Bab 54 - Terbongkar -

6 2 0
                                    

Hubunganku dengan Rai membaik dengan sendirinya. Aku pun sudah menjelaskan bagaimana cemburunya aku saat melihat pacarku itu bersama dengan Ayu. Syukurnya, sekarang tengah libur kuliah sehingga aku tidak perlu melihat Ayu lagi.

Seperti libur semester ganjil biasanya, kami mendapat libur yang cukup panjang. Sekitar satu bulan. Aku dan teman-temanku akhirnya memutuskan untuk membuat jadwal liburan ke luar kota selama beberapa hari.

Takutnya, nanti saat kami sudah semester akhir. Kami tidak dapat melakukan perjalanan singkat ini.

Rencananya liburan itu akan kami laksanakan minggu depan dan syukurnya semua teman-temanku bisa ikut.

Kami pun pergi denyan formasi lengkap yaitu 7 orang dan aku juga mengajak Feni untuk ikut. Sahabatku itu tentu mau ikut karena dia juga tidak memiliki kegiatan apa-apa.

Rencananya kami akan pergi dengan dua mobil. Satu mobil akan di bawa oleh Sam dan mobil lainnya akan dibawa oleh Deon.

Kesibukan pun terlihat jelas di grup kami, karena aku mengirimkan daftar barang yang perlu teman-temanku bawa. Sebenarnya tidak masalah jika tidak bawa, tetapi kami harus membeli dengan uang saku yang kami bawa.

Alangkah lebih baiknya agar uang saku tersebut bisa kami gunakan dengan baik selama di sana.

Sekarang, aku berada di kamar kos Rai. Pacarku itu meminta aku untuk membantunya beberes dan menata baju-baju yang akan dia bawa liburan padahal sebenarnya aku pun belum melakukan hal itu.

"Yang ini bawa nggak?" tanya Rai sembari mengangkat jaketnya yang berwarna biru tua.

Aku memperhatikan jaket itu dan kemudian beralih pada baju-baju di hadapanku. "Pakai aja nanti pas pergi, nggak usah dimasukin ke koper," jelasku tanpa melihat ke arah pacarku itu.

Rai kemudian duduk di belakangku dan memelukku. Kepalanya bersandar di punggungku dan hal itu membuatku geli.

"Ih, apaan sih Rai," ocehku sembari menjauhkan diri dari pacarku itu.

Rai tertawa kecil sembari menyenderkan tubuhnya ke pinggiran kasur. Dia mulai membuka satu persatu pesan yang ada diponselku. Aku mengabaikan pacarku itu dan kemudian kembali sibuk dengan baju-baju yang kini sudah kumasukkan ke dalam koper.

Setelah selesai, aku menjauhkan koper itu. Menyandarkannya ke dinding agar tidak mengganggu.

Kulihat, Rai masih sibuk dengan ponselku dan aku ikut duduk di sisinya. Kulingkarkan tanganku di perut ratanya dan kusandarkan kepalaku di bahunya.

"Rai, si Ayu gimana ya sekarang?" tanyaku tiba-tiba yang membuat Rai langsung melihat ke arahku.

Tidak cukup lama dia melihat ke arahku karena kini, pria itu kembali sibuk dengan ponselku. "Kenapa tiba-tiba penasaran gitu?" tanya Rai singkat yang membuatku memperbaiki posisi dudukku agar berhadapan dengannya.

"Apa aku nggak keterlaluan ya kemarin?" tanyaku yang langsung membuat Rai mengangkat alis sebelah kirinya.

"Keterlaluan kenapa?"

"Yang waktu berantem itu," jelasku singkat. Aku memang sudah menceritakan semua pada Rai dan mulai saat itu aku berjanji untuk tidak menutupi apapun dari pacarku itu.

Rai berdecih pelan sembari meletakkan ponselku di atas kasur. Tangannya kemudian menangkup kedua pipiku sehingga pipiku terlihat semakin tembam. "Enggak lah, kamu wajar ngomong begitu."

Aku menghela nafas dan kemudian masuk ke dalam pelukan hangat pacarku itu. "Makasih ya, udah ngertiin aku."

***

Waktu liburan pun tiba, aku dan teman-temanku memutuskan untuk menunggu Sam juga Deon di rumah Dira. Halaman rumah temanku itu cukup luas sehingga akan lebih mudah untuk kedua mobil tersebut parkir.

Cukup lama kami menunggu Deon dan Sam datang sehingga aku memutuskan untuk menelpon Sam. Ternyata pria tambun itu masih mengisi bensi begitupula dengan Deon.

Aku langsung memberitahukan hal tersebut ke teman-temanku dan reaksi mereka sama yaitu kesal. Kenapa harus sekarang isi bensinnya padahal kita sudah ngumpulin duit dari jauh-jauh hari.

Karena belum ada tanda-tanda kehadiran Sam atau Deon. Aku pun memutuskan untuk pergi ke warung yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Dira. Aku ingin membeli minuman untuk diperjalanan nanti. Saat melihat-lihat. Tiba-tiba saja sebuah tepukan mendarat di bahuku.

Aku langsung menoleh dan melihat Rai sudah ada di sampingku sembari merangkul tubuhku. "Rai," sapaku pelan. Namun, pacarku itu malah mengabaikanku dan ikut melihat-lihat minuman yang ada di lemari pendingin tersebut.

Lemari itu kemudian dibuka oleh Rai dan dia langsung mengambil dua botol minuman dari sana. "Air mineral kan?" tanya Rai yang langsung kujawab dengan anggukan.

Pacarku itu tau jelas bahwa aku tidak terlalu macam-macam mengenai minuman atau makanan dan aku wajib untuk meminum air putih.

Sebelum membayar aku bertanya pada pemilik warung mengenai harga satu kardus air mineral gelas. Rencananya aku mau membeli air tersebut dan membawanya di mobil.

"Air mineralnya sekardus berapa, Pak?" tanyaku sembari menunjuk ke arah tumpukkan kardus air mineral.

"20, Mbak."

"Boleh deh, sama air mineral gelasnya dua kardus, Pak."

Setelah membayar, aku membawa salah satu kardus dan Rai membawa kardus yang lain. Saat kembali, ternyata Sam dan juga Deon sudah datang.

Aku kemudian memasukkan kardus tersebut ke dalam mobil Sam dan Rai memasukkan kardus yang dia bawa ke mobil Deon.

Kami pun langsung memasukkan barang-barang kami ke mobil masing-masing. Aku masuk di mobil Sam, bersama Rai dan Feni.

Di sisi lain, Dira, Bora dan Kavin masuk ke dalam mobil Deon. Setelahnya, kami pergi menuju tempat liburan yang harus memakan waktu tiga jam perjalanan.

Selama perjalanan, aku tidak bisa mengabaikan tatapanku ke Rai. Pacarku itu sebenarnya sedang tidak enak badan. Namun, dia tetap memaksa untuk ikut dan mengatakan bahwa dia tidak mau ditinggal olehku juga teman-teman kami.

Perjalanan yang panjang itu segaja kita jeda persatu jam, agar si pengemudi juga tidak kelelahan jika harus mengemudi tiga jam terus-menerus.

Saat satu jam pertama, kami singgah di sebuah warung untuk sarapan. Ada beberapa di antara kami yang belum sarapan sehingga kami menyuruh mereka untuk makan terlebih dahulu. Terutama Rai, pacarku. Pria itu mengatakan bahwa dia tidak lapar. Namun, tetap saja aku khawatir padanya. Apalagi dia tengah sakit.

Kami duduk lesehan di warung tersebut dan aku sengaja duduk di samping Rai. Kupegang tangannya untuk mengetahui apakah panas tubuhnya sudah turun. Syukurnya, tubuh pacarku itu sudah tidak sepanas sebelumnya.

Aku menatap ke arah Rai yang kini sibuk memainkan ponselnya. Pria itu menyenderkan tubuhnya dan menggenggam erat tanganku.

"Rai, mau teh anget?" tanyaku pelan. Rai akhirnya melihat ke arahku dan pria itu menggeleng pelan. "Ayolah, biar perut kamu anget. Kamu nggak mau makan, terus nggak mau minum juga. Terus, mau apa?"

Rai terdiam tanpa menjawab omelanku. Pria itu malah semakin mendekatkan dirinya ke badanku dan aku menjadi sedikit was-was karena takut teman-temanku menyadari hal itu.

"Rai, jangan deket-deket," omelku dengan pelan sembari memperhatikan sekitar.

Rai menarik tanganku dan mengaitkan tangannya. Matanya kemudian menutup dan membuatku semakin khawatir. Aku mengubah posisinya agar tidur di pangkuanku. Saat ini, aku tidak boleh memikirkan diriku sendiri. Tapi, aku harus juga memikirkan pacarku itu.

Biarlah semua terbongkar, lagipula mau sampai kapan begini terus.

***

Yeay, alhamdulillah udah sampe tahap ini.

Semoga suka ya.

Makasih.

***

Manis Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang