85

334 79 6
                                    

SEBUAH pistol berada di atas telapak tangan Mingyu yang gemetar. Rose mengambilnya dan memperhatikannya.

"Masih baru," ucapnya, merasakan tekstur dari permukaan pistol.

"Wah."

Sebuah suara datang dari ujung lorong. Akrab dengan suara itu, Rose langsung bersiap menembak ke arah lorong.

Mereka tercekat, di sana Red Lady berdiri dengan lengan terlipat.

"Kalian lumayan cepat ya?" ujarnya, nadanya seperti ia tengah tersenyum.

Kedua mata Rose membidiknya kuat dan posisinya masih sama. "Anda ... Pembunuh aktor itu! Semua saksi adalah pengabdi iblis itu kenapa mereka ke sini, tapi Anda bukan. Anda ke sini untuk balas dendam atas kematian anak Anda. Setelah dari toilet Anda masuk ke ruang persiapan, menyamar menjadi staf, lalu menuangkan bubuk itu. Karena itu pembunuhan pertama Anda, tangan Anda gemetar sampai mengotori nampan, tapi Anda mengelapnya cepat!"

Diam. Red Lady hanya diam di tempatnya dengan posisi yang sama. Jiho, Eunha, dan Mingyu berdiri di belakang Rose dan mencoba menerka apa yang akan terjadi.

Red Lady tertawa tertahan. "Kalian benar, aktor itu sudah membunuh anak saya, ia membakarnya bersama 86 orang lainnya. Saya kemari setelah penyelidikan dan perencanaan panjang. Namun, bagaimana ya mengatakannya ..." ia menurunkan kedua tangannya yang diletakkan di depan. "Tapi saya sama sekali tak terlibat dalam pembunuhan ini."

"Jangan bohong!" seru Rose, napasnya memburu. Jemarinya ingin sekali melepaskan satu peluru ke arah wanita itu.

"Memangnya kalian tahu anak itu bekerja di mana dulu? Dia bekerja di pabrik sianida, Sayang."

Keempatnya terkejut.

"Pabrik sianida?!" pekik Eunha. "Kalau gitu, harusnya dia akrab sama bau ..."

Red Lady membalas, "iya kan? Jelas-jelas dia bunuh diri. Bunuh diri ini sudah dia rencanakan. Ada yang membantunya, jelas, salah satunya si Topeng Gorila. Bukankah aneh jika orang kekar, kasar, dan menyukai kekerasan seperti dia membunuh orang dengan cara diberi sianida?"

"Maksudnya dia bohong?" tanya Jiho.

Red Lady menggeleng. "Bukan begitu, memang ditemukan bukti bahwa kedua orangtua si aktor menenggak racun, itu benar. Kemungkinan yang terjadi adalah pembunuhan itu bukan atas perencanaan si Topeng Gorila. Ada orang lain di baliknya, orang yang memulai semua ini. Sejak awal dia sudah melihat potensi si aktor, dan dia seperti sudah merencanakan akhir hidup anak itu."

"Apa itu ... Orang yang sama yang merawat si Aktor setelah kabur dari rumah?" tanya Rose.

"Harusnya," balas Red Lady.

"Kepala Amoret?" Tebak Rose, menelan ludah.

Red Lady berdeham sebentar, lalu berkata, "entahlah, kalian harus mengeceknya sendiri," ia merendahkn kepalanya sehingga matanya itu lebih fokus pada mereka. "Sekarang."

Rose menurunkan pistolnya, menoleh pada teman-temannya yang mengangguk setuju. Mereka kemudian berjalan cepat, melewati wanita yang tetap berdiri di lorong itu.

"Rose," panggil Red Lady, membuat Rose terhenti dan menoleh. "Tembak pelakunya."

Kedua bola mata gadis berambut blonde itu menatap sosok di belakangnya sebentar, kemudian kembali melihat pistol di tangannya. Rose kembali berjalan cepat bersama teman-temannya.

Perasaan gundah dan emosional itu ikut hilang seiring langkah mereka menjauhi klub tadi.

•••






WHITE APRIL • 97line Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang