.
.
."Jika apa yang terjadi pada sang adik adalah kesalahan dan tanggung jawab sang kakak, maka saat keadaan itu dialami sang kakak siapa yang bisa disalahkan?"
– Kavi –
.
.
.Plak
Plak
Kavi yang baru saja memasuki rumah hanya bisa terpaku saat pipinya lagi-lagi mendapatkan tamparan dari sang ibu.
Pemuda bersurai biru itu diam, menatap lekat pada ibu nya yang berada tepat di depannya, juga sang ayah sayang berdiri di belakang sang ibu.
"Darimana saja kamu?!" Kavi terdiam, sama sekali tidak memiliki niat untuk menjawab, karena menurutnya percuma, kedua orang tuanya tidak pernah menganggap suaranya.
"Harusnya kamu jagain adik kamu, bukannya keluyuran gak jelas kayak sekarang!!"
"Lihat adik kamu jadi luka-luka karena bertengkar dengan temannya, bukankah sudah mama bilang buat jagain Bian! Seharusnya kamu ada disamping dia terus!!" Kavi menghela nafas panjang.
"Bian yang bertengkar terus Kavi yang salah lagi gitu ma?"
Plak
Sebuah tamparan kembali melayang ke pipi nya saat Kavi membuka suara, namun kali ini dari sang ayah.
"Mau sampai kapan sih?" Kavi menatap kedua orang tuanya sendu.
"Mau sampai kapan kalian terus manjain Bian? Dia udah gede, udah SMA dan gak tiap hari Kavi ada sama dia. Kavi udah kuliah kalau mama sama papa lupa, Kavi udah gak satu sekolah sama Bian!"
Deg
Kedua orang tua Kavi mematung saat mendengar kalimat panjang Kavi, mungkin mereka terkejut karena ini pertama kalinya putra sulung mereka mengatakan kalimat yang panjang.
"Kavi bahkan dulu harus rela tinggal kelas setahun karena permintaan mama, supaya Bian ada yang jaga. Bian laki-laki, dan sudah seharusnya dia mandiri."
"Kapan mama sama papa bisa ngertiin Kavi? Di mata kalian selalu saja Bian, Bian, Bian! Kavi ini anak kalian bukan sih? Kavi juga pingin di perhatikan seperti mama perhatian ke Bian, Kavi juga mau papa ajak ngobrol sambil bercanda kayak Bian! Bukan jadi samsak hidup kalian!"
"Dari dulu papa sama mama selalu minta Kavi jadi dewasa, Kavi gak boleh nangis, Kavi gak boleh nakal, Kavi gak boleh ngeluh, Kavi harus jadi contoh yang baik buat Bian. Kavi harus bisa jagain Bian, Kavi harus mastiin Bian gak luka atau sedih. Tapi apa mama sama papa pernah mikirin gimana perasaan Kavi?" Kavi menatap kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca.
"Kalian bahkan gak peduli kalau Kavi sakit, kalian gak peduli apapun yang Kavi alami selama ini, karena yang ada di pikiran mama sama papa itu cuma Bian!!"
"Kalau Bian bisa mengeluh, bersandar dan mengandalkan Kavi atau mama sama papa, terus Kavi bisa mengandalkan siapa? Kalau mama sama papa aja gak pernah nengok dan ngeliat ke arah Kavi."
"Kavi capek ma, pa, bukan mau Kavi lahir sebagai sulung, kalau tau Kavi harus lahir dan tumbuh di keluarga seperti ini Kavi akan memilih gak pernah lahir!" Kavi tidak lagi peduli saat sang ibu meneteskan air matanya, atau sang ayah yang terdiam sambil menatapnya.
"Mama sama papa bahkan pernah mengatakan lebih baik Kavi tidak ada bukan? Orang tua mana yang mengatakan hal seperti itu tentang anak nya dengan mudah? Kalau memang ada kehidupan selanjutnya, Kavi harap Kavi tidak pernah lahir di keluarga ini. Kavi tidak mau mengulang menjadi anak mama sama papa!" Setelah mengatakan itu Kavi berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan rumah tempat dia di besarkan dengan motor sport hitamnya.
"KAVI, MAAFKAN MAMA!"
*****
"Mau turun?" Kavi mengangguk saat Leo, salah sorang temannya menawarinya untuk ikut balapan.
"Lo yakin Kav?" Kavi hanya menatap datar, pemuda itu sudah akan menyalakan motornya sebelum tangan Leo menahan nya.
"Kav, gue tau pikiran lo lagi berantakan, tapi gue mohon tetap hati-hati, lawan lo kali ini Beni, lo tau sendiri gimana dia." Kavi hanya berdehem sebelum menyalakan motornya.
"Besok jangan lupa ambil amplop di loker gue di cafe, itu buat lo." Leo mengernyit saat mendengar seruan terakhir Kavi sebelum pemuda itu melajukan motornya ke garis start.
"Kali ini lo bakal kalah Kav, gue bakal pastiin itu!" Kavi hanya menatap datar pada Beni yang ada di sebelahnya.
"Selamat kalau gitu." Beni melirik sinis pada Kavi.
Seorang gadis maju kedepan garis dengan membawa sebuah kain, sebagai penanda jika balapan mereka akan segera dimulai.
"Satu!"
"Dua!"
"Tiga!"
"Go!!"
Motor Kavi dan Beni melaju kencang, keduanya saling mendahului karena tidak ingin kalah. Namun sepertinya Kavi tidak menyadari jika Beni sudah merencanakan sesuatu untuk berbuat curang, saat berada di tikungan sebelum garis finis Beni sengaja memepet motor Kavi dan menendang body motor hitam milik pemuda itu.
Kavi yang terkejut tidak bisa mengendalikan motornya dan berakhir jatuh hingga tubuhnya terseret motornya sendiri, tubuh Kavi terseret beberapa meter sebelum akhirnya berhenti setelah motor hitam itu menabrak trotoar.
Kavi terbatuk beberapa kali, tubuhnya terasa remuk saat ini, nafasnya semakin lama semakin tersendat. Kavi tersenyum tipis keinginan nya untuk meninggalkan keluarga ternyata dikabulkan lebih cepat oleh tuhan, pemuda itu tersenyum tipis saat melihat kilasan kehidupannya yang selalu menjadi penjaga untuk sang adik tanpa di anggap atau diapresiasi sama sekali oleh kedua orang tuanya.
"Tuhan, jika memang ada kehidupan lain, tolong jangan biarkan aku lahir di keluarga seperti keluarga ku ini, aku ingin merasakan pelukan seorang ibu dan tepukan bangga seorang ayah."
Kavi memejamkan matanya setelah memanjatkan doa terakhirnya, rasa sakit mengambil alih kesadarannya. Pemuda tampan bersurai biru itu menghembuskan nafas terakhirnya tepat saat teman-teman nya berlari menghampirinya.
*****
Tbc
*****
Selamat sore...
Aku lagi-lagi up book baru nih...
Kali ini request dari pyeongsam_ie
Semoga book ini sesuai sama keinginan kamu ya...Selamat membaca dan semoga suka
See ya
–Moon–
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Hoshi
FanfictionKavi Aland Daran, seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun harus meregang nyawa karena kecelakaan saat sedang melakukan balap liar. Namun bukannya beristirahat dengan tenang, Kavi justru terbangun di tubuh seorang remaja berusia tujuh belas tahun...