juga Rai.
Aku tersenyum kecil sembari melepaskan pelukanku pada Rai. Kusentuh wajah pacarku itu dengan pelan. "Kamu nggak pa-pa kan?"
Jujur, aku masih kurang yakin dengan perasaan Rai sekarang. Dia tentu masih terpukul atas kepergian neneknya. "Nggak pa-pa kok, aku nggak pa-pa."
Aku bisa melihat dengan jelas kebohongan yang pacarku itu lakukan. Namun, aku yakin dia melakukan itu agar aku tidak khawatir.
Kami bertiga akhirnya bisa pulang dengan selamat. Barra sebelumnya sudah di antar ke kosnya dan aku juga Rai bergegas pulang ke kos pacarku itu. Saat sudah berada di kamar, Rai terus-terusan memelukku dan menciumi pipiku.
"Ih, Rai, geli!"
Aku berteriak kecil karena pacarku itu menggosokkan dagunya ke wajahku. Di sana, jelas terlihat bahwa banyak rambut yang sudah mulai tumbuh karena pacarku itu belum melakukan cukur.

KAMU SEDANG MEMBACA
Manis Things (END)
Roman pour AdolescentsNomor Peserta : 041 Tema yang diambil : Campus Universe Blurb : Siapa bilang kuliah itu mudah? Kuliah sangat menyita waktu dan juga perasaan. Nyaris seharian bahkan jika bisa bermalam di kampus, mungkin sebagian mahasiswa akan lakukan. Bergerak cepa...