HAPPY READINGZZZZ...
Ternyata sekuat apapun manusia menahan lara, nyatanya tetap saja akan terasa. Seperti apa yang kini dialami oleh Arfa, kedatangan sebuah godam untuk hatinya yang belum benar-benar merekontruksi kerusakan yang lama.
Suatu hal yang tidak terduga ia dapatkan kemarin malam. Suasana yang membuatnya kembali harus menoreh luka di atas luka yang belum mengering.
Kedatangan ketiga orang yang membuatnya terluka, membuatnya ingin meledakkan emosi saja. Semua itu Arfa urungkan karena melihat perut Mamanya yang tengah mengandung calon adiknya. Ia selalu menahannya, selalu memendam hingga kejadian kemarin malam membuatnya merasa bersalah.
Kemarin malam, Yuda, Berta, dan Aldo bertamu ke rumahnya tanpa menghubungi terlebih dahulu. Mereka bertiga membawa seperangkat alat dan bahan untuk barbeque disana.
Arfa menuruni anak tangga, pertama yang ia dengar adalah tawa bahagia ketiga orang yang berada di meja makan.
Saat Arfa berada didepan meja makan ketiga orang itu menoleh. Hingga seorang wanita paruh baya dengan perut buncitnya tersenyum manis ke arahnya.
Jika boleh jujur Arfa begitu merindukan pelukan hangat sang Mama, perhatian dari kedua orang tuanya, dan bergurau bersama Aldo sebagai seorang kakak dan adik.
Tapi semua kerinduan itu mendadak sirna ketika ingatan akan masa lalunya menguak. Menyerobot dan menyingkirkan rasa rindu yang begitu dalam.
Arfa menatap nyalang ketiga orang yang tengah tersenyum dan berusaha mengajaknya makan bersama. Hingga Yuda berdiri dan berjalan ke arahnya.
Otomatis Arfa mundur hingga Yuda menghentikan langkah karena melihat sang anak tidak mau didekati."Kenapa kalian kemari?" tanya Arfa dingin membuat senyum ketiganya luntur seketika, raut wajah bahagia tak lagi nampak digantikan dengan ekspresi sendu.
"Arfa."
Panggilan itu, panggilan yang terdengar penuh penyesalan. Panggilan wanita yang selama ini Arfa rindukan. Arfa masih tetap menatap ke depan, tidak menatap ke arah ketiganya.
"Dek."
Arfa langsung menatap Aldo. "Gue bukan adik lo!" tegasnya merah padam.
Seakan jijik jika menerima bahwa Aldo adalah kakaknya. Kakak yang membuat adikknya terbuang.
Arfa dikejutkan dengan sentuhan halus di lengannya, sontak ia menoleh dan mendapati Berta tengah menatapnya. Sejenak Arfa termenung, menatap manik mata Berta, mata yang menyiratkan penyesalan, rindu, dan kasih sayang seorang ibu pada anaknya.
"Ayo kita makan."
Arfa tersadar dan langsung mengubah ekspresinya menjadi mengintimidasi.
Arfa berusaha melepas tangan Berta dari lengannya, tapi Berta menahan itu.
"Lepas," titahnya penuh penekanan.
Berta menggeleng. Arfa membuang muka, lalu menatap bergantian Yuda dan Aldo."Bisa kalian pergi dan bawa wanita ini juga?"
Aldo memanas ketika Arfa menyebut Berta 'wanita ini'
"Dia itu mama kita! Jadi lo yang sopan!"
Arfa tersenyum miring, "Keluarga gue udah mati tujuh tahun yang lalu."
Hati orangtua mana yang tidak merasakan sakit ketika mendengar ucapan seperti itu? Bahkan orangtua mana yang ingin anaknya membenci sedalam ini? Hingga ucapannya bagai belati yang ingin sekali merobek paksa hati yang sudah merindu menunggu penghangatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARCLA (Monochrome)
Teen FictionAKAN DI REVISI BERTAHAP JADI HARAP MAKLUM ATAS BEBERAPA TYPO ATAUPUN KATA YANG KURANG TEPAT. MAKLUM CERITA PERDANA YANG MASIH BANYAK KEKURANGAN 🙃 ❌ WARNING! CERITA INI BANYAK PARTNYA TAPI NGGAK PANJANG-PANJANG KOK! RESIKO BACA CERITA INI KALIAN BAK...