TADINYA tempat itu dipenuhi warna-warni cerah musim panas, kini hanya abu-abu dan suhu dingin yang mengisi tempat itu. Roda kereta yang bergesekan dengan rel seperti orang sakit tenggorokan yang berbicara, sementara bunyi peluitnya seperti remaja yang mengucap serapah. Lampu kuning kereta menjadi satu-satunya sumber cahaya terang yang menerobos kabut tipis tempat itu.
Suara peluit itu, tanda kereta akan berhenti beberapa meter lagi. Namun, Rose masih menyandarkan dirinya di tumpukan peti kayu dengan kepala yang sedikit membentur dinding kereta. Matanya mungkin akan terus menatap tanah tak berpenghuni itu kalau bukan karena Jaehyun mengetuk sikunya.
Gadis berambut ungu itu menoleh.
Ia baru menyadari cokelat rambut Jaehyun yang terlihat lebih gelap itu tampak anggun di suasana kelabu dan lembab seperti ini. Obsidiannya yang bening meratap teduh, seperti laut hitam yang menyimpan banyak misteri yang tak akan terungkap. Rahang tegas dan hidung mancung yang bersanding dengan kulit putihnya itu menyempurnakan wajahnya. Rose seperti tengah berhadapan dengan sebuah karya seni Renaisans.
“Kenapa lo natap gue kayak gitu?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
Jaehyun mengedipkan matanya. “Ah nggak, sejak tadi lo ngelamun,” ujarnya diakhiri senyuman kecil.
Rose hanya diam seperti sebelumnya, masih menatap Jaehyun yang memandang ke luar. Mingyu nggak ngomong apa-apa kan ya?
Bayangan dirinya dan Jiho yang bertengkar di meja makan hotel itu melintas.
“Mina berani juga,” ucap Jaehyun yang belum mengalihkan pandangannya dari pintu, “Nersin X itu orang penting, dia mau bunuh diri.”
Kesadaran Rose kembali terfokus pada keadaan mereka saat ini, bayangan tentang Mina membuatnya tak tahan untuk mengeluarkan segala keresahannya akan gadis itu.
“Jujur aja, sampai sekarang gue nggak paham jalan pikirnya dia gimana. Bukannya gue merendahkan ya, tapi kok bisa ya ada cewek kek gitu? Kok bisa ya sedingin itu? June mungkin kayak orang mau marah-marah, oke, seengaknya dia udah ngasih warning, Jungkook kayak ga punya semangat idup, oke, seenggaknya dia jujur. Tapi Mina ini lho, sejak awal cara dia ngeliat kita atau sesuatu itu selalu tajam, gue curiga apa dia ga nganggap kita temannya? Kalau dia aslinya mau menang sendiri?” omel Rose, walau berusaha mengendalikan tinggi nada bicaranya, tetap saja terlihat ia sedang kesal.
Ia sendiri menyesal sudah mengomel tentang Mina, syukurnya yang ia hadapi saat ini Jaehyun, jadi dia merasa tenang. Atau mungkin karena itu Jaehyun, dia jadi terdorong untuk membicarakannya?
Jaehyun sedikit terkejut dengan celoteh Rose, tetapi ia berusaha menetralkan pikirannya. “Kita nggak tahu apa-apa. Chaeyeon yang bak putri dongeng itu aja ternyata punya masalah kejiwaan. Mungkin Mina agak nyebelin tapi siapa yang tau kan kalau ternyata doi orang yang paling ambis buat nyelamatin kita semua? Makanya dia keliatan selalu mantau semua orang, nggak nyaman sih kalau lo sadar, tapi dia cuma mau memahami setiap orang.”
“Nggak tau sih.. bisa jadi…” balas Rose, selalu saja merasa tak bisa membalas jika Jaehyun yang berargumen.
“Fokus ke permainan Rose, jangan biarin perasaan lo jadi beban,” ucap Jaehyun.
“Iya,” balas Rose.
Yah gue tau, aware sama teman kan juga penting, batinnya.
Kereta hampir berhenti. Mereka melongokkan kepala ke luar, melihat sebuah papan jalan berwarna hijau.
Kereta berhenti, lampunya mati. Itu bahkan bukan stasiun, mereka berada di tempat kosong di mana hanya ada tanah lembab dengan rerumputan kecil yang membentang. Tempat itu seperti tempat yang seringkali dinarasikan sebagai dunia perantara menuju akhirat.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHITE APRIL • 97line
Misterio / SuspensoSepuluh anak terbangun di pulau entah berantah dalam keadaan lupa ingatan. non-baku ©kuronekoya, 2021