KALI ini ruang tunggu. Ketujuh anak itu duduk melingkari sebuah meja kayu. Di meja-meja lain, lebih banyak pengunjung berkumpul tak berhenti berbicara.
"Keracunan ya," Rose menggigit ujung bibirnya.
"Gue denger-denger katanya sianida bubuk," tambah Eunha.
"Tapi yang meranin kakak itu ga mati juga," kata Mingyu merasa aneh.
"Kalau gitu racunnya ada di dalam gelas," tukas Mina.
Ia membayangkan bubuk itu sudah di dalam gelas, dan ketika si tokoh Adik menuangkan teh itu untuknya, racun itu bercampur dengan air teh.
"Tapi harusnya dia liat kan kalau ada bubuk asing di dalamnya? Dari kecepatannya mati pasti racunnya lumayan banyak," bantah Mingyu lagi.
Rose dan Eunha saling menoleh, mereka tidak begitu memperhatikan drama itu secara detil.
Jiho memegang dagunya, menunjukkan ia tengah berpikir. "Bener, harusnya dia liat. Tapi yang gue perhatikan detil dari orang itu ... Aktingnya benar-benar gila, dia menjiwai karakternya. Normalnya waktu kita liat ada sesuatu yang gak biasa, mata kita bakal membesar atau agak gerak kan? Tapi orang itu benar-benar serius, waktu dia buka tutup gelas matanya lagi ada di dalam cerita."
"Jadi maksud lo dia liat racun itu tapi tetap diminum demi profesionalisme?" tanya Jaehyun.
Jiho mengangguk. "Dia mungkin ga mikir, atau berusaha ga mikir itu racun."
"But it is," sambung Rose, Jiho menelan ludah.
Mata Jungkook mengarah ke depan. "Nah, datang juga."
Semua anak menoleh ke arah tatapan Jungkook. Seorang pelayan dengan topeng senyum berjalan dengan tenang seperti biasa ke arah mereka, dia adalah si Asisten.
"Halo semuanya, saya diminta atasan untuk mengantar kalian ke suatu tempat," ucapnya.
Ketujuh anak itu sempat menoleh satu sama lain, lalu akhirnya berdiri. Asisten mengisyaratkan mereka untuk mengikutinya, dan lagi-lagi mereka berjalan seperti anak bebek.
Mingyu berjalan melewati sejumlah pria yang sedang berbicara, dengan jelas telinganya menangkap perkataan itu.
"Anak-anak itu benar-benar bodoh."
Mingyu menoleh ke belakang, ke arah pria-pria yang tengah tertawa itu dengan mengernyit.
Fokus Mingyu, fokus.
Kedelapan orang itu menaiki lift ke lantai 7, lalu berjalan ke sebuah ruangan yang digunakan untuk pertemuan.
Di dalamnya, sudah ada sejumlah orang, termasuk moderator acara dan pemeran tokoh Kakak.
Rose melebarkan matanya.
Melihat kedatangan tujuh anak itu, si moderator menyambut mereka.
"Ah, para pahlawan, tiba juga kalian. Pertama izinkan saya mengenalkan diri, saya adalah kepala Amoret Hotel. Maksud saya untuk mengundang Anda sekalian kemari adalah tentu saja, mengungkap apa yang sebenarnya terjadi," ucapnya, cara bicaranya seperti seorang yang biasa membaca puisi.
Anak-anak itu memandang satu persatu orang "asing" di sana. Pertama, si aktor Kakak yang kali ini mengenakan jaket, tetapi masih menunjukkan bentuk lengannya yang besar. Berkebalikan dengan tubuh kekarnya, ia duduk memegang secangkir teh panas. Kejadian tadi pasti sangat mengerikan baginya, terlebih dia benar-benar berada di hadapan orang malang itu. Hanya saja, ia masih bisa meneguk teh.
"Kematiannya sangat disayangkan ya, padahal tak banyak usia 25 yang bisa berperan sebaik itu, apalagi memiliki aura "Amoret" yang kuat," ujar Kepala Amoret, seperti berpuisi alih-alih berduka.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHITE APRIL • 97line
Mistério / SuspenseSepuluh anak terbangun di pulau entah berantah dalam keadaan lupa ingatan. non-baku ©kuronekoya, 2021