Aku berharap kekasihnya mengatakan kalau dia tidak mau makan makanan ini. Tapi wanita itu malah diam saja. Ish bukan dia tak suka padaku?
Mau tidak mau Aida akhirnya membawa makanan itu ke meja dengan perasaan tak ikhlas.
"Ayo makan dulu, Bee."
Tak menunggu Aida pergi, kalimat itu terlontar dari bibir Reiko.
Tak tahu lagi Aida harus berpikir bagaimana. Dia memilih pergi begitu saja meninggalkan seseorang yang memangku mangkuk itu. Tak peduli dengan mangkuk yang masih panas isinya.
"Ayo makan, Bee." Reiko kembali menimpali dan sepertinya dia bersemangat sekali untuk menyantap makanan yang ditaruh di atas pangkuannya, tapi tentu saja dialasi oleh bantal sofa lebih dulu. Kalau tidak memang sangat panas sekali.
"Sayang, kamu yakin masakannya itu enak?"
"Makan saja dulu. Nanti juga kamu tahu!"
Brigita memang ragu.
Tapi melihat Reiko yang sudah menyantapnya lebih dulu dan tidak ada masalah, dia pun ingin mencobanya.
Baiklah, aku akui dia memiliki kemampuan memasak tidak jauh dari Reiko. Masakannya ini enak dan beda. Hah!'
Ini juga membuat Brigita kesal ketika mengingat lagi apa yang dikatakan oleh Rika tentang masakan Aida.
"Sayang, tapi aku tidak suka dengan masakannya. Dan aku tidak suka kalau kamu terlalu sering makan makanannya!"
Saat Reiko baru saja memasukkan makanan ke dalam mulutnya, Brigita cuap-cuap macam ini.
"Habisnya aku lelah hari ini. Lagi pula, hampir seminggu ini kita beraktivitas terus yang membuat fisikku capek. Apa tidak boleh aku sedikit saja beristirahat untuk tidak memasak?"
"Hmmm...daripada makan masakannya, bagaimana kalau kita beli online saja?"
Brigita memang tidak suka memuji masakan Aida. Reiko paham apa yang terjadi pada kekasihnya.
"Aku sudah bilang padamu tidak perlu cemburu. Tidak perlu pikirkan apa yang dikatakan oleh mamaku tentang hubunganku dengannya. Apa tidak cukup seminggu ini kamu melihat sendiri, bagaimana hubungan kita berlanjut?"
Yah, Brigita memang sangat aneh sekali sikapnya, karena mau meninggalkan semua pekerjaannya dan tinggal bersama Reiko enam hari tanpa bekerja. Ini bukan sesuatu yang biasa.
Selama enam hari ini inilah Reiko tentu saja mencari tahu alasannya. Hingga dia mampu mengorek apa yang menjadi rahasia kekasihnya itu.
"Tapi mamamu benar! Kalau kamu menyukai masakannya, lama-lama kamu akan bergantung padanya. Aku tidak suka itu," protes Brigita.
"Aku juga suka makanan di restoran favorit kita dan tidak ada yang mengganggu perasaanku padamu."
Ada senyum tipis di wajah Reiko ketika dia baru saja menyuap makanannya lagi.
"Aku sudah bilang aku tidak tertarik pada wanita yang tidak memiliki 'itu'. Dan aku memang sudah candu dengan tubuhmu. Untuk apa aku melirik wanita lain? Apakah kamu pikir, dia sesempurna dirimu sampai kamu merendahkan dirimu sendiri, cemburu padanya? Merelakan hubungan kita dilihat olehnya, untuk meyakinkan dirimu kalau dia tidak akan merebutku darimu? Merelakan ketidaknyamananmu tidur di sofa ini yang pasti akan membuat badanmu jadi tidak enak hanya karena ingin membuat dirinya gerah dan tahu diri kalau aku adalah milikmu?"
Brigita juga sangat yakin sekali kalau Aida tidak ada apa-apanya dengan dirinya. Makanya dia juga merasa bodoh sendiri dengan sindiran yang baru saja diberikan oleh Reiko yang sepertinya paham kenapa Brigita memaksa mereka bermesraan di luar kamar.
Brigita juga yakin sekali jika di dunia ini hanya ada dua wanita, dirinya dengan Aida, pasti tidak akan ada pria yang mau tidur dengan wanita seperti istri Reiko itu. Mereka akan lebih memilih menggilir Brigita daripada harus menggunakan tubuh Aida.
Lalu kenapa dia harus terus-terusan membutuhkan pembuktian.
Bukankah Brigita tahu tak ada enaknya wanita tanpa memiliki sesuatu yang kenyal di bagian depan tubuhnya itu.
Senyum Brigita pun terurai.
"Tapi, aku tidak ingin kita makan masakannya terlalu sering, sayang. Aku gak suka kamu memakannya juga."
"Hanya waktu sarapan pagi saja, mana ada sering? Dan itu pun karena aku juga tidak sempat memasak pagi hari karena harus bekerja. Kan aku tidak mungkin bisa izin terus-terusan seperti ini, Bee. Mungkin kalau hanya seminggu, sebulan, ya gak masalah. Kamu mengerti maksudku kan? Pengeluaranku banyak banget lagi. Apartemen ini kan harus dibayar, juga listrik dan kebutuhan lainnya. Belum lagi housekeeping. Beberapa properti yang aku miliki juga harus aku maintenance, belum lagi aku juga harus mengirim uang untuk keluarganya. Kalau aku nggak kerja, gimana coba aku bayar semuanya?"
"Kamu kan bisa pakai uang milik keluargamu? Lagian kamu nggak miskin-miskin banget kok!"
Ada senyum di bibir Reiko, saat dirinya menggelengkan kepalanya pelan
"Pengeluaran di tabunganku memang itu masih dalam pengawasan papaku. Tapi saat aku membiayai keluarganya dan juga membiayai semua kebutuhanku ini, aku memilih pakai uang gajiku sendiri. Pakai uang yang aku punya, bukan pakai uang kakek. Aku ingin mandiri, Bee. Sesuai dengan rencanamu dan rencanaku, kalau kita nanti akan membangun keluarga dan menghidupi keluarga kita dengan keringat kita sendiri, bukan dengan uang warisan."
"Tapi kan dia bukan tanggung jawabmu! Kenapa tidak gunakan uang kakekmu saja untuknya?"
"Walaupun dia menyebalkan karena terlalu banyak omong, membuatku kesal karena dia kadang terlalu ekspresif dan membuatku sulit, atau membuatku marah karena sikapnya yang tidak bisa aku kontrol, tapi dia sudah terikat denganku, dengan pernikahan itu. Aku tetap harus membiayainya dan keluarganya dengan uangku sendiri. Ini harga diriku sebagai seorang laki-laki."
"Hah?"
"Jangan berpikir macam-macam." Reiko tersenyum simpul setelah tadi dia menyeruput kuah mie godognya.
"Kalau kakekku melihat betapa bertanggung jawabnya aku, siapa coba yang untung? Kamu juga kan. Lihat bagaimana kakekku terpengaruh oleh menantu pak lek Hartono untuk memberikan modal padamu?"
Brigita belum menjawab.
"Lihat, dengan semua tanggung jawab yang aku lakukan ini bagaimana kakekku tidak menggangguku yang sedang malas-malasan bekerja sekarang? Seminggu loh, aku nggak datang ke kantor dan nggak peduli sama semua pekerjaanku. Paling cuman ngecek doang dari laptop dan memberitahukan pada Deni apa yang harus dia kerjakan."
Yah, Brigita paham. Dia memang meminta Reiko untuk tetap berada di sisinya dan meminta pria itu untuk tidak bekerja atau melakukan apapun selama hampir seminggu ini.
Brigita juga tahu kalau Endra sempat memarahi Reiko yang tidak berangkat-berangkat ke kantor.
Gadis itu kan ada selalu di samping Reiko. Jadi tidak mungkin telepon yang masuk itu tidak diketahui olehnya.
Brigita juga bisa melihat excuse yang diberikan oleh Reiko pada Roy, karena tak bisa bekerja.
Kalau dihitung dengan besok ya sudah seminggu pas.
"Terima kasih ya, kamu sudah meluangkan waktumu untukku." Makannya Brigita mengapresiasi sedikit.
"Makanlah. Tak perlu pikirkan ini masakan siapa, Bee," bujuk Reiko, "Dan kamu juga harus ingat, kalau hanya kamu saja yang bisa membuat hatiku tertarik pada wanita."
Barulah Brigita bisa memberikan kelonggaran dan bisa makan makanan itu dan menyantapnya tanpa ada beban.
Sehingga tanpa sadar satu mangkuk besar itu habis oleh mereka berdua.
Porsi makan keduanya bisa dibilang imbang setengah-setengah. Meskipun sedikit lebih banyak Reiko yang menghabiskannya.
Dan saat ini Reiko yang sudah menaruh mangkuk besar itu mengambil secangkir teh yang ada di meja Brigita hanya menyeruputnya sedikit saja sebelum berkomentar.
"Sayang, ini teh manis!" Brigita menolak dengan tangannya.
Tanpa diduga sudah diberitahu kalau itu teh manis Reiko tetap menyeruputnya membuat Brigita mengerutkan dahi tentu saja.
"Bukannya ini enak? Kan hangat dan manisnya pas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari (Bab 201 - Bab 400)
عاطفية(Baca dulu Bab 1-200) "Kamu sudah ga punya dua keistimewaan sebagai wanita! Kamu pikir aku dan keluargaku gila mau menjadikanmu istriku, hmm?" Jika Aida Tazkia bukan anak orang kaya, dirinya juga tak memiliki bentuk tubuh yang sesuai dengan kriteria...