Bab 43 - Berakhir -

4 2 0
                                    

Sejak saat itu, sikap Rai berubah. Walau tidak signifikan, tetapi benar-benar terasa bagiku. Aku yang biasanya pergi ke kos Rai, akhirnya memutuskan untuk berhenti ke sana. Pria itu juga tidak menahanku dan meminta alasanku karena tidak pernah ke kosnya lagi.

Masuk bulan terakhir di semester tiga, aku merasa sedikit penat karena waktu tidurku yang agak berantakan. Minggu lalu, pamanku menikah sehingga aku harus membantu acara yang adik ibuku buat tersebut.

Aku tidak tinggal di rumah, melainkan di rumah nenek aku untuk memudahkanku membantu segalanya.

Kini, acara tersebut telah usai dan kedepannya aku bisa lebih banyak meluangkan waktu untuk istirahat.

Beberapa kali aku memijat keningku yang terasa sakit, di sisiku Dira ikut mengelus punggungku agar aku merasa nyaman.

Wajahku terangkat dan kemudian melempar senyum kecil pada temanku itu.

"Kamu yakin nggak papa?" tanya Dira dengan wajah khawatir.

"Nggak papa kok, kan tinggal satu mata kuliah lagi."

Memang benar bahwa setelah ini aku bisa pulang dengan nyaman walaupun penat di pundakku benar-benar mengganggu.

Tak lama kemudian dosen yang mengajar pun datang, beliau langsung melanjutkan materi minggu lalu tanpa basa basi.

Dengan sekuat tenaga aku memahami penjelasan dosenku tersebut, beliau juga menulis beberapa kalimat di papan tulis. Namun, mataku tidak dapat melihat dengan jelas.

Aku kemudian menoleh ke arah Dira yang tengah fokus menulis. "Dir, nanti aku salin tulisan kamu ya."

Dira mengangguk pelan dan aku kemudian kembali fokus mendengarkan.

Waktu berlalu cukup cepat sehingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Akhirnya aku bisa pulang, aku harus istirahat setelah ini karena semakin lama aku merasa badanku terasa lemah.

Aku beranjak dari tempat dudukku dengan pelan sembari berjalan keluar kelas.

Dira di sampingku dengan sigap memegangiku. "Kamu bareng Rai kan?" tanya Dira dengan wajah khawatir.

Wanita itu sangat tau bagaimana keadaanku kini.

"Enggak, aku bawa motor langsung ke sini, enggak singgah ke kos Rai," jelasku pelan yang berhasil membuat Dira bingung.

"Loh, kamu ada masalah sama Rai?".

Aku terdiam sesaat. Namun, kakiku tetap melangkah. Aku bingung harus menjawab apa, tetapi ketika aku melihat wajah khawatir Dira. Aku segera menceritakan semuanya.

Dira menghela nafasnya setelah mendengar ceritaku. Jujur, kini aku merasa bahwa hubunganku tengah digantung oleh Rai. Tidak jelas, antara masih pacaran atau malah sudah putus.

"Kenapa baru cerita sekarang sih?"

Aku tersenyum kecil agar Dira merasa baik. "Nggak papa kok, cuman masalah kecil."

"Iya, masalah kecil yang bisa buat semuanya hancur."

Ucapan tegas Dira itu berhasil membuatku tersenyum. Dira yang biasanya manis, sekarang berubah tegas juga dewasa menanggapi masalah hubunganku dengan Rai.

Tanpa aku dan Dira sadari, kami sudah sampai di parkiran. Aku pun naik ke atas motorku dan Dira segera berjalan menuju Deon yang juga sudah berada di atas motornya.

"Aku duluan ya, Dee," ucap Dira sembari melambaikan tangannya.

Aku tersenyum ke arah wanita itu, kemudian membalas lambaian tangannya.

Baru saja aku selesai memasang helm, tiba-tiba saja seseorang memegang lenganku. Dengan cepat aku menoleh pada orang tersebut. Aku cukup terkejut karena melihat wajah Rai yang terlihat khawatir tersebut.

"Dee," panggil Rai dengan suara pelan.

Aku menjauhkan tangan pria itu dan tanpa ku sadari aku menggigit bibir dalamku, mungkin karena kini aku tengah gugup.

"Dee, aku pengen ngomong sesuatu," ucap Rai lagi yang berhasil membuatku menatap wajah tampannya.

"Ngomong apa?"

Rai kemudian memperhatikan sekitar dan setelahnya kembali menatapku. "Kita ngomong di kos aku aja ya."

Pria itu memaksa untuk naik ke atas motorku. Bukan dibelakang melainkan di depan. Tubuhku pun bergeser seketika karena dorongan pria itu.

Aku terdiam tanpa berani berbicara. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk memperjelas hubungan kami.

Tidak memakan waktu lama, kami berdua akhirnya sampai di kos milik Rai. Dengan cepat, pria itu kemudian menarik tanganku untuk mengikutinya.

Sesampai di kamar Rai, aku duduk di atas kasur pria itu dan dia malah duduk di bawah. Kami duduk berdepanan dan mata Rai terus-terusan menatap mataku.

"Kamu mau ngomong apa? Ngomong aja, kamu mau putus?" tanyaku pelan yang berhasil membuat raut wajah Rai berubah.

Aku mengelus pundak pria itu, "Rai, aku tau kok hubungan kita nggak bakal bisa berakhir manis. Kalau mau di selesaikan sekarang, nggak papa kok."

Rai masih terdiam tanpa berani untuk membuka suaranya.

"Ya udah, kita putus ya. Semoga kamu bisa dapet yang lebih baik dari aku."

Setelah berucap seperti itu, aku berdiri dan Rai pun ikut berdiri. Pria itu menahan kepergianku dengan membuat tubuhnya sebagai tembok agar aku tidak bisa keluar kamarnya.

"Aku sebenernya nggak mau putus sama kamu, Dee, tapi ... ."

Dengan cepat aku menahan ucapan Rai. Ku letakan jari telunjukku di bibirnya agar dia tidak melanjutkan ucapannya. Aku tidak mau mendengar alasan kami putus karena nantinya aku malah terus kepikiran.

"Nggak papa kok, apa pun alasannya. Aku bakal hargai itu. Sekarang, aku mau pulang."

Iya, aku benar-benar ingin pulang sekarang. Tubuhku lelah dan kini hatiku ikut lelah menghadapi hubunganku yang karam ini.

Rai menatap mataku dengan dalam, "Boleh nggak, kamu nginep sehari di sini? Temenin aku, sehari aja."

Permintaan aneh yang dilayangkan Rai tersebut berhasil membuatku berpikir keras. Hubungan kami sudah berakhir. Namun, perasaanku tentu belum menghilang bahkan aku tak tau sampai kapan perasaan itu akan tetap ada.

"Rai, hubungan kita udah berakhir," tegasku yang berhasil membuat wajah pria itu berubah sendu.

Tatapannya kemudian beralih pada lantai marmer kamarnya yang berwarna putih itu.

Aku mengangkat wajah pria itu dengan pelan dan menatap matanya. "Kita masih bisa sahabatan kok."

Tiba-tiba saja, Rai membawaku ke dalam pelukannya. Pelukan hangat yang begitu erat tersebut berhasil membuatku sedih.

Tanganku bergerak membalas pelukan pria itu. Ku usap punggungnya dengan pelan agar Rai merasa baikan.

Rai melepaskan pelukan kami dan menatap dalam ke arah mataku. "Aku masih boleh hubungin kamu kan?" tanya Rai yang langsung ku balas dengan anggukan.

Ku lukis senyuman manis di wajahku agar pria itu tidak khawatir.

Rai kemudian mengelus kepalaku yang berbalut jilbab, "Aku sayang banget sama kamu, Dee."

Tidak, aku tidak membalas ucapan pria yang telah berganti status menjadi mantanku itu. Aku tidak mau menahan siapa saja untuk tinggal bersamaku jika memang dia memilih untuk pergi.

"Ya udah, aku balik ya," ucapku pelan sembari keluar dari kamar kos Rai.

Kini, pria itu tidak lagi menahan kepergianku. Dia hanya memperhatikan tubuhku yang lama kelamaan menghilang dari pandangannya.

***

Yeay, akhirnyaaaaa selesai jugaa.

Semoga suka ya.

Makasih.

***

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang