Bab 69 - Ngulang -

3 0 0
                                    

Pagi-pagi sekali aku bergegas untuk pergi ke kampus karena aku memiliki jadwal ujian pagi ini. Sebenarnya aku kurang siap dalam ujian kali ini. Namun, aku tidak punya pilihan dan harus tetap menjalaninya.

Setelah sampai di kampus, aku segera masuk ke dalam kelasku dan mulai membaca catatan yang pernah kutulis sebelumnya. Beberapa rumus mulai kuhapal, mungkin mereka akan keluar di ujian nanti.

Ketika tengah asik belajar, tiba-tiba saja Dira datang dan tak lama kemudian Bora juga datang. Iya, mata kuliah ini adalah satu-satunya kami yang berbeda dengan teman-teman priaku. Hanya ada teman-teman wanitaku.

"Udah belajar?" tanya Dira sesaat setelah duduk tepat di sisiku.

Aku sengaja mengambil kursi paling depan agar tidak terganggu oleh teman-teman yang lain. Di mata kuliah ini, entah kenapa mahasiswa-mahasiswa selalu membuat kebisingan. Sebenarnya tidak masalah. Namun, karena ruangannya cukup kecil sehingga pembicaraan yang kecil pun terdengar cukup keras.

Tak lama kemudian, Pak Abdi datang untuk menjaga kelas kami. Beliau berarti tidak meminta penjaga dan memilih untuk menjaga kelas kami sendirian. Sebenarnya, aku agak ragu karena sebelumnya beliau seperti tidak dipedulikan oleh teman-teman sekelasku. Mungkin, karena beliau adalah dosen muda yang teman-teman sekelasku pikir jam terbangnya tidak cukup banyak.

"Silakan taruh tasnya di depan," perintah Pak Abdi yang langsung kami turuti. Setelah kembali duduk. Aku memberikan semangat pada Bora juga Dira dan mengajak kedua temanku itu untuk berdoa.

Setelah berdoa dan kelas menjadi lebih kondusif, Pak Abdi langsung membagikan lembar soal dan jawaban untuk ujian. Tidak pakai pikir lama, aku segera mengerjakan soal tersebut. Ya walaupun sedikit agak membingungkan, tapi aku yakin aku bisa mengerjakannya.

Satu persatu soal mulai kuisi dan tiba-tiba saja kelas menjadi sangat ramai dengan bisikan-bisikan yang tentu dapat Pak Abdi dengar. Aku mengomel di dalam hati karena teman-teman sekelasku semakin tidak kondusif. Jujur, aku tidak bisa berpikir sekarang sehingga berulang kali menutup telinga agar suara yang ada tidak menggangguku.

Tak lama kemudian, Pak Abdi terlihat murka dan meminta kami semua mengumpulkan lembar jawaban. Aku sangat terkejut dan bingung karena dosen tersebut terlihat begitu marah karena kelakuan teman-teman sekelasku.

Satu persatu lembar jawaban kami beliau ambil dan beberapa di antaranya langsung di robek saat itu juga oleh Pak Abdi. Beginilah jadinya, jika kami berurusan dengan dosen pendiam yang kami pikir tidak bisa marah.

Setelah mengambil semua lembar jawaban tersebut, Pak Abdi segera keluar dari kelas kami. Saat itu tiba-tiba saja terjadi perkelahian karena beberapa orang saling menyalahkan satu sama lain.

Aku mencoba melerai. Namun, Dira dan Bora menahanku. "Nggak usah diladenin, Dee. Ntar aku kasih tau Rai loh!" ancam Dira yang langsung membuatku mengurungkan niatku.

Kami bertiga kemudian berjalan ke kantin sembari menunggu kelas selanjutnya masuk, sekitar 30 menit lagi dan saat menunggu tiba-tiba saja ada sebuah pesan yang masuk di grup kelas sebelumnya. Iya, setiap kelas yang kami ambil akan kami buat grupnya untuk berbagi informasi.

Aku menghela nafas ketika membaca pesan yang dikirimkan oleh teman-teman sekelasku tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menghela nafas ketika membaca pesan yang dikirimkan oleh teman-teman sekelasku tadi. Hm, iya sebenarnya ketua kelas di mata kuliah tersebut adalah aku sehingga dapat kupastikan bahwa mereka kini menyuruhku untuk menemui Pak Abdi.

Dira yang duduk di sampingku langsung menyikut tubuhku. "Tuh, baca grup," ucap temanku itu tanpa melihat ke arahku padahal kini aku menatap ke arahnya.

"Udah baca kok, ya udah, aku ke ruangan Pak Abdi dulu ya. Kalian di sini aja, aku titip tas, okay."

"Iya, semangat!" seru Dira setelah aku sudah berjalan menjauhi mereka berdua yang kini harus menunggu teman-teman priaku datang.

Selama perjalanan menuju ruangan Pak Abdi, aku senantiasa berdoa dan memikirkan tentang ucapan yang perlu aku keluarkan nantinya. Setelah tepat berada di hadapan ruang Pak Abdi, aku mengatur nafasku agar tidak gugup.

"Ayo, bisa, Dee. Kamu pasti bisa," ucapku pada diriku sendiri dengan cukup pelan.

Aku mengetuk pintu ruangan itu beberapa kali dan kemudian masuk. Saat di dalam ruangan tersebut, aku melihat Pak Abdi yang duduk di kursinya. Ternyata tempat beliau berada di ujung ruangan. Memang, ruangan ini bukanlah ruangan khusus Pak Abdi sehingga ada banyak sekat di dalam sana.

Perlahan aku berjalan menuju meja Pak Abdi. Saat aku berdiri tepat di hadapan beliau, Pak Abdi mengangkat pandangan dan mata kami kemudian bertemu. "Maaf, Pak. Mengganggu waktunya."

Wajah Pak Abdi sangat datar sekarang sehingga membuatku susah untuk bernafas. Namun, beliau menyuruhku untuk duduk tepat di hadapannya.

"Silakan duduk," perintah Pak Abdi yang langsung kuturuti.

Beliau menatap wajahku cukup lama, kemudian menyadarkan tubuhnya di kursi. "Ada urusan apa?" tanya Pak Abdi yang langsung membuatku menjelaskan apa maksud kedatanganku menemui beliau.

Setelah cukup panjang kujelaskan pada Pak Abdi, wajah beliau berubah sedikit lebih baik dari sebelumnya. "Saya tau kok, di kelas kamu, nggak semua mahasiswanya yang seperti itu."

"Iya, Pak. Tapi, kami minta maaf sekali lagi," ucapku dengan penuh penyesalan.

"Nggak, nggak usah minta maaf, tapi saya mau teman-teman kamu yang saya robek kertasnya untuk datang ke ruangan saya. Maksimal sebelum liburan semester dan kalau lewat dari itu, tanggung saja sendiri akibatnya."

Aku mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari Pak Abdi. "Baik, Pak. Nanti saya sampaikan ke teman-teman saya ya, Pak. Makasih sebelumnya."

Aku bergegas keluar dari ruangan Pak Abdi dan kembali ke kantin. Ternyata teman-teman priaku sudah datang, begitupula dengan Rai. Pacarku itu sudah duduk rapi dengan wajah yang sedikit menakutkan.

Aku duduk tepat di sampingnya dan pacarku itu langsung memberiku beberapa pertanyaan. Aku menjawab dengan santai semua pertanyaan yang Rai berikan dan setelahnya wajah pacarku itu berubah lebih baik.

"Lagian, kenapa kamu jadi ketua kelas sih?" tanya Rai dengan nada suara yang terdengar kesal.

"Yah, gimana, nggak ada yang mau soalnya," jelasku pelan sembari mengetik pengumuman di grup mengenai ucapan Pak Abdi tadi.

Setelah selesai mengirim pesan, tiba-tiba saja Rai menarik ponselku dan membaca beberapa pesan yang masuk ke dalam ponsel tersebut. Tenang, tidak ada yang mencurigakan sehingga aku bisa dengan santainya memberi ponselku padanya.

Pesan yang kukirimkan ternyata juga masuk ke dalam ponsel Dira dan Bora. Kedua teman wanitaku itu kemudian mencercaku dengan beberapa pertanyaan.

Aku akhirnya menjelaskan sedetail mungkin tentang apa yang aku dan Pak Abdi bicarakan sebelumnya. Jelas terlihat bahwa kedua temanku itu bisa bernafas lega ketika aku mengatakan bahwa kami tidak akan terkena masalah yang ada.

"Alhamdulillah deh kalau gitu."

***

Yeay, update hihi.

Besok udah masuk bab 70 yeay.

***

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang