EUNWOO mati. Manusia sarkas itu kini menjadi mayat.
Mingyu tak dapat mengalihkan atensinya dari pemuda itu, bahkan ketika para penjaga mulai menyeruak masuk dan menyeret mereka, termasuk dirinya, untuk meninggalkan ruangan.
Padahal Eunwoo begitu cerdas, pergerakannya tak tertebak, bisa menembak temannya sendiri, tampak tak punya hati, masa lalunya menyedihan, tampak tak punya kelemahan, tampak tak bisa mati …
Akan tetapi, nyatanya kali ini dia benar-benar mati. Pada akhirnya, semua hal yang membuatnya berdiri kokoh selama ini berakhir begitu saja.
“Jangan merepotkan!” sang penjaga mendorong Mingyu pada Jaehyun yang langsung dicengkramnya. “Ajari temanmu itu! Lain kali jarinya bisa hilang!” teriak pria dengan telunjuk mengarah pada Mingyu yang setengah sadar.
Jaehyun mengangguk, setengah menunduk hormat. Penjaga itu kemudian mengisyaratkan teman-temannya untuk meninggalkan kelima anak itu di dekat tangga.
“Lo nggak papa?” tanya Jaehyun kecil, membantu Mingyu untuk duduk di anak tangga.
Getaran syok masih menyelubungi Mingyu sehingga tatapannya tak bisa membalas sang lawan bicara. “Teman kita mati, Jaehyun. Lagi.”
Jaehyun menelan ludah. Eunwoo benar-benar meninggal?
Rasanya semuanya terjadi begitu cepat dan mengejutkan baginya hingga emosinya masih memproses apa yang terjadi. Perasaan muak, tertantang, dan penasaran meletup-letup dalam selang-selang darahnya.
“Guys!”
Seruan Jiho membuat anak-anak tanpa penjaga itu refleks menoleh. Gadis itu menuruni tangga dengan cepat.
“Sorry gue telat, tadi waktu pengumuman gue tegang banget jadi berusaha nenangin diri pake siulan. Gue dengar UKS mau disterilisasi ya? Itu maksudnya apa? Eunwoo mau dipindah?” tanyanya dengan ekspresi setengah bingung.
Tak ada yang mampu menjawab hal itu. Bukan hanya tak mampu, tetapi tak ingin.
Jiho mulai merasa ganjil. “Kenapa … Kalian diam?”
Melihat Jiho berdiri dengan wajah tak tahu apa-apanya itu membuat Rose langsung berhambur memeluknya.
Rose tak mengatakan apa pun, tetapi Jiho merasa gadis itu seperti ingin menangis. Mata Jiho berpindah ke arah teman-temannya satu persatu. Mina yang menundukkan pandangannya begitu bertemu dengan maniknya, Jungkook yang duduk melipat lututnya frustasi, Mingyu yang syok, dan Jaehyun yang menatapnya.
Dilihatnya kain putih yang melapisi pemuda itu bernoda titik-titik merah.
Menyadari apa yang terjadi, Jiho membalas pelukan Rose dengan erat sembari memejamkan matanya.
Kematian sudah terlalu mengerikan untuk dibayangkan hingga ia tak perlu memikirkan penyebabnya.
Hal yang lebih menakutkan lagi adalah fakta bahwa tiga orang yang telah mati itu merupakan teman-teman kelompoknya saat pertama kali terbangun di pulau ini.“Ini … Tempat gue pertama kalinya liat Eunwoo,” ucap Mina pelan, menatap lorong.
Semua anak mengikuti tatapan Mina, terlebih Rose dan Jaehyun yang seperti memutar ulang sebuah klip dan film. Benar, di samping tangga ini adalah kali pertama mereka berjumpa dengan sosok pemegang lentera bermata tajam itu.
“Gue Eunwoo, kalian siapa?”
Sejak awal, bocah itu sudah menunjukkan esensinya sebagai pribadi yang tak kenal takut atau bisa diinjak dengan mudah.
Kemunculan sosoknya itu yang membuat Jaehyun semakin menegaskan dirinya untuk waspada terhadap tempat ini dan segala hal di dalamnya.
Eunwoo mungkin kasar, tetapi tetap saja dia adalah korban yang sama seperti mereka, dan bernasib korban membuat mereka secara alami bersimpati satu sama lain.
Jungkook tiba-tiba tersadar, lalu menoleh pada para gadis. “Eunha mana?”
Mereka semua terkejut, lalu Rose adalah yang pertama berlari menaiki tanggga diikuti yang lainnya, kecuali Mingyu dan Mina.
“Plis, jangan ada apa-apa,” cicit Jiho sambil berlari. tak bisa menghilangkan kegelisahannya.
Mereka berlari ke lorong Aphrodite dan mendorong pintu kamar Eunha … yang tak dikunci.
Kosong. Tak ada Eunha di sana. Foto dan kertas berserakan di lantai. Jendela yang terbuka lebar membuat angin menebarnya.
Jaehyun melongokkan kepalanya ke luar jendela, mencari petunjuk dari pepohonan lebat yang seolah memunggunginya.
“Eunha?!” pekik Jungkook dengan mata membulat ke seluruh ruangan.
Jiho memeriksa kolong kasur.
“Guys,” panggil Rose pelan, mematung menghadap pintu kamar yang terbuka.
Jungkook, Jaehyun, dan Jiho setengah mematung ketika menghadap pintu. Lebih tepatnya, mereka menghadap kamar Tulipa yang pintunya terbuka lebar di seberang kamar. Di jendela, seorang gadis bertopeng berjongkok dengan wajah menghadap ke samping kasur. Rambutnya yang panjang dan awut-awutan itu diterpa angin lembut.
“Siapa lo?!” seru Jaehyun tegas.
Gadis itu menoleh ke arah mereka. Mata berurat merah itu menusuk pandangan ketiganya. Ia sepertinya begitu terkejut sehingga cepat-cepat melompat ke luar.Jaehyun refleks berlari ke arahnya, ke jendela. Dilihatnya gadis itu berlari cepat di halaman, melompati pagar, lalu menghilang ke dalam hutan.
“Dia lompat,” desisnya merasa aneh.
“Eunha! Lo nggak papa?”
Suara Rose tepat di belakangnya itu membuatnya menoleh.
Rupanya Eunha sejak tadi duduk memeluk lutut dengan kepala tertunduk menatap lebar ke lantai, seperti baru saja menyadari sesuatu yang begitu mengerikan tetapi tak dapat dielak.
Rose, Jiho, dan Jungkook terus menanyai Eunha, tetapi gadis itu hanya diam.
Jaehyun berjongkok di depannya, menatapnya.
Dia kemudian berkata dengan pelan, “hei, dia ngasih tau apa ke lo?”
Barulah saat itu Eunha mengangkat kepalanya yang tertunduk, melihat ke arah Jaehyun. Dia berhenti sebentar seperti tengah menyusun kata-kata yang tepat, lalu berkata dengan wajah yakin, “sampai jumpa di game, have a long life, fellas.”
“Itu aja?” tanya Jaehyun tak puas.
“Maksud lo apa itu aja?” Jiho balik bertanya, lalu menatap Eunha, “game selanjutnya kita bakal berhadapan sama anak-anak itu kan?”
Eunha mengganguk-angguk, ketegangan di wajahnya mulai surut. Ia kemudian menunjuk baju Jaehyun yang bercipratan darah.
“Itu … Tinta kan?”Jiho dan Jaehyun saling menoleh. Mau berkali-kali diucapkan pun sepertinya tak akan mengurangi kengerian jawaban tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHITE APRIL • 97line
Mistério / SuspenseSepuluh anak terbangun di pulau entah berantah dalam keadaan lupa ingatan. non-baku ©kuronekoya, 2021