"Pak buk...." Aida masih mengetok.
"Hei apa yang Kamu la....?" berbarengan dengan pintu terbuka.
"Heuuuu... heuuuuu..." Reiko diam melihat tangisan Aida pecah.
"Kenapa lama banget sih, Pak? Bapak ngerjain Saya bukan? Sengaja mau bunuh Saya?"
Aida yang menangis sudah tak sabaran, dan tentu saja menarik perhatian Reiko.
Dirinya sudah ketakutan setengah mati. Makanya Aida sudah menunjukkan emosi yang tak bisa dibendung.
"Ya ampun, tadi kan Aku sudah bilang, kalau Aku mulas, jadi Aku gak langsung ke kamarmu. Aku hampir setengah jam tadi di toilet. Baru Aku turun ke kamarmu."
"Heuuuheuuuuu!" Aida tak peduli karena Dia masih ketakutan dan masih belum mau untuk berhenti menangis.
"Fuuuh, sini!"
"Lepasin Pak."
Aida berusaha melepaskan tangan Reiko yang ingin memeluknya. Aida masih sesegukan saat ini.
"Jangan ngambek, sini!" Dan tak peduli dengan omelan Aida, Reiko memaksa.
"Maaf kalau Aku membuatmu cemas."
"Bapak itu pelupa! Bapak selalu saja ingkar janji. Kalau Bapak bilang Bapak mau datang, Bapak nggak datang-datang. Jelas Saya panik! Bagaimana kalau Bapak lupa Saya ada di dalam sini?"
Aida betulan masih kesal, makanya Dia masih mengomel di dalam dekapan Reiko itu.
"Mana Saya nggak tahu gimana cara membuka pintunya!"
"Kalau kamu menggedor-gedor seperti tadi, tentu saja ada alarm masuk ke handphoneku! Jadi tidak mungkin Aku lupa, kalau Kamu ada di sini. Semua dinding di bagian pintu ini sangat sensitif dan ada sensor sidik jariku di semua bagian dinding. Jadi Aku menggeser begini saja sudah terbuka."
Aida mengintip yang dilakukan Reiko masih dengan kepalanya berada dalam dekapan Reiko.
"Kalau tadi Kamu mendorongnya dan mencoba membukanya, itu tidak akan terbuka karena tidak ada sensor yang mengenali sidik jarimu di sini, malah dituduh penyusup dan alarm bunyi di handphoneku."
Reiko bicara sambil mendorong pintu, tanpa ada kekuatan apapun sedangkan tangan Aida merah-merah dan kini Pria itu pun juga sudah memegang lengan Aida.
"Sssh, harusnya nggak usah mukul sekencang itu lihat tanganmu nih, memar!"
Kini Reiko tak lagi memeluk Aida. Dia memiringkan kepalanya sedikit menatap Aida, sambil satu tangannya yang tidak memegang tangan memar itu menghapus air matanya.
"Maaf ya. Aku tadi bikin Kamu takut. Kamu takut sendirian dalam ruangan?"
Tanya yang membuat Aida yang masih sesegukan menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku takut mati di sini gara-gara Bapak lupa."
Aida cemberut tapi Reiko tersenyum simpul sambil menatap ke lantai.
"Darahmu menetes tuh!"
"Haish, memalukan! Ini semua gara-gara Bapak"
Sampai lupa Aida, kalau Dia memang baru haid pertama tapi seharusnya tidak banyak sih dan tetesan itu pun sedikit dan sepertinya karena panik.
"Iya maaf ini salahku. Sebentar Aku bersihkan dulu ya. Habis itu Kamu pakai ini celanamu sudah kubawakan."
Kemeja yang dikenakan oleh Aida tidak kotor. Menetasnya tadi ke lantai dan segera mungkin Reiko membersihkan itu, lalu Dia pun membawakan apa yang seharusnya dipakai Aida setelah tadi membawanya ke kamar mandi lebih dulu untuk membersihkan dengan air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari (Bab 201 - Bab 400)
Romance(Baca dulu Bab 1-200) "Kamu sudah ga punya dua keistimewaan sebagai wanita! Kamu pikir aku dan keluargaku gila mau menjadikanmu istriku, hmm?" Jika Aida Tazkia bukan anak orang kaya, dirinya juga tak memiliki bentuk tubuh yang sesuai dengan kriteria...