Bab 42 - Curigation -

3 2 0
                                    

Pagi-pagi sekali, aku dan teman-temanku sudah hadir di kampus. Kami harus mempelajari lagi bahan presentasi kami nanti. Kelompokku yang mendapatkan nomor urut dua begitu gugup sekarang karena jika kelompok pertama tidak hadir, kelompok kamilah yang harus maju terlebih dahulu.

Ketika teman-temanku tengah sibuk dengan salinan makalah yang mereka buat, aku malah sibuk menghubungi salah satu kakak tingkat yang ikut masuk ke dalam kelompokku.

Tanganku tak berhenti mengetik pesan panjang untuk kakak tingkat yang bernama Arya tersebut. Di sisiku, Rai menatap malas karena dia sudah berulang kali bilang padaku agar tidak mengajak pria lain masuk ke kelompok kami.

Tentu aku tidak mau bertengkar dengan pacarku itu sehingga aku tidak menjawab atau pun mempedulikan semua ocehan Rai saat itu.

Hmm, ada rasa kasian di benakku jika meninggalkan kakak tingkat itu. Bisa-bisa dia akan mengulang mata kuliah yang sama tahun depan.

"Sudah ku bilang, nggak usah ajak dia," bisik Rai yang langsung membuatku melepaskan ponsel yang sedari tadi ku pegang.

Mataku menatap ke arah pacarku itu, "Bisa nggak, nggak usah dibahas lagi."

Rai menghela nafasnya karena mendengar ucapanku. Pria itu kemudian mengambil ponselku dan menggunakannya.

Tanganku masuk ke sela lengannya, mengaitkan tangan kita berdua dan aku juga meletakkan daguku di bahu pria itu.

Kami berdua sengaja duduk paling belakang untuk menghapalkan semua materi yang akan kami bawakan. Teman-temanku yang lain tetap duduk di depan. Jika nanti ada mahasiswa lain datang, kami akan kembali ke depan.

Satu persatu teman-temanku datang dan ketika kakak tingkat yang berada satu kelompok denganku juga datang. Aku segera mendatanginya.

Ku tahan langkah panjang pria itu dan ku sodorkan salinan makalah yang aku buat.

"Nih, Kak. Tolong dipelajari ya."

Kak Arya mengangguk tanpa mengeluarkan suaranya. Aku kembali ke kursiku karena takut dosen akan masuk.

Benar saja, belum ada beberapa menit. Dosen kamu datang dengan Sam yang berada di belakangnya. Pria bertubuh tinggi itu membawa proyektor untuk kami gunakan presentasi.

Hari ini, di kelompokku. Akulah yang membawa laptop berisikan powerpoint kelompok kami. Iya, makalah aku yang buat. Power point pun aku yang buat.

Bukan karena aku maruk. Namun, aku kepikiran jika harus memberikan orang lain tugas tersebut. Tidak, bukan mereka membuat hal yang buruk. Akan tetapi, lebih baik aku yang membuatnya.

Dosen perempuan bernama Lisa itu kemudian membuka kelas dan mempersilakan kelompok pertama untuk maju.

Agak lama kami menunggu kelompok pertama maju sehingga membuat Ibu Lisa yang sebelumnya sibuk menulis sesuatu di bukunya mengangkat wajahnya. Wanita paruh bayah dengan tubuh langsing itu langsung mengedarkan pandangannya. Namun sayang, tidak ada satu pun mahasiswanya yang berdiri.

Aku bahkan ikut memperhatikan dan memang tidak ada yang berdiri. Malah mahasiswa-mahasiswi yang ku ketahui sebagai kelompok satu terlihat saling berpandangan seakan ada sesuatu yang terjadi di kelompoknya.

"Mana ini kelompok satu, kenapa nggak ada yang maju," ucap Ibu Lisa dengan suara yang cukup nyaring.

Wanita yang menggunakan setelan kantor itu kemudian bangun dari duduknya dan melangkah ke tengah kelas. Tangannya dia lipat di depan dada seraya menatap mahasiswa-mahasiswinya dengan tatapan angkuh dan sedikit menyeramkan.

"Nggak ada kelompok satunya?" tanya Ibu Lisa lagi dengan nada berteriak.

"Oke, kalau nggak ada satupun anggota kelompok satu di kelas ini. Maka, kelompok satu saya diskualifikasi. Silakan kelompok dua untuk maju."

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang