106: THE DANCE PARTY - I

420 52 19
                                    

“Humanity can live without science, it can live without bread, but it cannot live without beauty. Without beauty, there would be nothing left to do in this life. Here the secret lies. Here lies the entire story.”
–Fyodor Dostoevsky

EUNHA terjaga. Jantungnya berdebar kencang dan napasnya sedikit berat, seolah ia hampir terjun ke jurang. Kesadarannya yang belum sempurna refleks mendorong wajahnya untuk menengok ke nakas di sebelahnya. Dengan menumpu sikunya, diambilnya segelas air dari meja itu dan diteguknya beberapa teguk.

Ia menghela napas, lalu mengelap bibirnya yang basah. Baru akan duduk sempurna, ia terhenti melihat sosok di samping ranjangnya. Tidak salah lagi, itu adalah Jungkook yang menyandarkan kepalanya di samping kasurnya dengan wajah menghadap belakang. Sepertinya ia tidur.
Eunha berhati-hati untuk duduk sempurna, dengan manik terus menyorot pemuda itu, memastikan gerakannya itu tak membuatnya bangun.

Sejak kapan dia di sini? Batin Eunha, lalu menengok jam dinding.

Pukul 4 sore.

Mata bulat gadis itu mengerjap-ngerjap pada detak jam dinding. Pikirannya masih berusaha menyesuaikan kenyataan. Jendela lebar yang tertutup tirai, cahaya sore terhalang olehnya. Biar begitu, menyisakan sebuah garis kuning panjang yang membentuk siku-siku di sebelah nakas. Pikirannya mulai mengingat-ingat apa yang dimimpikannya tadi.

Ketika gadis itu kembali memandang Jungkook, ia tercekat, melihat wajah pemuda itu sudah menghadapnya dengan mata terbuka lebar.

“Hhhh, Jungkook, lo bikin gue jantungan,” gerutu Eunha sembari meraba jantungnya.

Jungkook mengangkat kepalanya, dengan tanpa malu menunjukkan wajah bangun tidurnya yang kentara.

Ia menguap sebelum akhirnya berkata, “Lo nggak papa sekarang?”

Eunha mengangguk pelan, kedua tangannya diletakkan di sebelah badannya. “Gue pingsan lagi ya?”

Jungkook mengangguk, “Lo muntah darah.”

“Gue baik-baik aja sekarang,” Eunha mencoba untuk menepis rasa perhatian Jungkook, itu sedikit terdengar seperti belas kasihan, dan Eunha tak menyukainya.

“Lo harusnya masih harus istirahat, gue bakal paksa—“

“Nanti malam ada pesta kan?” potong Eunha, menatap Jungkook dengan serius, “pesta yang diomongin Miss Hani, gue bakal datang.”

Jungkook menghela napas kasar, menatap lurus mata gadis itu. Ketangguhan memancar dari matanya, Jungkook tahu ia tak akan bisa menghentikan gadis itu begitu ia memutuskan sesuatu.

Pada akhirnya ia pasrah dan mengangguk-angguk, “Tadi gue buka lemari… kayaknya semua anak dapat beberapa varian baju pesta.”

“Pesta di saat-saat kek gini… mereka ngerencanain apa sih?” gumam Eunha, matanya menatap ke depan dengan berbagai emosi, sementara kedua tangannya mengepal.

Menyadari itu, Jungkook bertanya, “Lo mimpi apa barusan?"

“Hah?”

“Lo barusan bangun, tapi kayak udah mikirin sesuatu. Cerita aja, gue nggak akan bilang siapa pun kalau itu bikin lo nggak nyaman,” jelas Jungkook.

Eunha menghela napas, kembali menatap pemuda itu. Sepasang mata itu menatapnya teduh, tatapannya seperti dapat dipercaya.
“Gue mimpiin Eunwoo.”

Air wajah Jungkook sedikit berubah, tetapi ia kembali memandang gadis itu serius, sebagai seorang pendengar yang menunggu jalannya cerita.

Eunha melanjutkan dengan suara pelan, “Waktu itu matahari hampir terbenam di sebuah hutan. Eunwoo berlari tanpa tujuan, wajahnya panik, gue rasa dia tersesat. Sampai akhirnya, dia nemu sebuah gubuk. Dia berdiri di depan gubuk itu, ngedeketin telinganya ke pintu. Ada suara-suara di dalamnya, ada banyak orang. Entah kenapa, walaupun gue nggak kenal suara-suara itu, tapi gue ngerasa yang ada di dalam gubuk itu kalian semua. Gue nggak ngerti, tapi tiba-tiba di situ posisinya gue lagi duduk di teras gubuk, natap Eunwoo. Gue ngomong ke dia, ‘Ayo masuk aja.’”

WHITE APRIL • 97line Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang