"Bahkan Saya yang justru kaget karena sapaan dari Nyonya barusan," ujar Aida dengan perasaan malas, karena Dia harus menghadap ke belakang dan melihat pasangan yang memang tidak mau dilihat olehnya.
Tapi Aida sangat pandai dan pintar bermain cantik.
Dia tidak menunjukkan ekspresi berlebihan di wajahnya bahkan seperti tidak terjadi sesuatu apapun yang mengusiknya dan harus membuatnya merasa jengah.
"Lalu, apa yang sedang Kau lakukan malam-malam begini berkeliaran di luar?"
"Oh, Saya mau mengambil cemilan di dapur Nyonya. Cemilan Saya habis. Permisi Nyonya, ya."
Kalem dan tenang langkah Aida meninggalkan kedua orang di belakangnya menuju ke arah dapur karena memang tujuannya adalah dapur itu.
Aku tak melihatnya terkejut. Apa benar yang dikatakan oleh Tante Rika, kalau mereka memiliki hubungan lebih?
"Sayang, Kamu yakin Dia tidak menguntit kita?"
"Entahlah! Tapi kalau Dia menguntit dan ingin melihat apa yang kita lakukan tadi di kolam renang memang kenapa? Aku tak peduli, Bee!"
Pria itu malah merangkul pinggang wanita di sampingnya dan seperti memberi isyarat dengan langkah kakinya, kalau Brigita harus melangkah mengikutinya.
Bahkan suara tadi meninggi dan tentu saja bisa terdengar sampai ke telinga Aida yang memang masih berjalan menuju ke arah dapur.
Lah, memang Aku peduli dengan yang mereka lakukan? Ya ndak toh. Mereka mau mandi-mandi di kolam renang itu, kolam renang punya mereka sendiri. Mereka mau melakukan apa di kolam renang itu juga, Aku tak minat ngintip. Lagian Aku kan sudah bilang, Aku jijik disuruh membantunya mengeluarkan itu, apalagi melihat permainannya dengan wanita itu! Hyaks!
Aida tentu hanya berbisik seperti ini di dalam hatinya. Jika tidak dianggap aneh seandainya berjalan lebih cepat mungkin Aida akan berlari saat ini.
Tapi untuk terlihat tetap cool, Dia memang mempertahankan langkah kakinya dengan kecepatan yang sama, saat sepasang kekasih yang baru saja menyelesaikan misi mereka memenuhi keinginan dari bawah pusar ke bawah itu berjalan juga di belakangnya, masih dengan pikiran Brigita yang mau membuktikan apakah benar yang dikatakan oleh Rika.
"Sayang, Aku lapar. Apa kita tidak makan dulu saja? Aku ingin sekali makan masakan buatanmu!"
"Hmm, baiklah. Aku akan masakkan. Kamu ingin makan apa Bee?"
"Apapun yang Kamu masakkan untukku, pasti Aku suka!"
Obrolan ini juga terdengar di telinga Aida. Dirinya yang sudah membuka pintu kulkas itu merasakan sedikit panas dalam hatinya, meski suhu udara dari dalam kulkas yang menerpa tubuhnya itu dingin.
Kata masakan buatanmu memang sangat sensitif, Aida yang juga sudah bisa membayangkan bagaimana rasanya.
Dia tahu seberapa enak masakan Pria itu dan memang ini juga mengusik keinginannya untuk makan juga.
Tapi, apakah Dia harus mengemis untuk meminta masakan buatan Reiko?
Cih!
Hatinya menggerutu. Dia hanya ingin mengambil sesuatu di dapur itu! Hanya cemilan! Karena itulah setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Aida berlalu begitu saja, tanpa mempedulikan keduanya yang juga baru melangkah masuk ke dapur.
Bahkan Aida sempat berselisih jalan antara dirinya dengan Reiko saat melewati jalur masuk ke dapur.
Dia sama sekali tidak memandang Reiko. Hanya terus melangkah tanpa ekspresi dengan sesuatu yang dibawanya. Aida berharap bisa cepat masuk ke dalam kamarnya.
"Tunggu sebentar!"
Tapi sayangnya seorang wanita yang masih berdiri di dekat tablet di dinding menjegal langkah Aida. Membuatnya terpaksa berhenti. Aida menengok ke kanan, ingin tahu apa yang diinginkan oleh orang yang bersandar di dinding itu.
"Apa kau sengaja berdandan seperti ini dengan make up setebal itu untuk menggoda kekasihku?"
Sesuatu yang dilupakan oleh Aida. Dia tadi tidur tanpa membersihkan wajahnya dulu dan Aida juga lupa mengganti pakaiannya. Semua masih sama seperti saat dirinya memasuki apartemen tadi.
