31

986 179 34
                                    

[5/5]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[5/5]


“HOSH, hosh ..”

Lorong gelap tak berujung dengan hanya diterangi redupnya lampu hijau. June menelan ludahnya, bawah matanya sedikit gelap, wajah dan bajunya penuh kusam. Ia sudah sangat tersengal-sengal. Sudah 12 buah catur, kurang empat lagi : bishop, rook, serta dua pion. Kebetulan ada jam dinding di sebelahnya, pukul 9.59 PM.

“Aishh …” ia berkecak pinggang. Mencari 16 anak catur jelas bukan perkara mudah di rumah megah, penuh lorong, banyak barang, serta gelap seperti ini. Belum lagi karena diburu waktu, membuat pencariannya tergesa-gesa sehingga kurang teliti.

Akhirnya, pukul 10 malam tepat.

Alis tebal June semakin mengerut. “Emangnya kenapa? Gue bakal mati?” cibirnya kesal.

Tepat setelah ia mengatakannya, tiba-tiba kakinya tertarik ke depan, membuat tulang ekor dan punggungnya menubruk keras lantai. June tak sempat mengumpat, kakinya kemudian tertarik ke depan, melintasi lorong.

“Whoa .. whoa …” June berusaha untuk tidak panik.

Setelah melewati dua belokan, matanya melebar saat memasuki ruang papan catur. Bukan hanya prajurit-prajurit putih yang berdiri, pasukan hitam pun sudah lengkap di sana dengan saling berhadapan.

June sedikit ngeri tapi juga kebingungan. Ia terus ditarik hingga berhenti di dekat meja pasukan putih dengan papan catur di atasnya.
Begitu tarikan pada kakinya berhenti, June cepat-cepat bangkit dan menatap semua pasukan catur yang hanya berdiri diam.

Tangannya saling bertaut. “Oke …”
Tiba-tiba terdengar suara api menyala, membuat June memekik kaget. Entah sejak kapan ada di sana, lima api menyala di setiap garis pinggir ruangan, membuat ruang tersebut serasa lebih hidup.

June mengernyit, ia menghadap ke depan dan jantungnya hampir copot karena melihat seseorang bertopeng kelinci duduk di meja seberangnya dengan membungkuk. Ia mengenakan jubah dengan penutup kepala hitam, lalu tangan kanannya yang kurus seperti ranting dan berkuku tajam itu menengadah ke arahnya.

“Silakan duduk.” Suara yang tidak jelas identitasnya pria atau wanita, serak, dan membuat June merinding.

Ia menurutinya saja dengan duduk di atas kursi yang mengeluarkan bunyi decitan kecil. Matanya menatap orang bertopeng kelinci di depannya, karena ia merasa orang itu terus memperhatikannya.

Kemudian orang itu menggerakkan lengannya ke depan, menunjukkan kepalan tangannya. June bingung.

“Suit.”

“Eh?”

“1, 2, 3.”

June cepat-cepat mengajukan kepalan tangannya juga.

“Gunting, batu, kertas!”

Orang itu mengajukan kertas, June mengajukan batu. June menang.

“Oke, mulailah,” kata orang itu, menautkan kedua tangannya di atas meja.

WHITE APRIL • 97line Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang