"Oh iya."
Didi hanya menjawab begitu saja menimpali saran Rika di saat yang bersamaan....
"Reti berikan nomor teleponmu, mungkin nanti bisa saling bertukar nomor?" saran Rika.
"Mungkin Mbaknya bisa kirimin nomornya ke Saya. Nanti Saya akan telepon balik!" Didi cepat-cepat berinisiatif soalan yang ini.
"Nah itu lebih bagus! Biar nanti Mas Didi yang menghubungimu, Reti." Rika tentu saja tidak menolak, karena Didi sudah memutuskan seperti itu.
Telepon balik? Hahaha disimpan juga, Aku males kok! bisik hati Didi yang memang memasukkan nomor itu ke handphonenya, namun tak ada niat menge-save-nya.
"Nanti Aku kirim pesannya, ya Mbak."
"Oke Mas Didi," seru Reti antusias dan penuh harap.
Wah senangnya Kau dapat nomornya! Ish! Tapi lihat saja, Aku akan ambil nomor teleponnya kalau nanti sudah masuk ke nomornya Mbak Reti! Untuk yang satu ini, Aku tidak akan mengalah. Aku yakin, Dia menyukaiku!
Rukma yang memang masih duduk di ruang tengah dan Dia memang tidak ditawari apapun juga oleh Rika sudah berbisik-bisik di dalam hatinya.
Bahkan tidak ada makanan yang diberikan kepadanya di saat mereka semua sedang menikmati makan malam tadi.
Bagaimana Rukma tak makin emosi?
"Mbak Rukma, Bapak pamit dulu ya! Selamat malam."
Satu-satunya yang mengingat keberadaannya di ruang tengah hanya Padri. Dan jelas ini membuat hati Rukma agak sedikit terobati dan Dia tersenyum langsung menatap ke arah Padri.
"Oh Iya Om! Maaf ya Om, kaki Saya lagi sakit, jadi Saya nggak bisa kemana-mana." Rukma berceloteh sebelum Dia menatap ke arah seseorang lagi di samping Padri.
"Mas Didi hati-hati di jalan ya!"
"Makasih!"
Wah, Dia bahkan menyunggikan senyumnya sedikit padaku! Pasti Dia lebih suka padaku kan, daripada Reti? Dia itu kan memang sangat membosankan!
Didi biasalah, sebenarnya itu bukan senyum yang penuh arti sih, lagi pula tadi kan bibirnya hanya sedikit sekali dan setengah bibir Bahkan tak ada sedetik sudah hilang. Didi Masih stay cool seperti tadi. Bahkan Dia tidak berhenti berjalan ketika menjawab itu tetap tujuan utamanya adalah pintu keluar apartemen Reiko.
"Tidak perlu ikut ke lobi untuk mengantar Bapak, Nak Reiko. Lagi pula Bapak sudah sama Didi kok."
"Maafkan Saya, ya Pak Padri merepotkan sampai kemalaman begini dan Didi terima kasih ya."
Dan itu adalah akhir pertemuan mereka, di saat Reiko membiarkan Didi dan Padri melangkah menjauh menuju ke arah lift.
Legaaaaaaaaa!
Tak terbayang rasa senang di dalam hati Didi, ketika sudah lepas dari apartemen Reiko.
TING!
"Kamu kalau nggak suka harusnya tidak perlu bicara langsung frontal begitu, Di."
Tapi rasa senang Didi tidak berlangsung lama. Padri mengingatkan ketika mereka masuk ke dalam lift.
"Penuh kepura-puraan Ayah! Memangnya Ayah nggak bisa merasakan, kalau itu semua pura-pura yang mereka katakan? Lihat kukunya! Panjang-panjang kayak kuku macan dan itu pakai nail art. Sudah pasti, Dia gak bakalan mau masak Ayah! Membuat masakan ini pasti akan membuat kukunya jadi kotor, rusak dan ga sebagus tadi." Didi bersungut.
"Make up-nya juga tebal. Itu sudah pasti tidak memasak Ayah. Di dapur itu banyak uap Ayah dan pasti dandanannya nggak akan semenor itu, kalau Dia yang memasak sendiri. Ayah memangnya nggak mikir apa? Risih aku ngobrol dengan orang-orang yang penuh kepura-puraan macam itu! Cih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari (Bab 201 - Bab 400)
Romansa(Baca dulu Bab 1-200) "Kamu sudah ga punya dua keistimewaan sebagai wanita! Kamu pikir aku dan keluargaku gila mau menjadikanmu istriku, hmm?" Jika Aida Tazkia bukan anak orang kaya, dirinya juga tak memiliki bentuk tubuh yang sesuai dengan kriteria...