Make up yang digunakan Reiko cukup bagus dan tidak luntur sama sekali. Itu justru semakin membuatnya terlihat melekat, blended sempurna di wajah Aida. Reiko memang sangat talented. Padahal Aida tidak melakukan touch up dan itu sudah dua belas jam lebih setelah diaplikasikan ke wajahnya.
Makanya wajar jika Brigita bertanya begini.
"Oh, Anda salah Nyonya. Saya baru pergi keluar tadi. Habis jalan-jalan nge-mall." Jelas jawaban Aida ini membuat mata Brigita membulat.
"Kau! Jadi selama ini Kau sering pergi jalan-jalan sendiri? Hah, siapa yang mengizinkanmu pergi?" sentak Brigita dengan suara meninggi.
"Ndak ada Nyonya. Tapi Saya juga ndak pernah punya perjanjian, kalau Saya harus tinggal di dalam apartemen ini terus-terusan dalam kontrak perjanjian itu. Jadi, Saya berkesimpulan kalau Saya masih punya hak untuk keluar dari apartemen ini dan supaya Saya nggak kena gangguan mental juga karena ndak bisa kemana-mana Nyonya."
"Sayang, Kamu dengar nggak apa yang Dia bilang?" Brigita emosi. Makanya langsung meninggikan suaranya.
"Aku tidak mencantumkan poin itu, Bee. Tapi Aku memang mencantumkan poin kalau harus mengikuti semua yang Aku perintahkan selama tinggal bersamaku." Reiko menjawab.
Suara tangannya yang sedang memegang pisau dan memotong membuktikan kalau Reiko memang tidak memandang mereka dan Aida paham itu meski tak menatapnya.
"Tapi tidak seharusnya Kau keluar sembarangan seperti ini tanpa izin! Dan lihat pakaian yang Kau gunakan juga Kau memilih baju bagus dan mahal."
"Lah, ya kan Saya cuman ngikutin apa yang ditawarin di internet Nyonya. Lagian Saya rasa nggak ada salah dong kalau Saya beli baju-baju ini? Kan Saya pakai uang Saya sendiri bukan minta sama nyonya."
PLAAAK
"Beraninya Kau bicara begitu di hadapanku!"
"Lah salahnya di mana, Nyonya? Kan memang Saya menggunakan uang Saya sendiri kok!"
"Kau!"
PLAAAAK
Tamparan kedua pun didapatkan lagi oleh Aida dari Brigita.
Tentu saja suara tamparan itu pasti terdengar oleh seseorang yang sedang memotong sesuatu dan Aida membelakanginya.
Suara pisau yang bertemu dengan talenan itu sudah bisa memastikan kalau memang Dia tidak menghentikan gerakannya. Aida tahu itu.
Dia tentu saja masih ingat apa yang dikatakan oleh Pria itu tentang larangan melawan Brigita dan keluarganya.
Tentu tak akan ada pembelaan sekarang. Apalagi Aida juga paham, kalau Pria itu sedang marah padanya perihal peristiwa di rumah Radit Prayoga.
Itu berarti dirinya sendiri harus membela dirinya tanpa back up bukan?
Yah, seharusnya Aida sudah terbiasa dengan hal ini karena memang setelah adanya perjanjian pernikahan itu, Dia harus tahu kalau tidak ada orang yang berdiri di sampingnya untuk menolongnya.
Namun kenapa hatinya merasa perih dan sakit? Aida tak paham.
"Tak ada hak untukmu menjawabku di sini!" sentak Brigita memekik dan Aida paham, ini adalah waktunya Dia berhenti untuk bertanya pada dirinya sendiri dengan semua keluhan dalam hatinya itu.
Sekarang Dia harus menghadapi Brigita. Ini pilihannya, karena Dia menjawab. Makanya Aida menatapnya tajam wanita yang hanya menggunakan bathrobe tanpa apapun di dalamnya itu.
"Kenapa Kau melihatku begitu, hmmm?" Brigita tak sabaran.
"Hey, Aku bicara padamu kenapa Kau tidak menjawabku?" Brigita jelas makin emosi melihat Aida yang hanya melihatnya saja tanpa ada niat merespon.
"Jadi sebenarnya perintah Nyonya itu, Saya boleh menjawab atau tidak boleh menjawab kalau Anda bertanya sih Nyonya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari (Bab 201 - Bab 400)
Romance(Baca dulu Bab 1-200) "Kamu sudah ga punya dua keistimewaan sebagai wanita! Kamu pikir aku dan keluargaku gila mau menjadikanmu istriku, hmm?" Jika Aida Tazkia bukan anak orang kaya, dirinya juga tak memiliki bentuk tubuh yang sesuai dengan kriteria...