100

332 70 4
                                    

LAUT bergulung-gulung, lidahnya yang menjulur itu menjilati kaki-kaki yang memijak di sana. Airnya cukup segar untuk meredam pancaran panas matahari hari itu. Ada yang membalasnya dengan menciprati temannya, ada pula yang memilih untuk menjauhi bibir pantai.

Permainan bola voli, istana pasir dan anak-anak berwajah cerah, payung-payung warna warni berdiri bagai lollipop dengan beberapa manusia yang berbaring seperti ikan asin. Minuman-minuman dingin pun tampak berkilauan.

Pemandangan itu sejenak menipu perasaan mereka yang kalut. Namun, tetap saja, tak beda jauh dengan ruang serba putih tadi, pemandangan musim panas ini tak beda jauh memberi efek mati rasa bagi jiwa mereka.

Jaehyun menoleh ke seberang pantai, ada beberapa toko kecil dan teras di sana. Aroma masakan tercium, beberapa orang dengan pakaian lusuh sibuk dengan kegiatannya masing-masing.  Namun, tak ada raut kebahagiaan sedikit pun dari wajah mereka.

Di belakang toko-toko dataran miring ke atas dengan semak-semak liar yang tersebar di sekitarnya. Jika diperhatikan baik-baik rupanya ada rel kereta di sana. 

Melihat jalur rel kereta yang memanjang dengan pohon-pohon hijau di sebelahnya itu membuat Rose membayangkan betapa indahnya jika melihat pemandangan pantai dari balik kaca kereta. 

“Sepi juga ya,” ujar Mina di samping Rose, membuat Rose sedikit terkejut.

“I-iya,” Rose memperhatikan seorang wanita paruh baya yang mengipas dua ikan yang tengah dibakar dengan tatapan kosong. 

Jaehyun menghadap ke arah sebuah pohon besar. Pohon itu menaungi seorang gadis yang duduk sendiri di atas sebuah kursi kayu, kuasnya itu menari-nari di atas kanvas. Di dekatnya terdampar sejumlah perahu yang diikat. 

Penampakannya yang gelap itu membuatnya seolah berasal dari dunia yang berbeda dari orang-orang pantai yang bermandikan cahaya.

“Keliatannya itu petunjuk kita,” ujar Jaehyun yang berjalan ke sana, diikuti Rose dan Mina.

Perubahannya memang tidak drastis, tetapi bayangan dari rimbunnya pohon itu sedikit memberikan rasa nyaman akan keredupan. Otot mata mereka terasa lebih rileks, walau tetap saja itu tak membuat mereka sepenuhnya tenang.

Ketiganya berdiri di samping gadis itu, sejenak memperhatikan lukisan pantai yang ia buat. Pemandangan pantai itu diambil dari sudut rel kereta api yang mengarah ke pantai, sehingga mereka dapat melihat atap-atap toko dan warna warni payung beserta orang-orangnya.

Mina menoleh ke arah pantai tempat orang-orang itu bersenang-senang, lalu kembali menatap lukisan gadis itu.

“Posisi payungnya sama persis, semak-semaknya juga, padahal kamu ngelukis di sini,” ucap Mina.

Rambut gadis itu hitam legam sepinggang, poni hampir menutup matanya. Dari samping, mereka dapat melihat datarnya tatapan gadis itu, lebih tepatnya, seperti telah tenggelam dalam lukisannya.

Gadis itu berkata dengan suara lembut, “Aku nggak melihat pemandangannya secara langsung, aku mengingatnya.”

Rose tersenyum pelan, “Gitu ya… kamu punya ingatan visual yang bagus.”

Gadis itu tersenyum, tangannya tetap menggerakkan kuas. Ia mencolek cat hitam, lalu melukiskannya di antara payung warna warni, sebuah titik yang dimaksudkan untuk sesuatu.

Jaehyun mengernyit, lalu menoleh ke belakang. Di atas pasir dengan langit biru cerah itu, seorang pria berjas hitam dan bertopeng gagak berdiri menghadap mereka. Ketiganya langsung menghadapnya dengan tatapan bertanya-tanya.

“Nersin X,” desis Rose dengan mata melebar.

Mina menyorot pria itu dengan penuh kebencian, tangannya terkepal kuat. Saat kakinya itu hampir melangkah, pria itu menunjukkan telapak tangannya sebagai tanda berhenti.

WHITE APRIL • 97line Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang